hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Sunday 21 September 2014

MENGUJI IMUNITAS KURIKULUM 2013 DI PEMERINTAHAN BARU


Oleh: Dedet Zelthauzallam
Kurikulum 2013 secara serentak diberlakukan pada tahun ajaran 2014/2015 di seluruh sekolah. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muh. Nuh, yang mengatakan bahwa sekolah tidak ada alasan untuk tidak menerapkan kurikulum 2013. Pemberlakuan kurikulum 2013 ini sebagai  pengganti dari kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum KTSP. Dengan digantinya KTSP menjadi kurikulum 2013 menambah rentetan pergantian kurikulum pendidikan di Republik ini yang sudah mencapai 11 kali.
Seringnya pergantian kurikulum di Republik ini diakibatkan oleh tidak adanya parametar yang jelas mengenai pendidikan. Tidak adanya parameter inilah yang menyebabkan kurikulum di Republik ini mengikuti kemauan penguasanya. Hal itulah yang menimbulkan adigium, penguasa berganti kurikulum pun berganti.
Dengan perubahan kurikulum yang mengikuti penguasa membuat wajah pendidikan di Republik ini cenderung stagnan. Stagnan karena lebih cenderung bersifat politis. Politis dalam artian hanya akan berlaku di era pembuatnya.
Tentunya budaya perubahan kurikulum ini tidak boleh terus menerus dibiarkan. Apabila dibiarkan, maka otomatis Republik inilah yang akan dirugikan, baik dari segi materil maupun masa depan manusianya. Dari segi materi misalnya, biaya yang dibutuhkan untuk pergantian kurikulum mencapai miliaran sampai triliunan rupiah. Sebagai contoh, pergantian kurikulum 2013 menghabiskan anggaran sekitar 2,49 T. Anggaran yang tersedot tersebut bisa dikatagorikan amat tinggi, sehingga apabila tidak ada konsep yang jelas akan menyebabkan uang tersebut mubazir.
 Pergantian kurikulum juga membuat tenaga pengajar (baca: guru) menjadi pusing. Ini diakibatkan oleh buku yang digunakan, metode pengajaran maupun materinya akan berubah, sehingga diperlukan adaptasi yang cepat dan tepat dari guru. Namun, yang menjadi permasalahan, guru sulit untuk beradaptasi, sehingga kurikulum baru secara formal berlaku, tetapi dalam prakteknya masih menggunakan pola lama.
Revolusi Mental Pada Pemerintahan Baru
Berlakunya kurikulum 2013 di tahun transisi pemerintahan membuat masa depan kurikulum ini penuh tanda tanya. Penuh tanda tanya maksudnya adalah apakah kurikulum 2013 ini sesuai atau tidak sesuai dengan konsep revolusi mental  yang didengungkan oleh pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi-JK. Apabila tidak satu nafas, maka otomatis kurikulum yang bernilai triliunan ini akan mati suri diusia muda.
Melihat konsep revolusi mental dari Jokowi-JK yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan presiden, maka kurikulum 2013, menurut saya, belum sejalan. Kurikulum 2013 masih belum bisa mengekskusi visi misi pemerintahan baru, karena orientasi kurikulum ini lebih berorientasi saintifik. Siswa lebih dituntut menemukan sendiri keilmuan yang ada, tanpa terlalu banyak menggantungkan diri pada pengajaran guru.
Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan pendidikan yang dicita-citakan oleh Jokowi-JK. Sesuai dengan apa yang disampaikan Jokowi pada saat kampanye, pendidikan harus bernuansa revolusi mental yang akan dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Menurutnya, siswa SD harus lebih banyak diberikan pendidikan karakter, etika dan budi pekerti, presentasenya sebesar 80%, sedangkan pengetahuan umum hanya sebesar 20%. Untuk tingkat SMP, porsi materi pengetahuan umum dengan pendidikan karakter sebesar 40%-60%. Sedangkan untuk SMA, porsi pengetahuan umum lebih besar dengan presentase 80%-20%. Jokowi juga ingin memperbanyak sekolah kejuruan yang bisa menghasilkan siswa yang lebih siap terjun langsung ke lapangan dengan memiliki keahlian yang sudah didapatkan di sekolah.
Dengan melihat konsep yang diberikan Jokowi, maka konsep pendidikan ke depan lebih mengarah pada pembangunan karakter, tidak seperti dewasa ini, materi pendidikan lebih didominasi oleh pengetahuan umum. Pendidikan budi pekerti, menurut saya, penting diakibatkan oleh masalah yang multidemensi melanda Republik ini berawal dari kekosongan etika moral masyarakat.
Sebut saja korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara di Republik ini. Mereka memiliki latar pendidikan yang tinggi dengan gelar yang tak terhitung. Namun mereka tetap saja melakukan tindakan korupsi. Ini dilakukan bukan karena mereka tidak paham atau kebodohannya, tetapi karena mereka tidak memiliki karakter yang kuat dalam diri mereka, sehingga etika dan moral mereka nol besar.
Kekosongan etika moral masyarakat perlu dibangun melalui pendidikan. Pendidikan sangat tergantung pada model kurikulum yang digunakan. Apabila kurikulum yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan, maka akan menciptakan manusia Indonesia yang memiliki karakter, beretika dan bermoral. Dengan demikian, maka manusia Indonesia adalah manusia yang bermartabat. Bermartabatnya manusia Indonesia tentunya akan melepas Indonesia dari berbagai belenggu yang menghalangi pencapaian cita-cita berbangsa dan bernegara, khususnya cita-cita mencerdaskan.
Dalam menyusun kurikulum pendidikan, hendaknya pemerintah baru harus mengacu pada kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Yang dimaksud internal adalah dari dalam negeri sendiri. Pancasila sebagai dasar negara wajib dijadikan landasan utama dalam penyusunan kurikulum, supaya nilai-nilai di dalam sila Pancasila, mulai dari ke-Tuhanan sampai keadilan sosial menjiwai seluruh mata pelajaran. Selain itu, budaya lokal harus diperhatikan, supaya tidak seperti dewasa ini, dimana generasinya lebih paham dengan budaya luar dibandingkan budaya sendiri.
Lingkungan eksternal yang dimaksud adalah dari aras global, karena mau tidak mau, suka tidak suka, akan ikut mempengaruhi iklim persaingan dalam berbagai hal. Yang perlu dicatat disini, dalam mengambil acuan pada lingkungan eksternal tidak boleh merusak lingkungan internal. Artinya, nilai-nilai positif pendidikan yang sudah berakar di Republik ini tidak boleh tereleminasi dengan adanya nilai baru yang berasal dari luar.
Kurikulum ke depannya juga harus memiliki pilar yang kuat. Menurut UNESCO, ada empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu 1) learning to know (belajar untuk mengetahui), 2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), 3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan 4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Empat pilar pendidikan dari UNESCO ini harus menjadi refrensi bagi pendidikan di Republik ini.
Pendidikan masa depan tidak menciptakan manusia robot, tetapi menelurkan manusia-manusia yang memiliki inovasi dan kreatifitas yang tinggi serta memiliki kapasitas dan integritas. Dari manusia yang berinovasi, kreatif dan berintegritas, maka Republik yang kaya nan subur ini bisa tumbuh dalam meraih cita-citanya sebagai negara welfare state yang dicita-citakan oleh para founding father.
Pendidikan Indonesia masa depan juga harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak bangsa yang sedang menuntut ilmu. Tidak seperti dewasa ini, dimana tempat pendidikan sangat rawan akan kejahatan. Pemerintah dan seluruh pihak harus mampu bekerjasama dalam menciptakan suasana aman dan nyaman.
Desain pendidikan (baca: kurikulum pendidikan) Indonesia harus dipersiapkan dengan lebih matang, sehingga anak bangsa bisa berkarya dalam membangun bangsa dan negara ini. Masa depan Republik ini akan menjadi sangat terang benderang ketika desain pendidikan yang akan dilaksanakan jelas tujuan dan arahnya.
Pemerintahan Jokowi-JK harus bisa melepas urusan pendidikan dari belenggu kepentingan politik. Harus dibangun paradigma baru, yaitu politik dengan pendidikan memiliki arah yang berbeda, sehingga apabila disatukan akan menghasilkan pertentangan hasil yang tak akan berumur lama. Dengan lepasnya penyusunan kurikulum pendidikan dari kepentingan politik yang bersifat sementara akan bisa menghasilkan kurikulum abadi tanpa mengenal siapa pembuatnya dan siapa berkuasa. Dengan demikian, maka akhirnya Indonesia akan keluar menjadi bangsa dan negara yang terhormat dimuka bumi karena memiliki generasi emas yang dihasilkan dari pendidikan yang memiliki landasan kokoh.


Thursday 18 September 2014

QUO VADIS KEBUDAYAAN INDONESIA: STRATEGI PENYERBUKAN SILANG ANTARBUDAYA DI ERA GLOBALISAS

Oleh: Dedet Zelthauzallam
 Di era globalisasi dewasa ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan strategis yang melingkupinya, baik di tingkat global, regional, nasional maupun lokal. Pengaruh lingkungan tersebut disebabkan oleh kemajuan tehnologi yang berkembang pesat, sehingga menyebabkan dunia seolah-olah tanpa batas (borderless world). Keadaan seperti itulah yang menuntut bangsa dan negara di dunia untuk selalu siap dan tanggap dalam menghadapi segala bentuk dinamika global yang bisa berdampak langsung ke kehidupan sosial masyarakat.
Proses globalisasi telah mengakibatkan terjadinya proses restrukturisasi kehidupan sehari-hari dalam sejumlah sektor dihampir seluruh populasi dunia, serta mendefinisikan kembali gagasan mengenai ruang, waktu, identitas dan agen pada tingkatan lokal.[1] Sebagai konsekuensinya, globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas dan kesatuan nilai-nilai individu dan kolektif. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tantanan global.[2] Oleh karena itu, globalisasi mengandung elemen homogenisasi kultural. Meski demikian, pada saat bersamaan mekanisme fragmentasi, heterogenisasi dan hibridisasi juga beroperasi.
Hibridisasi budaya atau yang lebih populer disebut sebagai penyerbukan silang antarbudaya[3] sebenarnya sudah terjadi sebelum Republik Indonesia memperoleh legitimasi kemerdekaan dari penjajah. Letaknya yang strategis membuat Indonesia menjadi titik temu para penjelajah bahari yang membawa berbagai arus peradaban yang beranekaragam. Pertemuan itulah yang meyebabkan budaya yang ada di Indonesia menjadi sangat plural. Menurut Denys Lombard, tak ada satu pun tempat di dunia ini, kecuali Asia Tengah, yaitu nusantara (baca: Indonesia) menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar di dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu. Dia melukiskan adanya beberapa nebula sosial-budaya yang secara kuat mempengaruhi peradaban Nusantara (khususnya Jawa), yaitu Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan Tiongkok) serta arus westernisasi.
Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) bisa dilihat dari bentuk candi kerajaan nusantara zaman dulu, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Bentuknya mirip dengan bentuk candi yang ada di India. Selain itu juga, struktur konsentris kosmologi India mempengaruhi mentalitas masyarakat Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Hal itu tampak pada cara berfikir, sistem tata susila, upacara-upacara dan seni. Sedangkan pengaruh Islam mulai dirasakan kuat masuk di Indonesia pada abad ke-XIII dengan ditandai oleh berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Mulai dari kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera Pasai kemudian menjalar secara cepat ke seluruh nusantara, baik di Jawa maupun Indonesia bagian timur.
Penyerbukan silang antarbudaya yang telah berlangsung lama itulah yang telah menelurkan kebudayaan yang ada di seluruh pelosok nusantara, yang membentang dari Sabang-Merauke. Terdapat lebih dari 300 etnik atau tepatnya 1.340 suku bangsa.[4] Kebudayaan yang plural tersebut menjadi aset kekayaan yang berharga bagi Indonesia. Sebagai aset kekayaan, kebudayaan yang dimiliki harus dilestarikan dan dikembangkan supaya masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang diakibatkan dari dinamika globalisasi. 
Untuk menjaga kemajemukan kebudayaan Indonesia, para founding father Republik ini sudah mem-frame di dalam sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, artinya berbeda-beda namun satu jua. Lebih tepatnya adalah keanekaragaman budaya yang ada di seluruh nusantara dibingkai menjadi satu di dalam kebudayaan nasional, baik itu bahasa, adat istiadat, lagu daerah, pakaian adat, rumah adat dan lainnya. Dan selanjutnya akan menjadi strategi dalam mempercepat pembangunan Indonesia.
Namun yang terjadi pasca hampir 69 tahun Republik Indonesia merdeka adalah budaya yang plural nan kaya tidak mampu mengangkat kualitas bangsa dan negara. Indonesia masih terbelenggu menjadi negara konsumtif. Itu bisa dilihat dari produk luar negeri yang terus menerus membanjiri pasar dalam negeri. Produk dari Tiongkok mendominisasi barang-barang elektronik yang sudah tidak terhitung jumlah mereknya. Indonesia juga masih harus mengimpor beras, daging sapi, kedelai, cabai dan sejenisnya dari negara lain yang notabenenya jauh tidak subur dibandingkan kita, seperti Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, Vietnam menjadi pemasok terbesar beras impor Indonesia yang mencapai 171.286 ton dari total 472.000 ton beras yang dimpor.[5]  
Hadirnya era reformasi yang membawa banyak perubahan juga belum mampu menciptakan harapan menjadi kenyataan. Malah perubahan tersebut menimbulkan benih-benih permasalahan baru yang membelenggu tujuan dari pelaksanaannya. Seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh elit semakin bersifat masif. BPK RI mencatat sudah ada 311 kepala daerah atau sekitar 65% dari total kepala daerah di Indonesia tersandung korupsi yang nilai potensi kerugian negara mencapai 36,7 triliun rupiah.[6]
Korupsi sepertinya menjadi budaya baru dan mulai mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia. Korupsi dewasa ini dilakukan oleh lintas kalangan dengan berbagi macam modus. Budaya malu pun mulai terdegradasi dalam diri masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia pun sudah mulai apatis dan semangat gotong royong sudah mulai luntur. Semua tindakan dan kegiatan masyarakat Indonesia dewasa ini berorientasi pada rupiah. Sepertinya pergeseran prilaku budaya Indonesia yang terjadi di era globalisasi ini lebih mengarah ke arah yang negatif. Akselerasi pertukaran budaya yang berlangsung dengan cepat tidak bisa dihadapi masyarakat kita. Masyarakat seharusnya diedukasikan dan dilatih, supaya tidak hanya mendapatkan ampas dari budaya lain. Ampas dalam artian hanya bisa mengambil hal-hal yang negatif dari suatu budaya.
Solusi dari problem tersebut adalah melalui penyerbukan silang antarbudaya yang harus ditelurkan di era globalisasi, yaitu dengan mengambil aspek positif budaya-budaya lain, baik di aras lokal maupun aras global, kerena menurut Samuel P. Hutington, kebudayaan merupakan unsur determinan maju dan mundurnya suatu bangsa. Sehingga sangat penting sekali bagi Indonesia memiliki kebudayaan yang mampu  menghadapi dinamika perubahan di era globalisasi demi menata dan membangun bangsa ini.
Strategi Penyerbukan Silang Antarbudaya di Era Globalisasi
Dalam melihat penyerbukan silang antarbudaya di era globalisasi terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik prosesnya. Arjun Appadurai mengindentifikasikan karakteristik proses globalisasi harus melalui lima aliran atau pergerakan dari sudut pandang etnik, finansial, teknologi, media dan ideologi dalam aliran yang disjungtif. Disebut disjungtif karena kecepatan, cakupan dan akibat dari aliran-aliran ini tidak harmonis, melainkan aliran ini terbelah-belah dan terputus-putus. Appadurai menggunakan akhiran “scape” pada kelima aliran itu untuk menggambarkan lanskap tak menentu yang dihasilkannya. Kelima aliran tersebut adalah 1) ethnoscapes, lanskap orang-orang yang mendasari pergeseran dunia tempat kita bermukim, seperti turis, imigran, pegungsi dan tenaga kerja asing, 2) finanscapes, lanskap pergerakan modal dan komoditas dalam kecepatan yang mengagumkan, 3) technoscapes, lanskap perubahan dan transformasi tehnologi global, 4) mediascapes, lanskap kapasitas media elektronik dalam memproduksi dan mendiseminasi informasi, seperti surat kabar, stasiun televisi dan studio produksi film berikut citraan dunia yang diciptakan oleh media-media tersebut, dan 5) ideoscapes, lanskap diskursus yang berkaitan dengan artikulasi identitas kolektif, nasional dan individual.[7]
Menurut Woodham, sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi ini dibentuk secara signifikan oleh abad mesin dan tehnologi baru industri kapitalis. Pada masa ini, kapitalisme menjadi kekuatan yang paling penting yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga telah mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan dan mengarahkan masyarakat dalam pembentukan status dan identitas personal dan kolektif. Dalam era ini, media elektronik dan budaya konsumer telah memainkan peranan penting di jantung kehidupan masyarakat kontemporer. Proses tersebut telah menempatkan pasar ditahta tertinggi dalam membangun tata nilai dan tantanan sosial. Pasar juga telah memperluas orientasi masyarakat dan mobalitas sosial sampai titik nadir terakhir yang menyebabkan batas-batas sosial kultural cenderung mengabur akibat berubahnya orientasi ruang dan waktu.[8]
Dalam menjalankan strategi penyerbukaan di era globalisasi, kita juga perlu mengubah persepsi kita tentang kebudayaan. Kebudayaan bukan sekedar merupakan koleksi barang-barang budaya yang disakralkan, melainkan kegiatan manusia untuk menciptakan alat-alat kerja yang senantiasa memberi wujud baru pada pola-pola kebudayaan yang ada. Dengan demikian, secara formal kebudayaan adalah realisasi kemampuan-kemampuan manusia, yaitu sebagai pengembangan segala bakat dan kekuatan kodrat. Kebudayaan terlihat dalam dinamika serta proses realisasinya menuju kedewasaan hidup. Dengan kata lain, kebudayaan terwujud dalam learning process selama hidup.
Dengan kita mengetahui karakteristik globalisasi dan perubahan persepsi tentang kebudayaan, maka penyerbukan silang antarbudaya di era globalisasi bisa dilakukan dengan menyilangkan antara budaya lokal dengan lokal, budaya asing dengan lokal maupun budaya nasional dengan asing yang di-frame menjadi budaya nasional dengan tetap memperhatikan pergerakan dari sudut etnik, finansial, teknologi, media dan ideologi yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, sehingga kebudayaan yang ditelurkan memang memiliki mutu yang berkualitas tinggi.  Budaya akan menjadi spirit baru masyarakat Indonesia dalam mengejar ketertinggalan, baik itu budaya yang berupa etos kerja, kepribadian, kedisiplinan, keterampilan dan lainnya.
Banyak contoh penyerbukan silang antarbudaya yang sudah dilakukan dan dinilai berhasil, seperti, Batik Tiga Negeri Tambal, batik ini merupakan hasil silang antar budaya (antar kelompok agama dan etnik) dan kerjasama teknis-ekonomis lintas daerah. Batik motif Tambal umumnya ditemukan pada gaya batik pedalaman (Yogya dan Solo). Sedangkan batik Tiga Negeri umumnya dikenal sebagai batik multikultural yang melibatkan pembuatan di tiga daerah, yaitu Lasem, Pekalongan dan Solo. Batik Tiga Negeri bermotif Tambal dari Batang merupakan gabungan desain pedalaman dan peisisiran yang menarik dikaji. Dengan adanya penyerbukan silang antarbudaya tersebut, maka desain batik yang disajikan lebih menarik, sehingga disukai oleh konsumen.
Dibalik keberhasilan tersebut masih ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dalam melakukan penyerbukan silang antarbudaya, yaitu bangsa Indonesia masih diembargo dalam budaya lembek (soft culture), pasrah dan terlena oleh alam.[9] Mochtar Lubis menyebut ciri-ciri manusia Indonesia, yaitu: hipokrit, tidak bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, memiliki jiwa feodal, masih mempercayai takhyul, artistik, watak lemah, boros dan sifat buruk lainnya.[10] Sifat-sifat seperti itu memang masih mematri pada mayoritas masyarakat Indonesia. Seharusnya sifat tersebut sudah ditinggalkan oleh masyarakat, karena akan menjadi bumerang bagi masa depan bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia saatnya untuk berguru pada Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan. Mereka bisa melangkah jauh lebih cepat dibandingkan Indonesia, meskipun keadaan alamnya sangat memprihatinkan. Mereka dewasa ini menjadi kekuatan baru dunia yang mampu bersaing dengan negara-negara Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Sejumlah lembaga internasional malah memprediksi ekonomi Tiongkok akan segera melampaui Amerika Serikat, karena dalam satu dekade terakhir pertumbuhan ekonominya sangat fantastis.[11]  Mereka bisa demikian, karena memiliki budaya kerja, semangat juang pantang menyerah dan kepercayaan diri yang tinggi. Namun bangsa Indonesia sebaliknya, terlalu dininak bobokan dengan alam Indonesia nan kaya. Masyarakat Indonesia masih mengadopsi sifat-sifat yang telah disebut oleh Mochtar Lubis di atas, sehingga kekayaan alam yang luar biasa melimpahnya hanya dikeruk asing dan dibawa mentahnya ke luar negeri. Padahal Ir. Sukarno pernah mengatakan bahwa kita harus menjadi bangsa yang berdikari, baik di bidang ekonomi, politik maupun budaya. Namun apa yang dikatakan Sukarno itu tidak didengar oleh pemimpin setelahnya. Kekayaan alam bangsa ini malah digadaikan kepada asing.
Sukarno juga dengan kepercayaan diri yang tinggi mengatakan: “aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar iri dengan Indonesia dan aku tinggalkan sampai bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya”. Lalu kalau alam sudah mengikis dan kebudayaan sudah terdegradasi, apa yang akan diwariskan kepada anak bangsa ini? Warisan yang paling bisa diturunkan adalah dengan membangun sebuah budaya nasional yang kuat dan inovatif, sehingga mampu membentuk mental-mental baja dalam menghadapi gelombang globalisasi.
Wadah Penyerbukan Silang Antarbudaya
Dalam mengimpelmentasikan penyerbukan silang antarbudaya di Indonesia tentunya tidak mudah. Mengingat mayoritas masyarakat Indonesia masih banyak memiliki sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan sikap yang cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing dan merasa budayanya sebagai budaya yang terbaik. Menurut Adorno, orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul dan pemeluk agama yang fanatik. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Andorno tersebut sepertinya masih melekat di masyarakat kita, sehingga dalam mengimplementasi penyerbukan silang antarbudaya harus dibuatkan sebuah formula untuk mengeliminasi konflik. Formula yang dimaksud adalah strategi pendekatan yang bisa diterima oleh semua masyarakat, sehingga etnosentrisme yang masih mematri dalam mayoritas masyarakat bisa dilunakkan demi membangun budaya bangsa yang bermartabat.
Formula yang dimaksud bisa dilakukan melalui pendekatan budaya. Pendekatan budaya mempertanyakan makna pembangunan nasional dan berusaha mencari pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya untuk menemukan jalan yang bermakna. Untuk itu, pendekatan budaya menurut Johan Galtung harus bisa melibatkan tiga unsur yang berbentuk segitiga, yaitu data, teori dan nilai.[12] Dari pendapat Galtung tersebut, maka dalam melakukan penyerbukan silang antarbudaya harus berpijak pada data objektif, sebab tanpa adanya data tersebut budaya hasil penyerbukan akan hanya merupakan utopia yang tidak tahu ujung pangkalnya. Data yang dimaksud merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai positif yang dimiliki oleh budaya yang akan diserbukkan.
Pendekatan tersebut bisa dilakukan melalui kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan harus bisa menyiapkan pelajaran-pelajaran yang bisa mengambil segi positif dari beragam budaya yang ada di nusantara, mulai dari Aceh-Papua, maupun budaya asing, seperti India, Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Budaya-budaya itu akan dijadikan sebagai budaya nasional yang akan membentuk generasi yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi di era globalisasi.
Strategi penyerbukan silang antarbudaya juga bisa dilakukan dengan membangun sebuah instansi pendidikan yang bisa menampung seluruh perwakilan suku bangsa atau daerah yang ada di Indonesia. Sekolah ini akan menjadi wadah penyerbukan silang antar budaya yang memiliki tugas dan fungsi untuk menginternalisasikan nilai-nilai positif masing-masing daerah (budaya) melalui suatu interaksi. Dewasa ini yang bisa dijadikan rujukan adalah IPDN. Meskipun konsentrasi pendidikannya adalah bidang pemerintahan, tetapi sekolah kepamongprajaan ini dijuluki sebagai miniatur NKRI. Disebut demikian karena praja (baca: mahasiswa) IPDN berasal dari seluruh pelosok nusantara. Hampir setiap kabupaten/kota memiliki perwakilannya.
Tentunya konsep pendekatan kurikulum dan membentuk wadah (sekolah/universitas) yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai budaya yang positif akan menjadi strategi baru dalam membangun kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang terbangun dari hasil penyerbukaan ini diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung nilai moral agama yang hidup di bangsa ini. Diharapkan ini akan menjadi langkah baru dalam menyongsong masa depan bangsa yang mampu meraih cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia empat, yaitu mencerdaskan, melindungi dan mensejahterakan serta ikut memelihara ketertiban dunia.




[1] Manuel A. Vasquez dan Marie Friedmann Marquardt, Globalizing the Sacred: Religion across the Americas (New Brunswick, New Jersey dan London: Rutgers University Press, 2003), hal. 37.
[2] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduki Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 107.
[3] Istilah Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization) digagas oleh Aan Rukmana dan Eddie Lembong. Istilah ini berbeda dengan artikulasi atau multikulturisme. Ide asimilasi budaya yang secara politik digulirkan oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sejak tahun 1932 yang kemudian mendapat sambutan positif dari pemerintahan sejak tahun 1960 dan dipraktekkan dengan masif pada era Orde Baru berangkat dari pandangan bahwa budaya minor dalam hal ini budaya Tionghoa harus masuk ke dalam budaya mayor. Maka sejak saat itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang berubah nama menjadi nama  Jawa dan lain sebagainya sebagai bagian dari implementasi gagasan asimilasi. Ide ini tidaklah buruk, akan tetapi untuk konteks saat ini perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteks kekinian. Dalam konsep asimilasi masih ada anggapan budaya mayoritas dan budaya minoritas, jadi sebuah budaya dilihat bukan dari sisi kualitasnya melainkan dari kuantitasnya. Ini berbeda dengan ide penyerbukan silang antarbudaya yang berangkat dari kualitas masing-masing budaya, sehingga tidak perlu dipersoalkan apakah budaya itu minoritas asalkan ia memiliki keunggulan maka dapat kita pelajari juga. Lihat di http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/aan-rukmana_warisan-dan-pewarisan-budaya_penyerbukan-silang-budaya_penyerbukan-silang-antarbudaya.pdf.  
[4] Lihat Data BPS tahun 2010
[5] “Tahun Lalu, Indonesia Impor Beras dari Lima Negara (05/02/2014)”, tempo.co, diakses tanggal 24 April 2014.
[6] “311 Kepala Daerah Tersandung Korupsi (10/01/2014)”, Lihat di http://bareskrim.com/wp-content/uploads/2013/10/KEPALA-BARESKRIM.jpg, diakses tanggal 5 Mei 2014.
[7] Arjun Appadurai, Modernity at Large, Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hal. 33-37.
[8] Rahmat Hidayatullah, “Artikulasi Simbol-Simbol Islam dalam Lanskap Budaya Populer Indonesia”, (Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban, 2012), hal. 90-91.
[9] Menurut Arnold J. Toynbee (1889 – 1975) bangsa-bangsa yang mendiami wilayah di sekitar garis khatulistiwa dikenal memiliki budaya yang lembek (soft culture). Toynbee yang menelaah delapan pusat peradaban dunia, dan kemudian menghasilkan teori Challenge and Response itu, mengemukan bahwa suatu kebudayaan akan tumbuh manakala ia mampu menghadapi tantangan yang datang dari tempat dimana ia hidup. Hal serupa disampaikan juga oleh Tokuyama Jiro, peneliti dari Nomura Institute, bahwa bangsa agraris biasanya lebih subsisten, bersifat pasrah dibandingkan bangsa Barat yang lebih keras, karena harus berburu untuk bertahan hidup. Disini alam agraris cenderung memanjakan manusia yang hidup di atasnya. Mereka pun tidak memiliki daya saing yang kuat sebagaimana bangsa yang memiliki empat musim. Lihat di http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3728-penyerbukan-silang-antarbudaya-1-bagian-kedua.
[10] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hal. 18-34.
[11] “Sebentar Lagi, Ekonomi Cina Lampaui AS (04/05/2014)”, http://m.republika.co.id, diakses tanggal 6 Mei 2014.
[12] Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan ( Jakarta: PT. Gramedia: 1989), hal. 5.

Friday 12 September 2014

MELAHIRKAN POLITISI (BUKAN) PENCARI KERJA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, politisi selalu menjadi penghias media cetak dan elektronik. Politisi menjadi sorotan media, karena perilaku (oknum) politisi yang amat tak etis. Tak etis dalam artian mayoritas tindakan yang dilakukannya merugikan publik. Mereka sepertinya hanya menjual nama rakyat untuk memuluskan kepentingan pribadi, golongan dan partainya.
Kasus korupsi yang terjadi di Republik ini menjadi bukti nyata dari potret politisi kita dewasa ini. Dimana para politisi masih memimpin diposisi atas daftar tersangka kasus korupsi. Ini bisa dilihat dari data di KPK, dalam kurun waktu 2007-2014 ada 74 anggota DPR RI yang tersandung kasus korupsi. Belum lagi dihitung anggota DPR dan DPRD yang kasusnya ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Ini baru dilihat dari lembaga legislatif, belum lagi dilihat dari politisi yang duduk di lembaga ekskutif yang menduduki jabatan strategis, seperti menteri, gubernur dan bupati/walikota, jumlahnya akan semakin banyak.
Model korupsi para politisi pun beraneka ragam. Ada yang menerima fee proyek, gratifikasi, penggelembungan anggaran, permainan proyek, lelang barang dan jasa serta kasus lainnya yang tergolong korupsi. Korupsi ini pun dilakukan dengan berbagai alasan, mulai dari memperkaya sanak saudara, pembiayaan kampanye partai politik, sampai pada alasan politik balas budi.
Sepertinya politisi dewasa ini memperaktikkan politik yang pernah dikatakan oleh Harold Laswell yang menyatakan bahwa politik merupakan proses sosial yang menentukan siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Politik seperti itu akan menghasilkan paradigma berorientasi profit bukan benefit, yang hanya akan menghasilkan politisi yang menjujung pragmatisme.
Menurut Etty Indriati dalam bukunya Pola dan Akar Korupsi, korupsi merupakan problem universal peradaban. Di era negara demokrasi modern, koruptor dan pejabat korup membeku dalam waktu, ketinggalan jaman, karena hidup di jaman sekarang, tetapi perilakunya masih sama dengan perilaku di abad pertengahan. Perilaku yang dimaksud seperti: membangun kekuasaan berbasis kekerabatan, mengumpulkan upeti, komisi dan gratifikasi.
Perilaku membangun kekuasaan berbasis kekerabatan bisa dilihat dari beberapa daerah. Tentunya yang paling populer adalah dinasti Atut di Banten. Sedangkan ditingkat pusat juga masih terjadi dibeberapa partai politik. Dimana anak dan keluarganya memegang jabatan strategis.
Masalah korupsi merupakan maslaah yang akut di Republik ini, sehingga dibutuhkan sebuah formula khusus. Formula yang kira-kira bisa memotong korupsi yang sudah membudaya dan berakar dalam kehidupan sosial masyarakat.
Sebenarnya dalam hal memberantas korupsi, Indonesia bisa belajar dari Singapura. Singapura di bawah pimpinan Lee Kuan Yew mampu melepas diri dari jeratan korupsi yang membelenggu negaranya. Ketegasan Lee yang tidak memberi ampun bagi koruptor kelas kakap menjadi kunci keberhasilannya. Hasilnya bisa dilihat dewasa ini, Singapura menjadi salah satu negara yang memiliki indeks pendapatan per kapita yang tinggi. Jauh meninggalkan Indonesia yang katanya negeri yang subur nan kaya.
Lalu yang menjadi pertanyaannya, korupsi di Indonesia harus dimulai dari siapa dan darimana? Tentu jawabannya adalah mulai dari para pemimpinnya. Pemimpin yang dimaksud adalah mereka yang memiliki power full, sehingga bisa mempengaruhi bawahannya. Itulah yang dimaksud oleh Lee Kuan Yew sebagai pemberantasan korupsi top down.
Indonesia pun berharap banyak pada presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2014, yaitu Jokowi-JK. Diharapkan Jokowi dan Jusuf Kalla mampu menjadi pioner dalam memberantas korupsi tanpa memandang bulu. Ini bisa dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan lebih memperkuat KPK, baik dari segi kewenangannya maupun sumber dayanya. Kepemimpinan Jokowi-JK juga diharapkan bisa membuat KPK dengan dua lembaga penegak hukum lainnya, kejaksaan dan kepolisian bisa harmonis, sehingga tidak ada lagi istilah cicak dan buaya dalam memberantas korupsi.
Politisi harus menjadi target yang paling utama untuk bisa meminimalisir korupsi, karena mau tidak mau, suka tidak suka, korupsi sering kali di era demokrasi langsung dewasa ini bermula dari (oknum) politisi. Politisi di Republik Indonesia, meminjam pikiran Weber, sebaiknya bukan pencari kerja, tetapi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Mapan secara ekonomi pun menurut saya tidak cukup, tetapi mereka yang sudah bebas dari dirinya. Artinya, politisi yang dibutuhkan adalah mereka yang benar-benar mendedikasikan dirinya demi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.
Untuk menghasilkan politisi seperti itu, dibutuhkan peran partai politik dalam melakukan kaderisasi. Jangan sampai rekrutmen yang dilakukan hanya pada mereka yang berduit, tanpa melihat kapasitas dan integritas yang dimilikinya. Tentunya konsistensi dari partai politik dibutuhkan untuk bisa menghasilkan politisi bukan pencari kerja.  

Diharapkan Jokowi bisa membuat payung hukum dalam memperbaiki sistem kaderisasi parpol dan persyaratan politisi yang bisa maju dalam pemilihan legislatif maupun ekskutif. Dengan seperti itu, maka akan ada filterisasi politisi yang masuk dalam ranah parlemen dan pemerintah. Apabila hal ini bisa dilakukan, maka saya pribadi yakin dan percaya, korupsi akan bisa diminimalisir dan para politisi akan bekerja dengan satu nafas, yaitu mencapai cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Wednesday 10 September 2014

DILEMA ANTARA LANGSUNG TAK LANGSUNG



Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca Pilpres, salah satu isu yang amat menyedot perhatian adalah mengenai RUU Pilkada. RUU Pilkada yang sedang dibahas di Senayan sangat menarik perhatian diakibatkan karena adanya sebuah perubahan yang cukup mendegradasi semangat demokrasi diaras lokal. Dimana mayoritas fraksi DPR-RI, fraksi koalisi Merah Putih, mendukung penuh perubahan pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi perwakilan.
Tentunya dengan adanya perubahan ini akan memberikan dampak yang cukup dirasakan oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang biasanya setiap lima tahun sekali datang ke TPS untuk memilih kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota, tidak akan dirasakan lagi, karena one man one vote  tidak berlaku lagi apabila opsi perwakilan dalam RUU Pilkada disahkan. Suasananya akan berubah, yang awalnya partisipan menjadi penonton.
Perubahan dari pemilihan langsung ke perwakilan ini memang memiliki plus dan minus. Yang tetap mendukung pemilihan langsung tentunya berargumen tidak mau kembali seperti pada saat orde baru maupun beberapa tahun pasca reformasi. Dimana DPRD memiliki power yang kuat untuk menekan kepala daerah, sehingga sering terjadi kongkalingkong antara anggota dewan yang terhaormat dengan kepala daerah dalam mengambil setiap kebijakan.
Pihak yang menginginkan perubahan menjadi perwakilan (dipilih DPRD) juga pasti memiliki alasan yang tak kalah kuat. Dimana mereka lebih memandang alasan ekonomi, mengenai cost yang dibayar oleh pemerintah cukup tinggi dan kepala daerah produk pemilihan langsung banyak yang bermasalah atau tersandung kasus korupsi.
Apabila mencermati isu ini, maka saya secara pribadi menilai bahwa RUU Pilkada lebih bersifat tendensius. Artinya adalah banyak fraksi yang awalnya menolak pemilihan perwakilan melalui DPRD berubah haluan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ini kelihatan aneh tetapi nyata dalam politik yang bersifat pragmatis. Saya sebagai orang awam amat menyayangkan sikap politik pragamatis dari beberapa elit parpol yang sepertinya masih tidak bisa menerima secara legawa kekalahan pasca Pilpres. Menurut saya, seharusnya para anggota dewan yang terhormat yang berada di Senayan tidak terbawa oleh kepentingan yang sesaat.
Saya secara pribadi kurang setuju apabila saat ini pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, karena dengan melihat kualitas DPRD yang penuh dengan bargainning, maka akan sulit kepala daerah untuk mengekskusi program yang pro rakyat, pasti akan lebih berorientasi untuk mengamankan kepentingan DPRD. DPRD akan merasa memiliki powerfull untuk menyetir kepala daerah. Tidak seperti saat ini, meskipun banyak kekurangan, kepala daerah amat leluasa dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Bisa dilihat, Kepala Daerah dengan berbagai kreatifitasnya membuat kebijakan yang memang benar-benar memmbahagiakan masyarakat. Sebut saja bagaimana Walikota Surabaya dan Walikota Bandung menata kota. Lain lagi Jokowi, presiden terpilih, bisa menjadi presiden akibat produk pemilihan langsung kepala daerah. Dan masih banyak mereka yang memiliki kualitas yang dihasilkan dari peilihan langsung.
Pemilihan perwakilan juga akan mengakibatkan motivasi kepala daerah untuk turun ke masyarakat akan menjadi berkurang, karena menurutnya buat apa jauh-jauh kemasyarakat, cukup saja ke anggota dewan yang terhormat. Tak akan ada kepentingan yang mengikat inilah yang membuat mereka lupa akan keadaan di bawah. Mereka akan lebih termotivasi untuk mendapat muka di depan anggota DPRD. Apa pun akan mereka lakukan pasti demi mengamankan status jabatannya. Inilah yang saya kwatirkan apabila pemilihan langsung berubah menjadi pemilihan melalui DPRD.
Apabila main hitung-hitungan, APBN/APBD yang tersedot ke Pilkada memang tinggi, tetapi masyarakat bisa dengan leluasa memilih pemimpin yang memang benar-benar memiliki  integritas dan kapasitas dan setelahnya kepala daerah yang terpilih akan merancang program yang populer tentunya supaya elektabilitasnya meningkat dan terpilih kembali. Bukankah dengan seperti itu masyarakat akan merasakan dampaknya.
Kalau memang dengan alasan penghematan, kenapa tidak kita perbaiki sistemnya saja tanpa merubah mekanismenya. Penghematan anggaran Pilkada bisa dilakukan dengan melakukan pemilihan serentak di seluruh Indonesia. Dengan begitu negara tidak menjadi terbebani dan rakyat tetap bisa memilih secara langsung.