Oleh: Dedet Zelthauzallam
Ada
pepatah yang menyatakan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya
membutuhkan uang. Memang pepatah tersebut tidak benar, namun lebih banyak berbuah
sebagai fakta. Apalagi di zaman saat ini, sepertinya uang bisa dikatakan
menjadi nyawa kehidupan. Tanpa uang seperti tubuh tak bernyawa. Semua kegiatan
akan mudah dilaksanakan dan dicapai dengan uang. Kehidupan seperti itu bukan
hanya ditemukan di perkotaan saja, tetapi di desa yang dikenal memiliki
hubungan kekeluargaan yang bisa dilihat dari kegiatan gotong royong sudah
memulai membuyar.
Republik
yang terbangun dari semangat gotong royong dalam mengusir penjajah ini sudah
mulai bergeser ke arah yang berorientasi nilai harga yang disebut rupiah.
Rupiah berhasil masuk dalam sendi-sendi kehidupan anak bangsa ini. Paradigma
anak bangsa selalu berorientasi ke rupiah. Tanpa rupiah sepertinya anak bangsa
ini akan sulit untuk bisa bergerak dalam tindakan untuk publik. Itu memang
potret kenyataan mayoritas anak bangsa saat ini, meskipun masih ada sebagian
anak yang memiliki semangat yang tidak mau dirupiahkan.
Orientasi
mayoritas anak bangsa terhadap rupiah memang tidak bisa disalahkan. Ini memang
diakibatkan oleh semakin kompleknya kebutuhan di era dewasa ini. Kebutuhan
individual dan komunitasnya membuat sang anak bangsa harus melakukannya. Ini
tidak masalah, ketika rupiah yang didapatkan memang dari hasil jerih payah
keringat. Namun yang menjadi masalah adalah ketika dalam melakukan setiap
tindakan anak bangsa harus dirupiahkan. Hal yang paling menyakitkan dalam
orientasi tersebut adalah ketika dalam menyalurkan hak suara untuk menentukan
nasib lima tahun Republik ini.
Dalam
penyaluran hak suara mayoritas para pemegang kedaulatan tertinggi (amanah UUD
1945) menggadaikan Republik ini kepada para pemberi rupiah. Sepertinya
demokrasi yang dibangun untuk tujuan mencapai cita-cita para pendiri Republik
ini malah disalahgunakan dan tidak tepat sasaran. Demokrasi yang dipraktekan
malah menjadi pasar tumpah yang menyajikan transaksi jual beli. Tawar menawar
pun menjadi hal yang lumrah, karena itu merupakan ciri khas kehidupan pasar.
Demokrasi
yang disajikan di Republik ini memang memperlihatkan kehidupan pasar. Kalau
begitu berarti anak bangsa ini merupakan mayoritas orang pasar. Dimana orang
pasar sering kali dikonotasikan sebagai orang miskin, wong deso dan sejenisnya.
Atau pasar lebih dilihat sebagai tempat orang premetif/tradisional. Pasar
tradisional dewasa ini sering kali menjadi antitesa dari supermarket, mall dan
sejenisnya. Sehingga mayoritas anak bangsa gengsi masuk di dalam pasar.
Namun
apabila melihat demokrasi Republik ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka
kita harus mau disebut sebagai orang pasar, karena mayoritas dari kita masih
suka memperaktikan kehidupan pasar dalam menjalankan kehidupan Republik ini.
Anehnya mayoritas anak bangsa di Republik ini tidak mau disebut sebagai orang
pasar, namunmemperaktikan kehidupan orang pasar. Seharusnya kalau malu disebut
sebagai orang pasar, anak bangsa harus menjauhkan diri dari namanya money politic. Demokrasi yang
dipraktekan harus bergaya supermarket/mall, dimana para pembeli bisa memilih
barang yang disukainya, tanpa adanya proses tawar menawar.
Fakta
yang terjadi paska penyelenggaraan demokrasi langsung untuk ketiga kali di
Republik ini membuktikan kepada kita bahwa proses demokrasi pasar masih
dilakukan dan caranya pun semakin beraneka ragam. Ini akan sulit ditinggalkan
dan dihilangkan, tetapi akan mudah ketika kita dalam proses demokrasi kita
semua memperaktikan gaya para pembeli di supermarket/mall, bukan pasar. Caranya
pasti dengan melalui peningkatan pendidikan, sehingga pengetahuan anak bangsa
menjadi luas, pasti ujungnya akan menghasilkan sebuah paradigma tanpa rupiah
tetapi lebih berbicara kepada kualitas.
Anak
bangsa yang memiliki paradigma seperti itulah yang diharapkan sebagai generasi
pemegang kedaulatan tertinggi (baca: rakyat), sehingga demokrasi yang
berlangsung di Republik ini bisa meraih tujuan yang diharapkan, bukan demokrasi
transaksional rupiah semata. Demokrasi saat ini harus lebih berbicara tentang
kualitas bukan tentang kekuatan rupiah. Rupiah tidak boleh menjadi panglima
demokrasi di Republik ini. Rupiah harus menjadi sirna ketika demokrasi
berkangsung. Apabila rupiah tetap menjadi panglima penentu dalam proses
demokrasi, maka nasib Republik ini pun akan semakin menjadi buram dalam
mencapai cita-cita yang diamanahkan dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan, melindungi dan mensejahterakan.
Tiga poin pokok itu menjadi hal yang penting diwujudkan demi membangun Republik
ini untuk bisa bersaing dikencah internasional.
Demokrasi
transaksional yang kita sebut pasar hanya akan menguntungkan bagi mereka yang
duduk disinggasana kursi kekuasaan. Dengan kekuasaan itulah mereka memperkaya
diri, keluarga dan kroninya, tanpa mementingkan kepentingan mayoritas anak
bangsa di Republik ini. Mereka pasti akan menikmati keenakan hidup di Republik
ini. Tidak seperti mayoritas anak bangsa yang melangsungkan hidup dengan jerih
payah yang mengeluarkan keringat sebegitu besar untuk mengais rupiah. Itu kalau
ada tempat untuk mendapatkan rupiah, tetapi kalau tidak ada terpaksa mereka
harus berpuasa dari sebutir nasi yang hanya bisa didapatkan dari rupiah. Ada
juga anak bangsa yang harus tidur dengan beralaskan tanah dengan diterangkan
oleh cahaya rembulan.
Tegakah
kita mebiarkan anak bangsa ini seperti itu. Jawaban itu akan kembali lagi
kepada diri masing-masing.anak bangsa ini, termasuk saya. Kalau kita selalu
berbicara demokrasi yang bersifat transaksional, maka para wakil rakyat kita
tidak akan bisa bekerja untuk rakyat tetapi bekerja untuk pribadi, keluarga dan
kelompoknya. Rakyat hanya akan di atas namakan oleh mereka. Namun kebijakan yang
dihasilkan hanya akan kembali ke mereka. Maukah kita selalu dibelenggu dengan
kehidupan para wakil rakyat seperti itu. Pasti semua anak bangsa di seluruh
pelosok Republik ini, dari Sabang- Merauke, jawabannya TIDAK.
Meskipun
semuanya mengatakan tidak, namun tidak dipungkiri masih banyak yang masih mau
melakukannya. Itulah yang dikatakan oleh Anis Baswedan mayoritas anak bangsa
hanya bisa urun angan tanpa turun tangan. Tidak ada yang mau melawan praktek
tersebut, malah kita memgamininya. Mereka hanya menunggu, menunggu dan
menunggu. Padahal Allah sudah menyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an tidak
akan mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu tidak mau mengubah nasibnya
sendiri. Harusnya kita bangsa Indonesia sebagai Republik penganut Islam
terbesar di dunia memahami itu.
Sejarah
telah mencatat bahwa Republik ini dibangun oleh pahlawan pemberani. Mereka
tidak takut melawan bedil (baca: pistol) dengan bambu runcing. Berkat semangat
optimisme ditengah kekurangan itulah mereka merebut Republik ini dari tangan
bangsa asing yang telah memeras alam berabad-abad. Pahlawan Republik kita
memiliki cita-cita mulia demi masa depan anak bangsa dikemudian hari. Tegakah
kita menghianati perjuangan tanpa pamrih mereka? Kalau tidak, kita harus
mengubah budaya demokrasi di Republik ini ke arah yang tidak berorientasi
rupiah, tetapi lebih ke arah kualitas. Atau kita sebut sebagai peralihan dari
budaya pasar menuju supermarket. Anak bangsa yang baik dan benar pasti akan
meng-IYA-kan dan menolak dengan mengatakan TIDAK pada rupiah dalam demokrasi.
No comments:
Post a Comment