Oleh : Dedet Zelthauzallam
Sejak
tahun 1999, pemerintah Indonesia mengadopsi system pemerintahan yang disebut otonomi daerah (Otda). Otda sebagai
bukti pemerintahan di Indonesia tidak lagi sentalistik tetapi desentralisasi,
tidak lagi hanya terpusat di Jakarta tetapi menyebar disetiap daerah. Ini
merupakan metode pemerintah Indonesia untuk lebih mempercepat pembangunan demi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Lalu bagaimana peran pemerintah pusat di
era otda?
Relasi
atau hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di era otonomi daerah
tidak semata-mata lepas control. Menurut Josef
Riwu Kaho, otda dianalogikan seperti hubungan antara bapak dan anak. Dimana
bapak memiliki kewajiban untuk
membiayai, membina dan menghidupkan anaknya. Tetapi setelah anak dewasa atau
menikah maka bapak tidak wajib melakukan itu. Tetapi anak tetap mengakui
memiliki bapak. Begitu juga dengan otda, dimana daerah yang baru dimekarkan
maka masih dikontrol ketat oleh pusat. Pusat akan secara pelan-pelan melepas
daerah otonom sesuai dengan kapabilitas daerah tersebut.
UU
Nomor 32 Tahun 2004 sudah mengatur mana yang menjadi urusan pemerintah pusat
dan mana pemerintahan daerah. Jadi antara pemerintahan pusat dan daerah sudah
jelas mana yang menjadi kewenangannya. Tetapi dalam prakteknya banyak sekali
yang perlu diubah. Masalah yang paling utama adalah ketidakmampuan daerah untuk
berdikari sehingga yang menjadi urusan daerah tidak mampu dilaksanakan. Daerah
otonom banyak yang menggantungan diri pada pemerintah pusat.
Di
era otda ini sepertinya kebijkan yang diambil oleh pemda tidak memiliki suatu
pedoman dari pemerintah pusat. Dimana kebanyakan kebijakan yang diambil bukan
untuk kebaikan masyarakat jangka panjang, tetapi hanya bersifat jangka pendek.
Ini akan membuat suatu tata pemerintahan semau elite politik yang berkuasa di
daerah. Pemerintah pusat setidaknya memiliki garis besar dalam pembangunan yang
akan dijadikan setiap daerah otonom sebagai panduan.
Selain
berkaitan dengan kebijakan, yang menjadi masalah antara pusat dan daerah adalah
peran pemerintah provinsi. Di UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
pemerintah provinsi itu merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah atau
disebut azas dekosentrasi. Pemprov memiliki kewajiban untuk membina dan
mengawasi daerah otonom (kabupaten/kota), tetapi hubungannya hanya bersifat
koordinasi, bukan atasan bawahan. Hal ini menyebabkan banyak Bupati/walikota tidak
mendengar perintah dari Gubernur.
Pemerintah
pusat sebagai pemegang kendali melalui Kemendagri harus membuat PP yang mampu
untuk memberikan solusi dari otda. Sekitar 14 tahun otda berjalan, masih banyak
daerah otonom yang malah tidak mampu melakukan apa yang menjadi urusan
wajibnya, sehingga tidak menyntuh tujuan dari otda itu sendiri. Hanya sebagian
kecil saja daerah otonom yang bisa mengurus wilayahnya. Sedangkan yang lain
masih banyak yang menggantung dari pemerintah pusat.
Hubungan
antara pusat dan daerah perlu dipertegaskan lagi demi menciptakan kemandirian
daerah otonom. Daerah otonom harus mampu berdikari sehingga bisa memberikan
pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Jangan hanya menggantung pada
pemerintah pusat.
No comments:
Post a Comment