hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Monday 20 October 2014

"PIDATO PENATIKAN JOKOWI , PRESIDEN KE-7"

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,Om Swastiastu,Namo Buddhaya
Yang saya hormati, para Pimpinan dan seluruh anggota MPR,Yang saya hormati, Wakil Presiden Republik Indonesia,Yang saya hormati, Bapak Prof Dr. BJ Habibie, Presiden Republik Indonesia ke 3, Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia ke-5, Bapak Try Sutrisno, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Hamzah Haz, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-9, Yang saya hormati, Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Prof Dr Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-11, Yang saya hormati, ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid,Yang saya hormati, rekan dan sahabat baik saya, Bapak Prabowo Subianto. Yang saya hormati Bapak Hatta RajasaYang saya hormati, para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara, Yang saya hormati dan saya muliakan, kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat,Para tamu, undangan yang saya hormati,Saudara-saudara sebangsa, setanah air, Hadirin yang saya muliakan,
Baru saja kami mengucapkan sumpah, sumpah itu memiliki makna spritual yang dalam, yang menegaskan komitmen untuk bekerja keras mencapai kehendak kita bersama sebagai bangsa yang besar. 
Kini saatnya, kita menyatukan hati dan tangan. Kini saatnya, bersama-sama melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang maha berat, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Saya yakin tugas sejarah yang berat itu akan bisa kita pikul bersama dengan persatuan, gotong royong dan kerja keras. Persatuan dan gotong royong adalah syarat bagi kita untuk menjadi bangsa besar. Kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan. Dan, kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras. 
Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air, merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Saya juga mengajak seluruh lembaga Negara untuk bekerja dengan semangat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Saya yakin, Negara ini akan semakin kuat dan berwibawa jika semua lembaga negara bekerja memanggul mandat yang telah diberikan oleh Konstitusi.
Kepada para nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, POLRI, pengusaha dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu membahu, bergotong rotong. Inilah, momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama untuk bekerja…bekerja… dan bekerja
Hadirin yang Mulia, Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global. 
Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. 
Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Kerja besar membangun bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden ataupun jajaran Pemerintahan yang saya pimpin, tetapi membutuhkan topangan kekuatan kolektif yang merupakan kesatuan seluruh bangsa. 
Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa merdeka. Oleh sebab itu, kerja, kerja, dan kerja adalah yang utama. Saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, kita akan akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah airAtas nama rakyat dan pemerintah Indonesia, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Yang Mulia kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat.
Saya ingin menegaskan, di bawah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan, dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada kesempatan yang bersejarah ini, perkenankan saya, atas nama pribadi, atas nama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan atas nama bangsa Indonesia menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Prof. Dr. Boediono yang telah memimpin penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun terakhir.
Hadirian yang saya muliakan,
Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.
Sebagai nahkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.
Merdeka !!!Wassalamu’alaikum Warahmatullahi WabarakatuhSemoga Tuhan memberkati,Om Shanti Shanti Shanti Om,Namo Buddhaya

Sunday 19 October 2014

MEMBANGUN TRADISI TRANSISI POLITIKs

SBY-Jokowi
Oleh: Dedet Zelthauzallam
Tak ada namanya terlambat. Ungkapan itu sangat pas menggambarkan bagaimana transisi politik di Republik kita dewasa ini. Transisi politik dari presiden keenam ke presiden ketujuh tentunya memberikan suasana yang baru. Dimana baru pertama kali ada tradisi transisi yang sampai saat ini berjalan dengan baik dan saling dukung mendukung.
Presiden dan presiden terpilih melakukan komunikasi selayaknya seorang senior ke seorang junior. Dimana presiden dan jajarannya memberikan gambaran mengenai bagaimana kondisi yang dihadapi. Hambatan, tantangan sampai peluang disampaikan.
Tentunya ini adalah tradisi yang amat baru di Republik ini. Kita ketahui bersama bahwa sejak Republik ini berdiri, tak ada transisi yag berjalan dengan baik, mulai dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Transisi antara presiden pertama dan kedua diwarnai dengan proses yang cukup memberikan perhatian serius dan tanda tanya besar bagi generasi di Republik ini. Jawabannya pun tak tahu mau dicari dimana. Para pelaku dan dokumennya pun hilang bagaikan ditelan bumi. Soeharto berdalih, supersemar yang diberikan oleh Soekarno merupakan bukti penyerahan kekuasaan kepada dirinya. Tetapi menurut Soekarno, supersemar hanya surat perintah untuk menstabilkan situasi dan kondisi saat itu. Hal itulah yang menyebabkan hubungan diatara keduanya tak berakhir dengan cerita indah, penuh dengan luka dan dendam hingga membekas kepada keluarga dan generasinya (lihat hubungan keluarga Soekarno dan Soeharto saat ini).
Sepertinya hukum alam pun berlaku bagi presiden kedua yang populer dipanggil Bapak Pembangunan Republik ini. Setelah 32 tahun berkuasa, beliau dijatuhkan melalui proses demonstrasi besar-besaran oleh hampir semua elemen masyarakat, khususnya mahasiswa. Mereka menentang pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto yang dinilai penuh dengan tindakan yang korup dan dijalankan dengan otoriter. B.J. Habibi sebagai wakilnya pun naik menggantikannya. Hubungan diatara keduanya, menurut beberapa sejarahwan, tidak harmonis.
B.J. Habibi tak lama menduduki kursi RI-1, laporan pertanggungjawaban beliau tak diterima oleh MPR selaku lembaga tertinggi saat itu. Dengan demikian, maka dilakukanlah pemilihan umum tahun 1999. Hasilnya, PDIP menjadi juara. Anehnya kursi RI-1 tak diduduki oleh kader atau ketua umum PDIP, malah jatuh pada Gus Dur yang merupakan kader PKB yang notabenenya berasal dari partai kecil. Hanya mereka menang  akibat dibentuk poros tengah yang diisi oleh partai yang berbasis islam.
Gus Dur memimpin Republik ini tak lama. Ini diakibatkan oleh banyak argumen-argumennya bersifat kontroversial. Dengan tidak direstui oleh lembaga tertinggi, maka Megawati selaku wakil presiden naik ketangga puncak. Putri Soekarno menjabat sampai sisa jabatan.
Pada tahun 2004, Republik tercinta ini melaksanakan pemilihan langsung yang pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden. Disinilah dimulai cerita awal retaknya hubungan Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono. SBY yang awalnya merupakan pembantu (baca: menteri) Megawati maju sebagai salah satu calon presiden, kemudian keluar menjadi pemenang. Setelah itu, komunikasi antara Megawati dan SBY tak kunjung menemukan benang merah.
Dalam perjalanan pemerintahan SBY, mulai pelantikan sampai acara-acara besar, Megawati hampir tidak pernah menghadirinya. Hal itu terjadi sampai saat ini, yang katanya kebanyakan orang (baca: pengamat) sebagai biang kerok dari tidak bergabungnya demokrat ke koalisi Jokowi-JK.
Apa yang dilakukan oleh Megawati tak diteruskan oleh SBY. Dimana SBY sebagai seorang presiden yang akan mengakhiri jabatan yang telah diemban selama satu dasawarsa melakukan langkah-langkah yang patut diapresiasi. SBY pernah mengatakan bahwa siapa pun yang terpilih menjadi presiden, baik Jokowi atau Prabowo, beliau akan menyambutnya dengan upacara penyambutan ala militer.
Apa yang dikatakan oleh SBY bukan hanya omong saja. Beliau membuktikannya dengan bagaimana beliau memang sudah mempersiapkan penyambutan di istana negara pada tanggal 20 Oktober 2014. Beliau juga menginstruksikan para pembantunya untuk melakukan komunikasi dengan tim transisi, supaya pemerintahan baru paham dengan keadaan Republik ini.
Transisi Hampir Ternodai
  Menjelang pelantikan Jokowi, ada beberapa dinamika yang terjadi. Dinamika tersebut bisa tergolong cukup memberikan respon yang negatif dari publik. Itu disebabkan oleh adanya adu jatos antara koalisi yang dibangun Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat, dengan koalisinya Prabowo, Koalisi Merah Putih pada sidang paripurna pembahasan RUU Pilkada sampai memilih pimpinan DPR/MPR.
Isu mengenai akan adanya penjenggalan terhadap pemerintahan juga sempat muncul akibat tingginya tensi politik. Namun apa yang terjadi tersebut akhirnya terjawab dengan bertemunya Jokowi dengan para petinggi partai Koalisi Indonesia  Hebat. Dengan demikian, maka publik merasa lebih adem-ayam dengan hal tersebut.
Jokowi selaku presiden terpilih tidak sungkan-sungkan bertemu dengan elit partai Koalisi Merah Putih. Ini adalah pendidikan politik yang baik bagi publik. Publik akan merasakan efek yang awalnya galau menjadi sangat yakin bahwa semua elemen akan bergabung dalam pemerintahan mendatang. Bergabung bukan berarti pemerintah baru bebas kritik, tetapi akan sejalan apabila kebijakan yang diambil untuk rakyat banyak. Jangan sampai mereka hanya bertameng atas nama rakyat, tetapi semuanya untuk mereka.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi merupakan hal yang luar biasa. Beliau tahu bahwa Republik ini dibangun di atas Gotong royong. Jadi semua pihak harus dirangku demi mencapai cita-cita bangsa.

Friday 17 October 2014

REPUBLIK SIKUT MENYIKUT, MENUJU INDONESIA SATU

Ilustrasi by Mbah G
Oleh: Dedet Zelthauzallam (Rojet, Pujut) 
Akhir-akhir ini, publik Indonesia dipertontonkan dengan adegan yang amat luar biasa. Adegan yang dimaksud adalah adegan yang dipermainkan oleh para elit yang terhormat kedudukannya. Sepertinya adegan yang dimainkan oleh para elit yang terhormat ini bisa jadi menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari Republik yang kaya nan subur ini. Adegan seperti inilah yang membuat Republik ini ketinggalan kereta oleh negara tetangga yang bisa dikatakan tidak memiliki founding yang jelas. Namun mereka bisa menemukan momentum dalam menjalankan roda kehidupan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh publik (baca: rakyat).
Adegan yang dimaksud di atas adalah bagaimana sikap para anggota dewan yang terhormat dalam menjalankan sidang, baik disidang terakhir dan sidang perdana. Pada sidang terakhir tentunya publik tak akan lupa dengan bagaimana para anggota dewan yang bertameng atas nama rakyat melakukan hal-hal yang amat memalukan, jauh dari standar etika moral kehidupan yang tertanam di Republik ini. Kemudian tak berselang beberapa lama, mereka yang baru dilantik kembali melakukan hal yang serupa. Ini pun disebabkan oleh masalah sepele, yaitu memilih siapa yang jadi pemimpin mereka. Adu jatos antar kubu pun tak bisa dihindarkan, semuanya berakhir dengan aksi walk-out.
Ini baru yang dilakukan oleh elit yang terhormat, belum lagi yang dilakukan oleh mereka yang ada di lapisan bawah. Mereka juga sering kali harus saling sikut menyikut dalam roda kehidupan. Mulai dari tingkat paling bawah sampai tingkat paling atas. Sebut saja mulai dari kompetisi antar tetangga sampai antar provinsi maupun kementerian/lembaga. Belum lagi kompetisi yang dilakukan antar satu profesi sangat mengerikan. Sebut saja sopir angkot. Berdasarkan pengalaman pribadi di Jakarta, sikut menyikut antar sopir tak terhindarkan. Komptensinya mengerikan dan amat membahayakan.
Banyak dari mereka takut lahannya (baca: kewenangannya) diambil. Padahal perubahan kebijakan yang diambil itu untuk perbaikan dan peningkatan kepentingan umum. 
Apa yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan contoh lainnya  itu sepertinya sudah bisa menjadi sampel yang mencerminkan apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, homo homuni lupus, manusia seperti serigala bagi yang lainnya. Mereka haus kekuasaan, ibarat mata air di Gurun Pasir Lut di Iran. Ini memang bisa dikatakan sebagai sifat alamiah yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk individu yang terus menerus ingin menggapai kepuasaan diri sampai titik didih terakhir, yaitu aktualisasi diri (Maslow).
Dengan cerminan seperti itu, dunia ini (baca: Indonesia) menurut Nietzsche dalam karyanya yang berjudul “der wille zur macht” atau nafsu berkuasa. Dalam karyanya tersebut, dunia ia gambarkan tidak lain adalah dunia dari segala macam kemauan untuk berkuasa. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Schopenhauer yang menyimpulkan bahwa dunia ini bukanlah merupakan gejala metafisik.
Apa yang disampaikan tersebut jelas gejalanya sedang mewabah di Republik ini. Bisa dilihat dari semua lapisan, mulai dari konglomerat sampai kuli pun ingin menduduki jabatan. Jabatan yang memberikan kekuasaan yang lebih dari orang lain. Mereka ingin terlihat lebih superior, sehingga bisa untuk menggapai apa yang diinginkan.
Anehnya, mayoritas mereka yang mengejar tahta kekuasaan banyak yang melupakan proses. Proses sering kali selalu disepelekan demi mencapai tujuan. Ada yang mengambil jalan tikus yang tentunya memiliki berbagai variasi. Variasinya mulai dari menghalalkan segala cara, mengkarbitkan diri dengan berbagai perhiasan yang mampu meningkatkan akseptabilitas, menghambur-hamburkan kepeng (baca: uang) dan masih banyak variasi lainnya yang tak terdeteksi oleh akal sehat.
Apabila hal-hal tersebut terus menerus dipertahankan tentunya akan menjadi bumerang bagi keberlangsungan masa depan Republik ini. Meskipun dalam berbagai riset dan penelitian menyatakan tanah kita adalah tanah surga, tetapi kalau terus menerus saling sikut-menyikut dalam hidup kehidupan akan malah menjadi bom waktu yang bisa saja meledak kapan saja. Organisasi yang memiliki tingkat pluralisme yang tak terbendung kuantitasnya akan menjadi kapal oleng yang hanya akan menunggu waktu saja.
Melihat sejarah dan kondisi empirik dewasa ini, banyak negara yang sukses bukan mengandalkan sumber daya alamnya, tetapi lebih mengandalkan manajemen organisasi yang mampu menerapkan prinsip manajemen, yaitu the raight man on the raight please. Sebut saja kerajaan Romawi. Menurut Romein, yang menjadi kunci kesuksesannya terletak pada kemampuan berorganisasi dari masyarakat Romawi. Masyarakat Romawi bukan masyarakat yang pemberani seperti masyarakat Mesir, tetapi mereka lebih mengandalkan tingkat kedisiplinannya. Itulah yang membawa mereka menjadi kekuatan militer terbesar di masanya.
Romawi memperlihatkan kesuksesan masa lampau, di era dewasa ini pun bisa kita lihat banyak negara yang sukses tanpa sumber daya alam yang tinggi. Tidak perlu jauh-jauh, lihat saja tetangga kita, Singapura. Singapura yang seper sekian dari Republik ini bisa menjadi salah satu sentral bisnis dan menjadi negara jasa yang super sibuk disebabkan karena mereka memahami keterbatasan dan kekurangannya, sehingga mereka akan terus menerus berusaha untuk survive ditengah bayang-bayang negara yang katanya kaya dengan sumber daya alamnya. Hasilnya pun bisa dilihat bagaimana perbedaan Singapura dengan Republik kita, meminjam pribahasa, bagaikan bumi dan langit.
Indonesia Satu
Dalam mempertahankan Republik ini untuk tetap eksis, maka perlu mematri semangat para founding father Republik ini di dalam sanubari seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ini dilakukan untuk mengingatkan kita semua bahwa Republik ini ada bukan untuk sebagian orang, tetapi, katanya Soekarno, semua untuk semua.
Tentunya dalam membangkitkan rakyat yang mayoritas sedang terjangkit gejala amnesia butuh sosok figur pemimpin yang transformasional, supaya mereka bisa menjadikan pemimpinnya sebagai subjek yang bisa dicerminkan bukan sebagai objek hinaan.  Pemimpin juga harus menerapkan model kepemimpinan dari Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung talada, ing madya mangun karsa dan tut wuri hadayani.
Harapan baru tentang sosok pemimpin puncak di Republik ini pun akan segera muncul untuk melanjutkan suksesi kepemimpinan presiden sebelumnya, mulai dari Soekarno-Susilo Bambang Yudhoyono. Jokowi-lah menjadi pemimpin yang terpilih untuk menjadi garda terdepan dalam mengarungi ombak kehidupan yang semakin dinamis nan tak terkontrol selama lima tahun kedepan.
Pemimpin baru hendaknya bisa mengembalikan “tri sakti” yang sudah lama diabaikan dalam action. Mengembalikan semangat tri sakti akan menjadi langkah baru dalam menyatukan Republik ini yang kemudian mengarahkan kesatu rel menuju cita-cita bangsa dan negara.  Dengan begitu, maka apa yang dipertontonkan oleh elit yang terhormat bisa untuk segera ditanggalkan, karena perilaku yang seperti itu sudah kusam dan basi, hanya memperlambat gerakan menuju cita-cita.
Tri sakti akan menjadi langkah awal dalam menyatukan seluruh elemen di Republik ini, karena dengan seperti itu, distribusi ke bawah akan menjadi amat terarah dan disparitas akan bisa didekatkan, tidak seperti dewasa ini rentangnya amat jauh. Dengan demikian, maka mereka tak akan berfokus pada pencarian kekuasaan. Mereka akan lebih fokus pada pengembangan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing pribadi. Mereka tak akan lagi sibuk mencari kekuasaan yang tak tahu menahu ujungnya. Mereka akan saling bahu membahu, bukan menjatuhkan, menuju harapan para founding father.
Tentunya dalam mensuksesi tri sakti, pemimpin baru perlu memenej organisasi yang ada, mulai dari kementerian sampai tingkat paling bawah (desa/kelurahan). Organisasi tersebut harus mampu menerjemahkan tujuan organisasi dalam tindakan dan perbuatan, bukan hanya slogan. Tanpa perbaikan organisasi akan sulit untuk bisa menggapai cita-cita bangsa.

Dalam memenej, pemimpin baru harus berani berpikir out the box, bukan tunduk dan sujud pada prosedur yang sudah jelas-jelas membelenggu masa depan bangsa. Masa depan apa pun namanya tak boleh digadaikan pada prosedur yang penuh liku. Tetapi sekali lagi harus berani keluar demi perbaikan dengan pencapaian cita-cita Republik ini. Dengan catatan tidak melanggar nyawa dari sumber segala sumber hukum di Republik ini.