hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Monday 28 April 2014

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA: PENDIDIKAN PIRAMIDA DAN PABRIK PENGANGGURAN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 silam, para faunding father sadar bahwa kemerdekaan yang didapatkan Republik ini akan tidak berarti apa pun apabila anak bangsa tidak memiliki kecerdasan dalam menata masa depan bangsa dan negara ini. Untuk itulah, para faunding father menyiapkan suatu konsep dasar sebagai pijakan dalam meningkatkan kecerdasan anak bangsa, yaitu di dalam preambule alenia ke empat mencerdaskan sebagai salah tujuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya untuk mencapai tujuan tersebut bisa didapatkan dari adanya pendidikan yang memadai, baik dari segi fasilitas fisik maupun non-fisik.
Namun sampai saat ini, tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa di Republik ini masih belum maksimal. Ini bisa dilihat dari masih banyaknya anak bangsa yang buta huruf. Menurut Kepala Balai Pengembangan  Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pria Gunawan, masih ada 3,6 juta warga Indonesia masih buta aksara[1]. Masih adanya buta huruf tersebut disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan. Program pendidikan wajib 9 tahun masih banyak penyimpangan dan beasiswa untuk anak yang tidak mampu masih tidak tepat sasaran. Belum lagi gedung sekolah masih belum ada pemerataan dalam pembangunannya.
Pendidikan di Republik ini juga semakin tidak memberikan kecerdasan dasar pada anak bangsa. Menurut pakar pendidikan, HAR Tilaar, pendidikan Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cukup kreatif dan bertanggung jawab. Padahal Republik ini sudah menganggarkan uang negara paling sedikit 20% per tahun untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Banyak faktor yang menyebabkan pendidikan di Republik ini tidak berjalan sesuai dengan harapan. Faktor utamanya adalah inkonsistensi sistem pendidikan, minimnya kualitas sarana fisik dan rendahnya kualitas guru serta kurangnya pemerataan pendidikan. Inkonsistensi sistem pendidikan di Republik ini bisa dilihat dari bagaimana kurikulum terus menerus berubah. Perubahan kurikulum bergantung dari siapa yang memegang tampuk kekuasaan, sehingga tujuan pendidikan Republik tidak tercapai. Itulah yang menyebabkan sistem pendidikan menjadi tidak jelas.
 Sedangkan minimnya sarana fisik bisa dilihat dari bagaimana sekolah-sekolah di Republik ini jauh dari standar. Mulai dari banyaknya gedung sekolah yang sudah berumur, kurangnya kursi dan meja serta buku pelajaran.  Banyak sekolah yang ada tidak ditunjang dengan fasilatas penunjang, baik itu sarana olahraga maupun tehnolgi kekinian.
Kualitas guru di Republik ini juga menjadi penghambat dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Ini disebabkan karena guru di Republik ini tidak diberdayakan dengan maksimal. Maksudnya adalah pemerintah tidak memberikan pendidikan dan pelatihan yang sistematis untuk guru, sehingga mereka banyak yang tidak menguasai iptek kekinian. Belum lagi dilihat dari aspek penggajiannya. Bisa dilihat bagaimana guru di Republik ini harus mencari sumber penghasilan di luar profesinya sebagai guru.
Sedangkan masalah terakhir adalah tidak adanya pemerataan pendidikan. Baik dari aspek tenaga pendidik maupun gedung sekolah. Ada daerah yang memiliki guru yang melebihi kebutuhan, sedangkan ada juga yang memiliki guru jauh dari kebutuhan. Begitu pun gedung sekolah, ada daerah yang memiliki gedung sekolah yang sangat banyak, ada juga anak bangsa yang harus menempuh jarak kiloan kilometer untuk mencapai sekolah.
Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan pendidikan di Republik ini tidak mampu mencapai tujuannya. Menurut bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter) dan pikiran (intelektual dan tubuh anak). Pendidikan itu tidak hanya meningkatkan aspek intelektual saja, tetapi harus juga sikap. Namun pendidikan dewasa ini masih sebatas hanya memprioritaskan pada aspek intelektual belaka.
Pendidikan Piramida
Dengan banyaknya faktor yang memperlambat keberlangsungan pendidikan di Republik ini, maka itulah yang menyebabkan pendidikan kita bisa dikatakan berbentuk piramida. Maksudnya adalah relasi antara jumlah gedung sekolah SD, SMP dan SMA serta Perguruan Tinggi tidak sebanding. Dimana jumlah SD lebih banyak dari pada SMP, begitupun SMA lebih sedikit dari pada SMP.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun ajaran 2007/2008 jumlah sekolah negeri dan swasta di Indonesia, yaitu SD sebanyak 144.567, SMP sebanyak 26.277 dan SMA sebanyak 10.239[2].  Dari data tersebut bisa dibayangkan disparitas yang sangat tinggi Antara SD, SMP dan SMA.
Dengan adanya disparitas tersebut, maka akan mempengaruhi jumlah anak bangsa yang putus sekolah. Berdasarkan data dari Mendikbud menyebutkan bahwa pada tahun 2007, dari 100 % anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80%, sedangkan 20% lainnya harus putus sekolah. Dari 80% siswa SD yang lulus, hanya 61% yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Kemudian setelah itu hanya 48% yang akhirnya lulus sekolah. Sementara itu, dari 48% yang lulus dari jenjang SMP hanya 21% yang melanjutkan ke jenjang SMA. Sedangkan yang bisa lulus hanya sekitar 10%. Sedangkan menurut pengamat pendidikan, Muhammad Zuhdan, mengatakan bahwa tahun 2010 tercatat terdapat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia putus sekolah[3].
Melihat data di atas, maka bisa dikatakan bahwa pendidikan di Republik ini masih berbentuk piramida. Pemerintah harus mampu menyelaraskan kuantitas murid dengan kuantitas gedung sekolah, sehingga anak bangsa di Republik ini memiliki peluang yang sama untuk  melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan Pabrik Pengangguran
Pendidikan di Republik ini sepertinya tidak memperhatikan kebutuhan pasar. Dimana tidak ada pengaturan yang jelas jumlah mahasiswa yang harus mengambil suatu program atau jurusan. Misalnya, untuk jurusan keperawatan tahun ajaran 2014/2015 dibutuhkan sebanyak 10.000 mahasiswa. Jumlah itu menjadi patokan dalam perekrutan mahasiswa. Perguruan tinggi tidak boleh merekrut lebih dari patokan yang telah ditetapkam., karena penentuan jumlah ini didasarkan dari analisa kebutuhan tenaga kerja pada tahun mereka lulus, sehingga pada saat lulus bisa langsung bekerja sesuai dengan profesinya masing-masing.
Dengan adanya pengaturan ini, maka akan bisa mengurangi pengangguran di Republik ini. Tidak seperti dewasa ini, pemerintah hanya terdiam membisu dalam mengatur pendidikan anak bangsa ini, sehingga pendidikan di Republik ini disebut sebagai pabrik pengangguran. Hal ini tidak boleh dibiarkan, karena akan menjadi momok bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam menyikapi hal tersebut, maka pemerintah perlu membuat sistem regulasi pendidikan berbasis kebutuhan.  Dengan adanya regulasi ini, maka sarjana-sarjana di Republik ini tidak ada yang tidak bekerja. Tidak seperti sekarang ini, dimana mayoritas para sarjana hanya termenung dalam kegalauan setelah menerima gelar. Ilmu yang didapatkan tidak bisa diaplikasikan, karena tidak adanya wadah yang menaunginya.
Ada juga sarjana yang tidak berprofesi sesuai dengan bidang ilmunya. Seperti, sarjana hukum yang harus menjadi guru, sarjana perikanan bekerja dibidang administrasi dan lainnya. Hal ini tentunya menjadi masalah, karena basic  ilmu yang dimilikinya tidak sesuai dengan profesinya. Padahal dalam teori manajemen menyebutkan bahwa the right man on the right place.
Pendidikan Masa Depan
Pendidikan di Republik ini harus direstorasi, supaya masa depan pendidikan menjadi jelas tujuan dan arahnya. Tujuan pendidikan masa depan yang diharapkan adalah mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur. Atau pendidikan yang mampu menelurkan anak bangsa yang memiliki intelektual yang tinggi, skill yang mempuni dan attitude yang berbudi luhur.
Menurut UNESCO, ada empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu 1) learning to know (belajar untuk mengetahui), 2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), 3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan 4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Empat pilar pendidikan dari UNESCO harus menjadi refrensi bagi pendidikan di Republik ini, dengan catatan harus tetap berpedoman pada dasar negara, yaitu Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila harus menyerap dalam diri anak bangsa, sehingga semangat nasionalisme akan tumbuh subur di Republik ini.
Pendidikan masa depan tidak menciptakan manusia robot, tetapi menelurkan manusia-manusia yang memiliki inovasi dan kreatifitas yang tinggi serta memiliki integritas. Dari manusia yang berinovasi, kreatif dan berintegritas, maka Republik yang nan subur ini bisa tumbuh dalam meraih cita-citanya.
Pendidikan Indonesia masa depan juga harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak bangsa yang sedang menuntut ilmu. Tidak seperti dewasa ini, dimana tempat pendidikan sangat rawan akan kejahatan. Pemerintah dan seluruh pihak harus mampu bekerjasama dalam menciptakan suasana aman dan nyaman.
Desain pendidikan Indonesia harus dipersiapkan, sehingga anak bangsa ini bisa berkarya dalam membangun bangsa dan negara ini. Masa depan Republik ini akan menjadi sangat terang benderang ketika desain pendidikan yang akan dilaksanakan jelas tujuan dan arahnya.



[1] “Kemendikbud: 3,6 Juta Rakyat Indonesia Buta Huruf (28/11/2013), republika.co.id, diakses tanggal 27 April 2014.
[3] Fonita Andastry, “Tingginya Angka Putus Sekolah di Indonesia (24/12/2013)”, kompasiana.com, diakses tanggal 27 April 2014.

INKONSISTENSI KURIKULUM PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Indonesia adalah bangsa yang dibangun dari hasil perjuangan para pahlawan yang memiliki semangat dan cita-cita luhur. Cita-cita luhur tersebut tertuang jelas dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan, melindungi dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Hal tersebut menjadi tugas pokok dari para pemegang kekuasaan di negeri ini, baik ekskutif, legislatif dan yudikatif harus senantiasa melihat cita-cita luhur tersebut dalam menelurkan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan hal tersebut, sehingga bisa dicapai.
Mencerdaskan kehidupan bangsa perlu menjadi perhatian utama, karena kita ketahui bersama bagaimana potret dari pendidikan di negeri ini masih sangat memprihatinkan sekali meskipun sudah banyak kebijakan yang diambil, tetapi sumber daya manusia kita masih jauh ketinggalan dibandingan negara tetangga. Padahal anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan sangat besar, mencapai 20% dari APBN dan APBD.
Anggaran 20% tersebut masih belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Menurut Deputi Bidang Pendidikan dan Agama Kemenko Kesra, Agus Sartono, mengatakan bahwa rata-rata pendidikan orang Indonesia hanya 8,02 tahun[1]. Ini berarti setara dengan siswa kelas 2 SMP.
Banyak faktor yang menyebabkan pendidikan Indonesia tertinggal dari bangsa lain. Faktor utama adalah pendidikan bangsa Indonesia belum memiliki pondasi yang jelas. Menurut pakar pendidikan, HAR Tilaar, pendidikan di Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cukup kreatif dan bertanggung jawab. Padahal Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa meningkatkan kehidupan bangsa demi mencapai cita-cita bangsa.
Kebijakan Kurikulum 2013
Ketidakjelasan pendidikan Indonesia bisa dilihat dari bagaimana kurikulum terus berganti. Sepertinya kurikulum pendidikan di Indonesia tergantung siapa yang berkuasa. Presiden atau menteri berganti, kurikulum pun ikut berganti. Ini masalah yang serius bagi keberlangsungan pendidikan bangsa ini. Jangan sampai pendidikan negeri ini terkontaminasi dengan kepentingan para penguasa yang lebih berbau politis dan bersifat sementara. Pendidikan tidak boleh seperti itu, karena pendidikan bagi anak bangsa merupakan roh dari bangsa ini di masa akan datang. Sehingga kurikulum pendidikan harus memiliki pondasi yang kuat, tidak tergoyahkan meskipun pemegang kekuasaan berpindah tangan.
Beberapa tahun yang lalu Kemendikbud mewancanakan untuk mengganti kurikulum. Pergantian tersebut sontak mendapat reaksi pro kontra dari publi. Pergantian kurikulum pendidikan KTSP menjadi kurikulum 2013 tentunya ada yang mendukung dan ada yang menolak. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, mengatakan bahwa kurikulum 2013 ini merupakan hasil perbaikan dari kurikulum sebelumnya, yaitu KBK dan KTSP. Yang diperbaiki yaitu alur pikir dalam penyusunan materi yang diperdalam dan diperluas serta beban yang disesuaikan.
Perubahan kurikulum ini juga mendapatkan respon yang berbeda-beda dari alinsi guru di Indonesia, ada yang mendukung dan ada pun yang menolak. Berikut kutipan pro dan kontra dari aliansi-aliansi guru[2]:
Aliansi Revolusi Pendidikan yang terdiri dari beberapa forum seperti Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), serta  Forum Guru Independen Indonesia (FGII) menyatakan penolakan atas Kurikulum 2013 yang diajukan Kemendikbud. Mereka menolak susunan draf Kurikulum 2013 karena dianggap tidak sesuai dengan konteks pendidikan sebagai alat untuk menciptakan manusia-manusia kreatif. Retno Litsyarti, perwakilan dari  FSGI, menilai draf ini sudah melenceng dari keberadaan dunia pendidikan yang seharusnya mendidik murid.
Menurutnya ada beberapa hal yang dapat mereduksi kreativitas seperti adanya pengkajian teori matematika berdasarkan ketetapan, bukan berdasarkan logika serta penerapan ilmu fisika yang menggunakan dalil-dalil agama di Indonesia. “Yang aneh adalah matematika berdasarkan ketetapan bukan logika, selain itu ilmu fisika berdasarkan dali-dalil agama, bagaimana mau mengkaji fenomena jika mengacu kepada agama? Siapa yang bisa melawan dalil agama?” katanya di kantor Kontras Jakarta.
Ia menilai ada beberapa hal yang aneh seperti penghapusan beberapa mata pelajaran yang dihapuskan pemerintah, padahal pelajaran tersebut berguna untuk memancing kreativitas dan meningkatkan kualitas murid.
“Draf ini tidak jelas mau dibawa ke mana karena ada penghapusan beberapa mata pelajaran seperti bahasa Inggris untuk SD, serta teknologi informasi dan komunikasi di jenjang SMP dan SMA, padahal mata pelajaran ini sangat berguna untuk tingkatkan kreativitas dan kualitas murid,” tambahnya.
Penolakan terhadap Kurikulum 2013 juga muncul dari Komunitas Katolik dan Protestan Peduli Pendidikan Indonesia (K2P3I). Kurikulum baru ini dianggap masih belum matang. Benny Susetyo dari K2P3I mengatakan, kurikulum yang saat ini gencar disosialisasikan oleh Kemendikbud merupakan kurikulum yang belum siap sehingga butuh dibahas secara mendalam dan tidak bisa begitu saja diimplementasikan dalam waktu dekat.
“Kami sudah lihat dokumen resminya dan berdasarkan dokumen resmi ini kami meminta menunda karena isinya saling bertolak belakang,” kata Benny saat jumpa pers di kantor Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Cikini, Jakarta.
Menurutnya, isi kompetensi dasar dan kompetensi inti dalam struktur Kurikulum 2013 tidak sejalan dengan apa yang didengungkan pemerintah. Bahkan, apabila dipaksakan tetap dijalankan, maka Kurikulum 2013 ini hanya akan berdampak buruk bagi siswa, guru dan dunia pendidikan secara keseluruhan. “Jika dibilang kurikulum ini mengasah kemampuan nalar, justru kemampuan nalar malah akan berkurang dengan mengintegrasikan berbagai macam pelajaran ini,” jelas Benny.
Ia menambahkan, dampak implementasi Kurikulum 2013 adalah adanya kebijakan menghapus beberapa mata pelajaran di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK yang dapat mengakibatkan para guru kehilangan pekerjaan, kesempatan berkarir, kesempatan mengembangkan pengetahuan, dan kehilangan tunjangan profesi pendidikan.
“Sikap kami jelas. Minta ditunda. Ini sudah resmi. Sikap komunitas Kristen Katolik itu menunda. Kami tidak antiperubahan kurikulum tapi melihat seperti ini lebih baik ditunda,” tandasnya.
Berbeda dengan Aliansi Revolusi Pendidikan serta Komunitas Katolik dan Protestan Peduli Pendidikan Indonesia yang menolak Kurikulum 2013, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Pengurus Pusat (PP)  Muhammadiyah,  dan Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) mendukung Kurikulum 2013.
Ketua Umum PGRI Sulistiyo meminta para guru di lingkungan PGRI siap mengikuti pelatihan, siap melaksanakan, dan siap mengubah pola pembelajaran sesuai semangat Kurikulum 2013. Ia menilai,  Kurikulum 2013 sudah  disusun dengan seksama. Kurikulum ini merupakan respon terhadap perkembangan teknologi dan informasi yang berkembang pesat. PGRI mendukung dan siap melaksanakan Kurikulum 2013 sekaligus mengharapkan Kemendikbud menyiapkan semua perangkatnya seperti buku dan pelatihan guru.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, menyatakan mendukung penuh Kurikulum 2013.  Alasannya, kebijakan Kemendikbud tentang kurikulum ini sejalan dengan perjuangan Muhammadiyah.
“Perubahan untuk menjadi yang lebih baik, seperti halnya perubahan kurikulum adalah sejalan dengan visi dan misi Muhammadiyah, karena itu bukan hanya mendukung sepenuhnya, tapi kami juga akan mengawali untuk menggelar pelatihan bagi guru-guru di sekolah Muhammadiyah,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdhatul Ulama (NU), Muslih Fatah. Ia setuju dengan penerapan Kurikulum 2013 karena sesuai dengan kebutuhan zaman. Yakni sebuah kurikulum pendidikan berkarakter dan tidak hanya teknologi saja, tetapi lebih pada pengembangan diri dan kemandirian anak-anak. “Bagus karena lebih kepada pendidikan karakter, dengan catatan kurikulum tidak diganti-ganti,” ungkap Muslih.
Selain itu, penerapan Kurikulum 2013 yang akan diterbitkan Kemendikbud mesti mendukung terpeliharanya muatan lokal masyarakat setempat. ”Sebab setiap sekolah mempunyai kelebihan-kelebihan lokal yang harus tetap dikembangkan,” sambung Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Zamzami sebagaimana dilansir NU Online , Selasa (2/4). 
Zamzami menilai, kurikulum baru yang akan menggantikan KTSP ini lebih berorientasi saintifik. Siswa dituntut menemukan sendiri keilmuan yang ada, tanpa terlalu banyak menggantungkan diri pada pengajaran guru. ”Secara prinsip LP Ma’arif mendukung. Tapi implementasinya perlu diawasi,” ujarnya sembari mengatakan pihaknya siap terlibat dalam proses sosialisasi Kurikulum 2013.
Lembaga yang menaungi pendidikan dasar dan menengah NU ini juga mendorong, madrasah-madrasah NU untuk memasukkan nilai-nilai di masyarakat, seperti kepesantrenan, kearifan lokal, dan tradisi ketimuran lainnya dalam Kurikulum 2013.
Sedangkan Direktur Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, Prof Dr Ibnu Hadjar MEd, menuturkan kehadiran  Kurikulum 2013 bisa menjadi momentum baru untuk menyempurnakan pendidikan nasional. Menurutnya, arah perubahan ini senafas dengan cita-cita luhur bangsa dalam mencerdaskan rakyat Indonesia. Baginya, perubahan kurikulum itu lebih kepada penataan sumberdaya pendidikan di Indonesia dan bukan hanya sekadar menjalankan ‘tradisi ganti menteri ganti kurikulum’ semata. “Tidak mungkin kurikulum Indonesia dipertahankan tanpa revisi,” ujarnya.
Mendikbud Mohammad Nuh meyakini, Kurikulum 2013 akan mentransformasi pendidikan nasional. “Perubahan yang ditawarkan Kurikulum 2013 ini akan membuat generasi muda Indonesia kreatif, inovatif, dan berkarakter,” paparnya.

Kurikulum 2013 ini juga sempat menjadi pembicaraan hangat di Senayan, mengingat ada beberapa fraksi yang menolak. Ada tiga fraksi yang menolak (PKS, PPP dan PAN) dan sisanya menerima (PD, Gokar, PDIP, Gerindra, PKB dan Hanura). Fraksi yang menolak memiliki alasan yang berbeda-beda. Menurut Rohmani, FPKS menolak karena menilai pemerintah tidak menyiapkan konten kurikulum dengan baik, persiapan pelatihan guru tidak maksimal dan selalu berubah-ubah jumlahnya dan metode pengambilan sampel juga selalu berubah. Persiapan buku dinilai juga tidak memenuhi prosedur. Sedangkan FPPP melalui juru bicaranya, M. Yunus, menegaskan tidak menyetujui pelaksanaan kurikulum tahun ini dan meminta pemerintah melakukan sejumlah perbaikan sebelum melaksanakan kurikulum baru tahun 2014. Adapun FPAN menyatakan hanya setuju dengan pelaksanaan kurikulum 2013 jika dengan sistem uji coba (piloting), tetapi Kemendikbud tidak melaksanakan dengan sistem tersebut[3].
Sementara Fraksi Golkar, Popong Otje Djundjunan, menyatakan fraksinya tidak eksplisit menyetujui kurikulum 2013, tetapi mempersilahkan pemerintah melaksanakan mulai tahun 2014 dengan sejumlah catatan yang harus dijalankan. Fraksi Golkar juga menganggap ini bukan sebagai bagian dari perubahan kurikulum, tetapi lebih sebagai revisi kecil, karena delapan standar pendidikan nasional dalam perubahan kurikulum tidak dipenuhi. Sedangkan dari fraksi Demokrat, Jefirstson R Riwu, menyetujui implementasi dan anggaran kurikulum serta menyarankan agar dilaksanakan sesuai dengan jadawal yang sudah ditetapkan.
Dari fraksi PDIP menyatakan setuju kurikulum 2013 diterapkan tetapi meminta perlu adanya pengawasan yang sungguh-sungguh dari seluruh pihak terait dengan pelaksanaannya. Fraksi PDIP juga berharap agara kurikulum 2013 dapat mengembangkan potensi peserta didik sehingga lulusan yang dihasilkan dapat bersaing dengan negara lain dan mengedepankan budi pekerti.
Meskipun menuai perdebatan antar fraksi di Komisi X, akhirnya komisi yang membawahi bidang pendidikan ini setuju untuk menerapkan kurikulum 2013. Dengan disetujui oleh DPR, maka Kemendikbud siap mengimplementasikan kurikulum tersebut dengan anggaran  Rp 829.427.325.000,-[4]. Penerapan kurikulum 2013 tertuang pada Permindikbud Nomor 81A/2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Dengan penerapan kurikulum 2013 ini, semua pihak pastinya berharap kurikulum ini bisa menjadi landasan bagi kemajuan pendidikan di bangsa kita. Tidak hanya bersifat sementara yang berbau politis, tetapi harus memiliki arah bagi membangun anak bangsa yang cerdas dan memiliki idiologi yang kuat. Apalagi pada tahun 2014 akan ada pemilu yang berarti akan ada suatu proses perpindahan kekuasaan. Jangan sampai pergantian kurikulum yang sudah menghabiskan miliaran rupiah ini akan sirna ketika penguasa berganti.
Tepatkah Kebijakan Kurikulum 2013?
Kurikulum 2013 yang menghabiskan uang negara ratusan miliaran dinilai banyak kalangan tidak akan maksimal mengangkat sumber daya manusia di negeri ini, karena itu dinilai bukan solusi yang tepat. Ada hal lainnya yang lebih perlu dibenahi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebidayaan. Hal tersebut adalah pertama, tenaga pengajar (guru), kedua, infrastruktur, dan ketiga, meningkatkan beasiswa. Tiga aspek inilah yang dinilai lebih urgen dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Guru di Indonesia kalau dilihat dari jumlahnya masih bisa dikatakan kurang dan penyebarannya masih belum merata. Ada daerah yang gurunya terlalu banyak da nada juga daerah yang gurunya kurang. Itu baru dari segi jumlah, belum lagi berbicara kualitas guru yang ada di negeri ini. Guru sebagai orang yang memberikan pelajaran harus lebih dipersiapkan supaya memiliki kapabilitas, sehingga anak didik yang dihasilkan memang berkualitas dan menguasi ilmu pengetahuan dewasa ini (kekinian). Tetapi yang kita lihat saat ini guru itu kebanyak lulusan diploma dan tidak menguasai ilmu kekinian, sehingga yang disampaikan kepda siswa didik adalah hal-hal yang sudah bisa dikatakan kadawarsa.
Fungsi guru sangatlah besar, karena menjadi nahkoda utama dalam proses pelajaran. Jadi bisa dikatakan bahwa kurikulum yang bagus akan menjadi sia-sia apabila yang memberikan (guru) tidak kompeten, tetapi sebaliknya kurikulum yang biasa-biasa akan menjadi luar biasa ketika guru memilki kualitas dalam menyampaikan. Itulah sebabnya, dari pada pemerintah terus menerus mengganti kurikulum yang membuat guru dan siswa didik bingung, maka alangkah lebih baik ketika pemerintah lebih fokus dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia dan Dengan guru berkualitas serta infrastruktur lengkap, maka siswa didik khususnya dan anak bangsa Indonesia akan lebih cerdas.
Seharusnya anggaran ratusan miliaran itu digunakan untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan guru, sehingga mutu guru yang dijuluki pahlawan tanpa jasa bisa ditingkatkan. Guru hebat maka anak bangsa akan lebih hebat, tetapi apabila sebaliknya maka bisa kita lihat penurunan kualitas anak bangsa yang kalah bersaing dengan anak bangsa lain.
Selain guru, infrastruktur sekolah juga masih jauh dari harapan. Anggaran 20% APBN belum mampu memberikan kenyamanan bagi siswa didik maupun guru. Ini disebabkan masih banyak gedung yang bisa dikatakan sudah berumur tua. Tidak ada anggaran dalam perenovasian dan perbaikan. Ada disparitas Antara sekolah di kota dan di desa. Di kota gedung sekolah rata-rata bagus, tetaoi kalau melihat di desa maka sangat memperihatinkan. Masih banyak anak bangsa yang sekolah di bilik triplek maupun sejenisnya.
Belum lagi persoalan kekurangan ruangan kelas, kursi, meja dan berbagai kebutuhan lainnya seperti komputer, sarana olahraga, seni dan budaya. Itu hamper tidak ada di sekolah-sekolah. Masih banyak kebutuhan sekolah yang tidak bisa dibeli oleh sekolah, karena masalah anggaran.
Hal yang perlu diperhatikan selain itu adalah penyediaan beasiswa. Seharusnya pemerintah sadar bahwa anak bangsa masih banyak yang tidak bisas sekolah disebabkan oleh ketidakmampuan dalam membayar uang sekolah, karena program pemerintah wajib belajar masih banyak kecolangan. Kecolongan maksudnya adalah masih banyak sekolah yang memungut biaya sekolah dengan dalih tertentu. Kebijakan pemberian beasiswa bagi masyarakat kurang mampu harus lebih dipertegas lagi supaya tepat sasaran. Jangan sampai anggaran yang disediakan hanya dinikmati oleh oknum tertentu.
Jadi pemerintah harus mengubah paradigma dalam menelurkan kebijakan dalam peningkatan pendidikan di Indonesia. Lebih baik pemerintah lebih fokus dalam tiga hal tersebut dari pada terus menerus mengubah kurikulum yang tidak akan bisa menyentuh permasalahan yang sebenarnya.
Penutup
Potret pendidikan di negeri sungguh memprihatinkan. Belum ada landasan pasti tentang arah pendidikan membuat pihak penguasa terus menerus mengotak-atik kurikulum. Motifnya pun untuk perbaikan dan lebih mencerdaskan anak bangsa. Namun kebijakan tersebut tidak bisa dan mampu untuk mengangkat drajat pendidikan kita. Malah membuatnya semakin parah, karena pihak yang melaksanakan (guru) dan pihak yang menerima (siswa) tambah bingung dengan perubahan yang terus menerus.
Paradigma seperti ini harus segera ditinggalkan dan beralih kepada paradigma baru dalam membuat kebijakan, sehingga pendidikan di negeri ini menjadi lebih baik dan mampu bersaing dengan negara lainnya.  



[1] “Rata-Rata Pendidikan Orang Indonesia Setara Kelas 2 (11/03/2014), poskotanews.com, diakses tanggal 7 April 2014.
[2] “Mengapa Ganti Kurikulum (03/03/2013)”, www.majalahgontor.net, diakses tanggal 7 April 2014.
[3] “Komisi X DPR Akhirnya Setujui Kurikulum 2013 (28/05/2013)”, www.sinarharapan.co, diakses tanggal 7 April 2014.
[4] “Akhirnya DPR Setujui Pelaksanaan Kurikulum 2013 (28/05/2013)”, www.dpr.go.id, diakses tanggal 7 April 2014.

Friday 25 April 2014

KEPEPIMPINAN MAHATMA GANDHI DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk terbesar di dunia memiliki berbagai permasalahan. Permasalahan yang menghantui Republik ini bisa dikatakan multidemensi. Namun banyak pihak yang mengatakan bahwa permasalahan itu berakar dari gagalnya para pemimpin nasional. Banyak dari pemimpin di Republik ini tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar. Pemimpin yang seharusnya menjadi pioner utama dalam menggerakan seluruh rakyat untuk mencapai cita-cita bangsa dan bernegara malah melakukan tindakan yang melanggar aturan.
Republik ini memang bisa dikatakan mengalami krisis kepemimpinan. Dimana sistem demokrasi langsung yang sudah dilaksanakan 10 tahun gagal melahirkan pemimpin nasional yang memiliki karakter dalam membangun bangsa dan negara ini. Demokrasi langsung yang dilaksanakan malah memperuncing masalah. Korupsi pun semakin subur di era demokrasi langsung ini. Konflik kepentingan pun semakin dipertontonkan, sehingga apa yang menjadi amanah konstitusi tidak bisa dicapai.
Seharusnya sistem demokrasi Indonesia mampu melahirkan pemimpin nasional yang dapat berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dirasakan oleh warga negara[1]. Pemimpin nasional harus mampu membangun bangsa dan negara ini ke arah kemandirian. Namun kenyataannya, para pemimpin nasional Republik ini malah mengambil kebijakan yang tidak bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Kebijakan yang diambil hanya lebih memprioritaskan kaum elit. Itu bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata per tahun melebihi pertumbuhan global, tetapi kemiskinan masih merajalela di negeri nan kaya ini. Pertumbuhan ekonomi tersebut hanya menciptakan disparitas yang semakin melebar, antara si kaya dan si miskin.
Apabila melihat perkembangan dunia saat ini, maka kemajuan dan pembangunan negara-negara di dunia kebanyakan merupakan hasil dari peran para pemimpin nasionalnya. Sebagai contoh, Korea Selatan yang telah berhasil menjadi salah satu kekuatan baru di dunia merupakan hasil dari peran para pemimpin nasionalnya yang terus bekerjasama mensukseskan pembangunan nasional tanpa adanya sekat-sekat ideologi maupun politik diantara mereka. Pertarungan politik di Korea Selatan hanya terjadi pada momen pemilihan umum. Selebihnya, mereka berorientasi pada pembangunan nasional dan mengesampingkan kepentingan golongan yang berdimensi sempit. Hasilnya, Korea Selatan dewasa ini menjadi salah satu negara dengan peradaban terbaik di dunia (Breen, 1998;5)[2].
    Pemimpin nasional Republik ini harus mulai belajar bagaimana membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang mandiri. Kemandirian bangsa dan negara harus menjadi spirit baru dalam sistem kepemimpinan nasional, sehingga ketergantungan dengan negara lain bisa diminimalisir. Tidak seperti dewasa ini, dimana hampir semua kebutuhan di Republik ini justru banyak diproduksi di negara luar. Republik Indonesia dewasa ini menjadi negara peng-impor, padahal tanah yang tersebar dari Sabang-Merauke mampu menghidupkan segala jenis tumbuhan dan hewan.
Bisa dibayangkan, bagaimana Republik yang subur nan kaya ini mengimpor beras dari negara yang notabenenya jauh dibandingkan kita, seperti Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, Vietnam menjadi pemasok terbesar beras impor Indonesia yang mencapai 171.286 ton dari total 472.000 ton beras yang dimpor[3]. Belum lagi sumber daya alam yang terus menerus dikeruk oleh para pengusaha dari negara luar. Dan masih banyak contoh lain yang membuktikan bahwa Republik ini masih belum mampu mandiri. Padahal para founding father Republik ini sudah mengamanahkan kepada generasi penerus untuk bisa berdikari.
Belajar dari Mahatma Gandhi
Kemandirian Republik ini harus segera mulai dibangun dengan bercermin dari negara lain yang kira-kira menyerupai negara Indonesia, yaitu India. India yang bisa dikatakan sebagai negara yang lebih plural dari Indonesia mampu lebih baik dalam hal kemandirian. Ini bisa dilihat dari perbedaan sikap antara Indonesia dengan India ketika tsunami 2004. Indonesia dengan bangga menerima semua bentuk bantuan langsung dari negara asing, namun India menolak dengan kepercayaan diri yang tinggi menyatakan bahwa mereka memiliki dana sendiri dalam meringankan dan menyelesaikan dampak yang diakibatkan oleh tsunami.
Kemandirian yang diperlihatkan India tersebut merupakan buah tradisi bangsa yang dipelopori oleh sosok Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi (2 Oktober 1869-30 Januari 1948) merupakan seorang pemimpin spiritual dan politik dari India yang lahir di masa kolonial Britania Raya. Mahatma Gandhi dikenal sebagai bapak sekaligus guru bangsa India yang mewariskan banyak ajaran ke generasi India pada khususnya dan dunia pada umunya.
Kemandirian merupakan salah satu warisan Mahatma Gandhi yang masih mengakar dalam jiwa rakyat India. Visi sosial Gandhi adalah melepaskan puluhan juta rakyat India dari jerat kemiskinan dengan melakukan gerakan produksi dalam negeri oleh massa (padat karya), sekaligus melepaskan ketergantungan pada produk impor (swadesi). Visi ini dimulai dengan melakukan produksi dalam negeri dengan melihat daya beli masyarakat. Produksi dalam negeri dikemas sederhana, sehingga masyarakat bisa membelinya. Tetapi dengan meningkatnya daya beli, maka kemasan produksi dalam negeri pun semakin dikemas dengan lebih baik.
Ajaran Mahatma Gandhi tentang swadesi merupakan ajaran untuk cinta tanah air. Menurutnya, konsep swadesi memiliki hubungan yang erat dengan semangat swaraj sebagai cita-cita bersama seluruh warga India, bahkan seluruh manusia. Dalam bahasa sederhana diartikan sebagai menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri. Konsep ini mengarah pada swaraj dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self rule) yang senjatanya bertumpu pada kekuatan sendiri (self rellance).
Namun setelah India mendapatkan kemerdekaan, maka ajaran swadesi Mahatma Gandhi lebih diartikan ke arah mencintai produk-produk dalam negeri. Ini merupakan semangat yang terus menerus dikobarkan bagi generasi India dewasa ini, sehingga India menjadi negara yang tidak terlalu menggantungkan kebutuhan masyarakatnya ke negara lain. Dan masyarakat India lebih memprioritaskan membeli produk dalam negeri dibandingkan produk luar negeri.  Ajaran ini berarti menolak impor kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh negara sendiri. 
Gandhi juga menyatakan bahwa salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Prinsip dasar dari Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai jalan yang benar atau jalan menuju kebenaran. Jalan yang benar maksudnya adalah seseorang harus selalu berpegang teguh pada ajaran agama (Tuhan). Prinsip ini telah menginspirasi banyak generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti rasisme, seperti Martin Luther Jr dan Nelson Mandela.
Gandhi menyatakan bahwa ajaran yang dibawanya sangatlah sederhana. Dimana ajarannya banyak bersumber pada kepercayaan Hindu Tradisional: kebenaran (satya) dan non-kekerasan (ahimsa).
Prinsip ajaran Gandhi tentang satya mengajarkan bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang benar, yaitu sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai moral. Nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran harus ditegakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemimpin harus memiliki integritas dan standar moral tunggal dalam kehidupan pribadi dan publik. Pemimpin harus berani menegakan keadilan dan kebenaran dengan segala resikonya, karena menurut Gandhi yang dikutipnya dalam sastra suci mengatakan “satyam eva jayate” yang berarti hanya kebenaran yang pada akhirnya akan berjaya.
Ahimsa merupakan ajaran Gandhi yang berarti melakukan perlawanan tanpa kekerasan. Ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi semangat nir-kekerasan dalam setiap tingkah laku kehidupan.
Kepemimpinan Gandhi ini mengajarkan kepada seluruh umat di dunia untuk melawan penjajahan atau sejenisnya tanpa kekerasan. Keberhasilannya menjadi tokoh sentral dalam melepas India dari penjajahan Britania Raya sebagai bukti dari ajarannya. Gandhi dalam menjalankan aksi-aksi perlawanan selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusian dalam melakukan pergerakannya.
Mahatma Gandhi memandang ahimsa dan satya ibarat saudara kembar yang memiliki hubungan yang sangat erat. Namun ahimsa merupakan sarana dalam mencapai kebenaran, karena kebenaran merupakan tujuannya. Ini berarti untuk mencapai kebenaran tidak boleh dilakukan dengan jalan kekerasan, baik dalam wujud pikiran, ucapan maupun tindakan. Gandhi juga menyatakan bahwa ahimsa tidak semata-mata berkonotasi negative, tetapi bisa juga berkonotasi positif, yaitu sebagai semangat dan pedoman hidup. Ahimsa dalam arti positif adalah cinta. Cintalah yang akan bisa menyelaraskan pikiran dengan perbuatan, sehingga pemimpin yang mengamalkan ajaran ini tidak akan melanggar aturan yang ada.
Ajaran-ajaran yang dikemukan oleh Gandhi, mulai dari ahimsa, satyagraha dan swadeshi merupakan ciri khas pergerakan India dalam meraih kemerdekaan. Ajaran tersebut menggambarkan kepemimpinan Gandhi yang mengutaman kemandirian bangsa dan negara, meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan.
Kepemimpinan Indonesia Masa Depan
Kepemimpinan yang ditunjukan oleh Mahatma Gandhi dengan ajaran-ajarannya harus menjadi inspirasi bagi pemimpin Republik ini. Republik yang subur nan kaya ini harus lebih percaya diri, karena dilihat dari sumber daya alam dan manusianaya memiliki potensi yang besar. Tinggal bagaimana caranya supaya kuantitas yang besar bisa diimbangi dengan kualitas. Tentunya kualitas akan bisa diperbaiki dengan cara pemimpin yang ada di Republik ini melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
Dengan mengaplikasikan ajaran-ajaran dari Mahatma Gandhi, maka pemimpin masa depan Republik ini akan mampu membawa perubahan yang besar. Mulai dari memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran dan lainnya, karena dengan memperdayakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada maka akan menjadikan Republik ini menjadi bangsa dan negara yang besar dan dihormati negara lain.
Kemandirian bangsa dan negara ini juga akan didapatkan seiring dengan pengaplikasian ajaran Gandhi di Republik ini, khususnya ajaran swadesi. Dengan membuat kebijakan yang lebih memprioritaskan produk dalam negeri, maka penghasilan para anak bangsa akan semakin meningkat, sehingga kesejahteraan akan diperoleh dengan sendirinya.
Kepemimpinan Indonesia masa depan harus berani menyatakan tidak pada produk luar negeri. Pemimpin Indonesia harus menghilangkan budaya impor yang hanya sebagai sarana menguntungkan para elit dan mematikan ekonomi anak bangsa. Saatnya Republik ini menyatakan gayang produk luar negeri demi menjaga keberlangsungan produksi-produksi dalam negeri.
Sikap pemimpin seperti itu akan mendapatkan banyak hambatan dan tantangan, karena di tahun 2015 Indonesia akan membuka pasar dengan negara-negara anggota ASEAN. Dimana hasil produksi negara anggota ASEAN bisa bebas keluar masuk ke Indonesia. Demikian juga Indonesia, bisa memasarkan produk dalam negerinya ke seluruh anggota ASEAN. Tentunya dalam menghadapi hal itu, dibutuhkan suatu sikap anak bangsa yang mandiri. Artinya harus bisa dan mampu menggunakan sumber daya yang dimiliki di Republik ini untuk bisa bersaing dalam pemasaran. Jangan sampai Republik ini menjadi terlena dengan produk-produk luar. Budaya konsumtif harus berubah menjadi budaya produktif.
Pemimpin masa depan Indonesia harus lebih mampu menyiapkan generasi yang siap bersaing dengan anak bangsa negara lain. Pemimpin masa depan harus mampu mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk lebih mandiri, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, sehingga cita-cita pahlawan Republik ini yang tertuang dalam konstitusi bisa dicapai, yaitu melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan.




[1] [1] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 42.


[2] Ibid, hal. 20
[3] “Tahun Lalu, Indonesia Impor Beras dari Lima Negara (05/02/2014)”, tempo.co, diakses tanggal 24 April 2014.

MENCARI PEMIMPIN INSPIRATIF DI ERA PESIMISTIS

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Republik Indonesia lahir dari sejarah yang panjang. Sejarah Republik yang terukir dari zaman batu sampai zaman modern. Tanah Republik yang dipijak oleh manusia purba, pithecanthropus erectus sampai manusia bertehnologi tinggi. Republik yang telah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki karakter kepemimpinan yang berkharismatik. Seharusnya sejarah tersebut menjadi pelajaran anak bangsa dewasa ini untuk menata masa depan bangsa dan negara ini.
Sejarah tentang para pemimpin yang selalu mengobarkan semangat optimisme di tegah serba kekurangan harus tetap diingat oleh anak bangsa ini. Namun dewasa ini, anak bangsa Republik ini sudah banyak melupakan hal itu. Sejarah kepemimpinan yang telah diukir nenek moyang malah dilupakan. Keapatisan tentang perjuangan nenek moyang membuat Republik ini terperangkap dalam sebuah problem ketidak percayaan diri, sehingga menyebabkan ketertinggalan dalam segala aspek dari negara lainnya.
Anak bangsa menjadi pesimistif tentang masa depan. Padahal nenek moyang Republik ini jauh lebih memiliki masalah yang kompleks. Masalah yang menghantui Republik dewasa ini hanya seper sekian persen dari masalah yang didapatkan nenek moyang kita. Sehingga tidak salah kalau dikatakan era dewasa ini disebut sebagai era pesimistis.
Julukan era pesimistis memang tidaklah cocok untuk Republik yang dibangun dari semangat optimisme. Bisa dilihat bagaimana founding father Republik mampu menebar semangat optimisme kepada rakyat yang notabenenya mayoritas buta huruf. Buta huruf bukan menjadi masalah bagi pemimpin zaman itu, karena mereka mampu menggerakan mereka dengan menjadikan diri mereka sebagai pemimpin yang inspiratif dalam situasi dan kondisi apa pun.
Pemimpin Republik ini (baca: masa lalu) memang mengerti dan memahami hakekat dari kepemimpinan. Mereka bisa menebar buih isnspiratif yang menjadi fungsi dari pemimpin. Mereka mampu menempatkan diri dengan baik dan benar. Menurut Miftha Thoha, mereka memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasan.
Namun dewasa ini, prilaku  pemimpin Republik ini sangat memprihatinkan. Dimana mereka seolah-olah menjadi super hero yang bisa segala-galanya dengan mengindahkan aturan. Super hero ini juga bukan bekerja untuk publik tetapi lebih mengarah ke arah kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka seperti harimau yang memakan segala-galanya, tanpa melihat apakah itu haknya atau orang lain.
Mayoritas pemimpin dewasa ini memang seperti itu. Mereka mempertontonkan sifat yang tidak patut diikuti oleh anak bangsa, sehingga anak bangsa dewasa ini tidak memiliki panutan. Padahal pemimpin merupakan panutan utama dalam menata masa depan bangsa dan negara ini. Dengan hilangnya panutan dari mayoritas pemimpin, maka tidak salah kalau masa depan Republik ini semakin curam.
Itu memang pikiran yang lahir dari kelompok pesimistis. Namun sebenarnya itu tidaklah benar. Mengingat Republik ini sudah banyak menelurkan pemimpin yang inspiratif. Anak bangsa harus lebih mampu memahami sejarah, supaya menemukan pemimpin-pemimpin yang patut untuk dicontoh. Seperti Soekarno, Hatta, Buya Hamka, Syahrir dan lainnya.
Pemimpin yang inspiratif di Republik ini sebenarnya masih ada, tetapi masih disembunyikan oleh sistem. Sistem membuat mereka tidak bisa muncul kepermukaan. Mereka masih tidak bisa berbuat lebih dalam menebar buih inspiratif. Mereka masih berdedikasi dalam skala kecil. Namun itu tidak menjadi masalah, karena dedikasi yang dumulai dari hal-hal yang kecil akan berbuah agung.
Sistem demokrasi di Republik ini  harus direstorasi supaya pemimpin inspiratif bisa menyinari dalam skala yang lebih luas, yaitu mencangkup seluruh anak bangsa di pelosok nusantara. Demokrasi dewasa ini hanya akan mengangkat mereka yang berduit. Yang berduit mayoritas mereka berasal dari pengusaha yang tidak peka dengan kemauan mayoritas, karena mereka memiliki kepentingan sendiri.
Dalam perhelatan demokrasi dewasa ini memang sulit menemukan pemimpin inspiratif. Namun kita bisa menemukan pemimpin seperti itu dengan cara anak bangsa ini harus lebih selektif dalam memilih. Anak bangsa tidak boleh apatis yang malah akan menyebabkan mereka (baca: pemimpin yang memperkaya diri) akan terus bergentayangan di Republik ini. Persoalan pemimpin yang disajikan di media perlu menjadi rujukan, tetapi tidak boleh membuat anak bangsa patah semangat dalam melangsungkan semangat kemerdekaan demi cita-cita Republik ini. Generasi saat ini harus menjadi generasi yang memiliki visi optimisme yang tinggi, bulkan pesimistis.
Pemilu Presiden 2014
Kesempatan Republik ini mendapatkan pemimpin yang inspiratif akan bisa didapatkan melalui sebuah proses pemilu. Pemilu yang hadir dalam kurun waktu lima tahun sekali menjadi momentum perubahan bagi Republik ini. Namun dalam pelaksanaannya, masih jauh dari harapan.
Di tahun 2014 ini, perhelatan demokrasi akan berlangsung. Pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilangsungkan. Pada tanggal 9 April yang lalu, Republik sudah melaksanakan pemilu legislative. Harapan anak bangsa pastinya mereka yang melangkah ke Senayan periode ini adalah mereka yang mampu memberikan inspirasi kepada anak bangsa. Jangan mereka datang ke Senayan hanya untuk menguras uang rakyat. Mereka harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Pasca pemilihan legislative, KPU akan menyelenggarakan pemilihan presiden. Pemilihan presiden kali ini harus mampu memilih mereka yang memang benar-benar inspiratif, sehingga anak bangsa yang berjumlah ratusan juta bisa digerakan dengan melihat prilaku pimpinan tertingginya. Inspiratif itu berarti akan bisa mempengaruhi bawahannya yang awalnya pesimis dengan keadaan yang menerpa Republik ini. Pemimpin inspiratif akan bisa meningkatkan kepercayaan diri bawahannya. Itulah sosok presiden yang dibutuhkan.
Akankah pemilu presiden 2014 ini akan mampu menghadirkan pemimpin seperti itu? Tentunya itu akan tergantung dari banyak pihak, khususnya partai politik sebagai penyaji calon presiden dan wakil presiden. Partai politik harus bisa menyajikan menu yang terbaik dari yang terbaik, supaya konstituen lebih leluasa dalam menangkap presiden dan wakil presiden yang mampu menebar buih perubahan yang diawali dengan sikap inspiratif.
Konstituen yang diberikan kepercayaan juga harus menggunakan haknya dengan semaksimal mungkin. Jangan sampai demokrasi di Republik ini selalu dimenangi oleh mereka yang tidak menggunakan hak suaranya (golput). Konstituen tidak boleh tergiur dengan angka rupiah yang dijanjikan oleh calon tertentu, karena itu akan menjerumuskan Republik ini ke arah kehancuran.
Republik ini merindukan pemimpin yang inspiratif sebagai nahkoda utama dalam menghadapi gelombang glabalisasi. Mudah-mudahan mereka lahir di tahun ini, tepatnya pada tanggal 9 Juli mendatang.


Thursday 17 April 2014

Mengeliminasi Rupiah di Alam Demokrasi, Dari Pasar Menuju Supermarket


Oleh: Dedet Zelthauzallam 
Ada pepatah yang menyatakan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya membutuhkan uang. Memang pepatah tersebut tidak benar, namun lebih banyak berbuah sebagai fakta. Apalagi di zaman saat ini, sepertinya uang bisa dikatakan menjadi nyawa kehidupan. Tanpa uang seperti tubuh tak bernyawa. Semua kegiatan akan mudah dilaksanakan dan dicapai dengan uang. Kehidupan seperti itu bukan hanya ditemukan di perkotaan saja, tetapi di desa yang dikenal memiliki hubungan kekeluargaan yang bisa dilihat dari kegiatan gotong royong sudah memulai membuyar.
Republik yang terbangun dari semangat gotong royong dalam mengusir penjajah ini sudah mulai bergeser ke arah yang berorientasi nilai harga yang disebut rupiah. Rupiah berhasil masuk dalam sendi-sendi kehidupan anak bangsa ini. Paradigma anak bangsa selalu berorientasi ke rupiah. Tanpa rupiah sepertinya anak bangsa ini akan sulit untuk bisa bergerak dalam tindakan untuk publik. Itu memang potret kenyataan mayoritas anak bangsa saat ini, meskipun masih ada sebagian anak yang memiliki semangat yang tidak mau dirupiahkan.
Orientasi mayoritas anak bangsa terhadap rupiah memang tidak bisa disalahkan. Ini memang diakibatkan oleh semakin kompleknya kebutuhan di era dewasa ini. Kebutuhan individual dan komunitasnya membuat sang anak bangsa harus melakukannya. Ini tidak masalah, ketika rupiah yang didapatkan memang dari hasil jerih payah keringat. Namun yang menjadi masalah adalah ketika dalam melakukan setiap tindakan anak bangsa harus dirupiahkan. Hal yang paling menyakitkan dalam orientasi tersebut adalah ketika dalam menyalurkan hak suara untuk menentukan nasib lima tahun Republik ini.
Dalam penyaluran hak suara mayoritas para pemegang kedaulatan tertinggi (amanah UUD 1945) menggadaikan Republik ini kepada para pemberi rupiah. Sepertinya demokrasi yang dibangun untuk tujuan mencapai cita-cita para pendiri Republik ini malah disalahgunakan dan tidak tepat sasaran. Demokrasi yang dipraktekan malah menjadi pasar tumpah yang menyajikan transaksi jual beli. Tawar menawar pun menjadi hal yang lumrah, karena itu merupakan ciri khas kehidupan pasar.
Demokrasi yang disajikan di Republik ini memang memperlihatkan kehidupan pasar. Kalau begitu berarti anak bangsa ini merupakan mayoritas orang pasar. Dimana orang pasar sering kali dikonotasikan sebagai orang miskin, wong deso dan sejenisnya. Atau pasar lebih dilihat sebagai tempat orang premetif/tradisional. Pasar tradisional dewasa ini sering kali menjadi antitesa dari supermarket, mall dan sejenisnya. Sehingga mayoritas anak bangsa gengsi masuk di dalam pasar.
Namun apabila melihat demokrasi Republik ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka kita harus mau disebut sebagai orang pasar, karena mayoritas dari kita masih suka memperaktikan kehidupan pasar dalam menjalankan kehidupan Republik ini. Anehnya mayoritas anak bangsa di Republik ini tidak mau disebut sebagai orang pasar, namunmemperaktikan kehidupan orang pasar. Seharusnya kalau malu disebut sebagai orang pasar, anak bangsa harus menjauhkan diri dari namanya money politic. Demokrasi yang dipraktekan harus bergaya supermarket/mall, dimana para pembeli bisa memilih barang yang disukainya, tanpa adanya proses tawar menawar.
Fakta yang terjadi paska penyelenggaraan demokrasi langsung untuk ketiga kali di Republik ini membuktikan kepada kita bahwa proses demokrasi pasar masih dilakukan dan caranya pun semakin beraneka ragam. Ini akan sulit ditinggalkan dan dihilangkan, tetapi akan mudah ketika kita dalam proses demokrasi kita semua memperaktikan gaya para pembeli di supermarket/mall, bukan pasar. Caranya pasti dengan melalui peningkatan pendidikan, sehingga pengetahuan anak bangsa menjadi luas, pasti ujungnya akan menghasilkan sebuah paradigma tanpa rupiah tetapi lebih berbicara kepada kualitas.
Anak bangsa yang memiliki paradigma seperti itulah yang diharapkan sebagai generasi pemegang kedaulatan tertinggi (baca: rakyat), sehingga demokrasi yang berlangsung di Republik ini bisa meraih tujuan yang diharapkan, bukan demokrasi transaksional rupiah semata. Demokrasi saat ini harus lebih berbicara tentang kualitas bukan tentang kekuatan rupiah. Rupiah tidak boleh menjadi panglima demokrasi di Republik ini. Rupiah harus menjadi sirna ketika demokrasi berkangsung. Apabila rupiah tetap menjadi panglima penentu dalam proses demokrasi, maka nasib Republik ini pun akan semakin menjadi buram dalam mencapai cita-cita yang diamanahkan dalam UUD 1945, yaitu  mencerdaskan, melindungi dan mensejahterakan. Tiga poin pokok itu menjadi hal yang penting diwujudkan demi membangun Republik ini untuk bisa bersaing dikencah internasional.
Demokrasi transaksional yang kita sebut pasar hanya akan menguntungkan bagi mereka yang duduk disinggasana kursi kekuasaan. Dengan kekuasaan itulah mereka memperkaya diri, keluarga dan kroninya, tanpa mementingkan kepentingan mayoritas anak bangsa di Republik ini. Mereka pasti akan menikmati keenakan hidup di Republik ini. Tidak seperti mayoritas anak bangsa yang melangsungkan hidup dengan jerih payah yang mengeluarkan keringat sebegitu besar untuk mengais rupiah. Itu kalau ada tempat untuk mendapatkan rupiah, tetapi kalau tidak ada terpaksa mereka harus berpuasa dari sebutir nasi yang hanya bisa didapatkan dari rupiah. Ada juga anak bangsa yang harus tidur dengan beralaskan tanah dengan diterangkan oleh cahaya rembulan.
Tegakah kita mebiarkan anak bangsa ini seperti itu. Jawaban itu akan kembali lagi kepada diri masing-masing.anak bangsa ini, termasuk saya. Kalau kita selalu berbicara demokrasi yang bersifat transaksional, maka para wakil rakyat kita tidak akan bisa bekerja untuk rakyat tetapi bekerja untuk pribadi, keluarga dan kelompoknya. Rakyat hanya akan di atas namakan oleh mereka. Namun kebijakan yang dihasilkan hanya akan kembali ke mereka. Maukah kita selalu dibelenggu dengan kehidupan para wakil rakyat seperti itu. Pasti semua anak bangsa di seluruh pelosok Republik ini, dari Sabang- Merauke, jawabannya TIDAK.
Meskipun semuanya mengatakan tidak, namun tidak dipungkiri masih banyak yang masih mau melakukannya. Itulah yang dikatakan oleh Anis Baswedan mayoritas anak bangsa hanya bisa urun angan tanpa turun tangan. Tidak ada yang mau melawan praktek tersebut, malah kita memgamininya. Mereka hanya menunggu, menunggu dan menunggu. Padahal Allah sudah menyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri. Harusnya kita bangsa Indonesia sebagai Republik penganut Islam terbesar di dunia memahami itu.

Sejarah telah mencatat bahwa Republik ini dibangun oleh pahlawan pemberani. Mereka tidak takut melawan  bedil (baca: pistol) dengan bambu runcing. Berkat semangat optimisme ditengah kekurangan itulah mereka merebut Republik ini dari tangan bangsa asing yang telah memeras alam berabad-abad. Pahlawan Republik kita memiliki cita-cita mulia demi masa depan anak bangsa dikemudian hari. Tegakah kita menghianati perjuangan tanpa pamrih mereka? Kalau tidak, kita harus mengubah budaya demokrasi di Republik ini ke arah yang tidak berorientasi rupiah, tetapi lebih ke arah kualitas. Atau kita sebut sebagai peralihan dari budaya pasar menuju supermarket. Anak bangsa yang baik dan benar pasti akan meng-IYA-kan dan menolak dengan mengatakan TIDAK pada rupiah dalam demokrasi.