Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca
Pilpres, salah satu isu yang amat menyedot perhatian adalah mengenai RUU
Pilkada. RUU Pilkada yang sedang dibahas di Senayan sangat menarik perhatian
diakibatkan karena adanya sebuah perubahan yang cukup mendegradasi semangat
demokrasi diaras lokal. Dimana mayoritas fraksi DPR-RI, fraksi koalisi Merah
Putih, mendukung penuh perubahan pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi perwakilan.
Tentunya
dengan adanya perubahan ini akan memberikan dampak yang cukup dirasakan oleh
masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang biasanya setiap lima tahun sekali
datang ke TPS untuk memilih kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota,
tidak akan dirasakan lagi, karena one man
one vote tidak berlaku lagi apabila opsi
perwakilan dalam RUU Pilkada disahkan. Suasananya akan berubah, yang awalnya
partisipan menjadi penonton.
Perubahan
dari pemilihan langsung ke perwakilan ini memang memiliki plus dan minus. Yang tetap
mendukung pemilihan langsung tentunya berargumen tidak mau kembali seperti pada
saat orde baru maupun beberapa tahun pasca reformasi. Dimana DPRD memiliki power yang kuat untuk menekan kepala
daerah, sehingga sering terjadi kongkalingkong antara anggota dewan yang
terhaormat dengan kepala daerah dalam mengambil setiap kebijakan.
Pihak
yang menginginkan perubahan menjadi perwakilan (dipilih DPRD) juga pasti
memiliki alasan yang tak kalah kuat. Dimana mereka lebih memandang alasan
ekonomi, mengenai cost yang dibayar
oleh pemerintah cukup tinggi dan kepala daerah produk pemilihan langsung banyak
yang bermasalah atau tersandung kasus korupsi.
Apabila
mencermati isu ini, maka saya secara pribadi menilai bahwa RUU Pilkada lebih
bersifat tendensius. Artinya adalah banyak fraksi yang awalnya menolak
pemilihan perwakilan melalui DPRD berubah haluan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Ini kelihatan aneh tetapi nyata dalam politik yang bersifat pragmatis. Saya sebagai
orang awam amat menyayangkan sikap politik pragamatis dari beberapa elit parpol
yang sepertinya masih tidak bisa menerima secara legawa kekalahan pasca
Pilpres. Menurut saya, seharusnya para anggota dewan yang terhormat yang berada
di Senayan tidak terbawa oleh kepentingan yang sesaat.
Saya
secara pribadi kurang setuju apabila saat ini pemilihan kepala daerah
dikembalikan ke DPRD, karena dengan melihat kualitas DPRD yang penuh dengan bargainning, maka akan sulit kepala
daerah untuk mengekskusi program yang pro rakyat, pasti akan lebih berorientasi
untuk mengamankan kepentingan DPRD. DPRD akan merasa memiliki powerfull untuk menyetir kepala daerah. Tidak
seperti saat ini, meskipun banyak kekurangan, kepala daerah amat leluasa dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.
Bisa
dilihat, Kepala Daerah dengan berbagai kreatifitasnya membuat kebijakan yang
memang benar-benar memmbahagiakan masyarakat. Sebut saja bagaimana Walikota
Surabaya dan Walikota Bandung menata kota. Lain lagi Jokowi, presiden terpilih,
bisa menjadi presiden akibat produk pemilihan langsung kepala daerah. Dan masih
banyak mereka yang memiliki kualitas yang dihasilkan dari peilihan langsung.
Pemilihan
perwakilan juga akan mengakibatkan motivasi kepala daerah untuk turun ke
masyarakat akan menjadi berkurang, karena menurutnya buat apa jauh-jauh
kemasyarakat, cukup saja ke anggota dewan yang terhormat. Tak akan ada
kepentingan yang mengikat inilah yang membuat mereka lupa akan keadaan di
bawah. Mereka akan lebih termotivasi untuk mendapat muka di depan anggota DPRD.
Apa pun akan mereka lakukan pasti demi mengamankan status jabatannya. Inilah yang
saya kwatirkan apabila pemilihan langsung berubah menjadi pemilihan melalui DPRD.
Apabila
main hitung-hitungan, APBN/APBD yang tersedot ke Pilkada memang tinggi, tetapi
masyarakat bisa dengan leluasa memilih pemimpin yang memang benar-benar memiliki
integritas dan kapasitas dan setelahnya
kepala daerah yang terpilih akan merancang program yang populer tentunya supaya
elektabilitasnya meningkat dan terpilih kembali. Bukankah dengan seperti itu
masyarakat akan merasakan dampaknya.
Kalau
memang dengan alasan penghematan, kenapa tidak kita perbaiki sistemnya saja
tanpa merubah mekanismenya. Penghematan anggaran Pilkada bisa dilakukan dengan melakukan
pemilihan serentak di seluruh Indonesia. Dengan begitu negara tidak menjadi
terbebani dan rakyat tetap bisa memilih secara langsung.
No comments:
Post a Comment