Oleh: Dedet Zelthauzallam
Di era
globalisasi dewasa ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh lingkungan strategis yang melingkupinya, baik di tingkat
global, regional, nasional maupun lokal. Pengaruh lingkungan tersebut
disebabkan oleh kemajuan tehnologi yang berkembang pesat, sehingga menyebabkan dunia
seolah-olah tanpa batas (borderless
world). Keadaan seperti itulah yang menuntut bangsa dan negara di dunia
untuk selalu siap dan tanggap dalam menghadapi segala bentuk dinamika global
yang bisa berdampak langsung ke kehidupan sosial masyarakat.
Proses globalisasi telah mengakibatkan terjadinya
proses restrukturisasi kehidupan sehari-hari dalam sejumlah sektor dihampir
seluruh populasi dunia, serta mendefinisikan kembali gagasan mengenai ruang,
waktu, identitas dan agen pada tingkatan lokal.[1] Sebagai
konsekuensinya, globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang
meruntuhkan totalitas dan kesatuan nilai-nilai individu dan kolektif. Budaya
global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tantanan global.[2] Oleh
karena itu, globalisasi mengandung elemen homogenisasi kultural. Meski
demikian, pada saat bersamaan mekanisme fragmentasi, heterogenisasi dan
hibridisasi juga beroperasi.
Hibridisasi budaya atau yang lebih populer disebut
sebagai penyerbukan silang antarbudaya[3]
sebenarnya sudah terjadi sebelum Republik Indonesia memperoleh legitimasi
kemerdekaan dari penjajah. Letaknya yang strategis membuat Indonesia menjadi
titik temu para penjelajah bahari yang membawa berbagai arus peradaban yang
beranekaragam. Pertemuan itulah yang meyebabkan budaya yang ada di Indonesia menjadi
sangat plural. Menurut Denys Lombard, tak ada satu pun tempat di dunia ini,
kecuali Asia Tengah, yaitu nusantara (baca: Indonesia) menjadi tempat kehadiran
hampir semua kebudayaan besar di dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.
Dia melukiskan adanya beberapa nebula sosial-budaya yang secara kuat
mempengaruhi peradaban Nusantara (khususnya Jawa), yaitu Indianisasi, jaringan
Asia (Islam dan Tiongkok) serta arus westernisasi.
Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) bisa dilihat dari
bentuk candi kerajaan nusantara zaman dulu, seperti Candi Borobudur dan
Prambanan. Bentuknya mirip dengan bentuk candi yang ada di India. Selain itu
juga, struktur konsentris kosmologi India mempengaruhi mentalitas masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Hal itu tampak pada cara berfikir, sistem
tata susila, upacara-upacara dan seni. Sedangkan pengaruh Islam mulai dirasakan
kuat masuk di Indonesia pada abad ke-XIII dengan ditandai oleh berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam. Mulai dari kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera
Pasai kemudian menjalar secara cepat ke seluruh nusantara, baik di Jawa maupun
Indonesia bagian timur.
Penyerbukan silang antarbudaya yang telah berlangsung
lama itulah yang telah menelurkan kebudayaan yang ada di seluruh pelosok
nusantara, yang membentang dari Sabang-Merauke. Terdapat lebih dari 300 etnik
atau tepatnya 1.340 suku bangsa.[4] Kebudayaan
yang plural tersebut menjadi aset kekayaan yang berharga bagi Indonesia. Sebagai
aset kekayaan, kebudayaan yang dimiliki harus dilestarikan dan dikembangkan supaya
masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat untuk menghadapi
segala bentuk perubahan yang diakibatkan dari dinamika globalisasi.
Untuk menjaga kemajemukan kebudayaan Indonesia, para
founding father Republik ini sudah mem-frame di dalam sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, artinya berbeda-beda
namun satu jua. Lebih tepatnya adalah keanekaragaman budaya yang ada di seluruh
nusantara dibingkai menjadi satu di dalam kebudayaan nasional, baik itu bahasa,
adat istiadat, lagu daerah, pakaian adat, rumah adat dan lainnya. Dan selanjutnya
akan menjadi strategi dalam mempercepat pembangunan Indonesia.
Namun yang terjadi pasca hampir 69 tahun Republik
Indonesia merdeka adalah budaya yang plural nan kaya tidak mampu mengangkat
kualitas bangsa dan negara. Indonesia masih terbelenggu menjadi negara
konsumtif. Itu bisa dilihat dari produk luar negeri yang terus menerus membanjiri
pasar dalam negeri. Produk dari Tiongkok mendominisasi barang-barang elektronik
yang sudah tidak terhitung jumlah mereknya. Indonesia juga masih harus mengimpor
beras, daging sapi, kedelai, cabai dan sejenisnya dari negara lain yang
notabenenya jauh tidak subur dibandingkan kita, seperti Vietnam, Thailand,
India, Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2013, Vietnam menjadi pemasok terbesar beras impor Indonesia yang
mencapai 171.286 ton dari total 472.000 ton beras yang dimpor.[5]
Hadirnya era reformasi yang membawa banyak perubahan
juga belum mampu menciptakan harapan menjadi kenyataan. Malah perubahan
tersebut menimbulkan benih-benih permasalahan baru yang membelenggu tujuan dari
pelaksanaannya. Seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh elit semakin bersifat
masif. BPK RI mencatat sudah ada 311 kepala daerah atau sekitar 65% dari total
kepala daerah di Indonesia tersandung korupsi yang nilai potensi kerugian
negara mencapai 36,7 triliun rupiah.[6]
Korupsi sepertinya menjadi budaya baru dan mulai
mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia. Korupsi dewasa ini dilakukan
oleh lintas kalangan dengan berbagi macam modus. Budaya malu pun mulai
terdegradasi dalam diri masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia pun sudah mulai
apatis dan semangat gotong royong sudah mulai luntur. Semua tindakan dan
kegiatan masyarakat Indonesia dewasa ini berorientasi pada rupiah. Sepertinya
pergeseran prilaku budaya Indonesia yang terjadi di era globalisasi ini lebih
mengarah ke arah yang negatif. Akselerasi pertukaran budaya yang berlangsung
dengan cepat tidak bisa dihadapi masyarakat kita. Masyarakat seharusnya
diedukasikan dan dilatih, supaya tidak hanya mendapatkan ampas dari budaya lain.
Ampas dalam artian hanya bisa mengambil hal-hal yang negatif dari suatu budaya.
Solusi dari problem tersebut adalah melalui penyerbukan
silang antarbudaya yang harus ditelurkan di era globalisasi, yaitu dengan mengambil aspek
positif budaya-budaya lain, baik di aras lokal maupun aras global, kerena menurut
Samuel P. Hutington, kebudayaan merupakan unsur determinan maju dan mundurnya
suatu bangsa. Sehingga sangat penting sekali bagi Indonesia memiliki kebudayaan
yang mampu menghadapi dinamika perubahan
di era globalisasi demi menata dan membangun bangsa ini.
Strategi Penyerbukan
Silang Antarbudaya di Era Globalisasi
Dalam melihat penyerbukan silang antarbudaya di era
globalisasi terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik prosesnya.
Arjun Appadurai mengindentifikasikan karakteristik proses globalisasi harus melalui
lima aliran atau pergerakan dari sudut pandang etnik, finansial, teknologi,
media dan ideologi dalam aliran yang disjungtif.
Disebut disjungtif karena kecepatan,
cakupan dan akibat dari aliran-aliran ini tidak harmonis, melainkan aliran ini
terbelah-belah dan terputus-putus. Appadurai menggunakan akhiran “scape” pada kelima aliran itu untuk
menggambarkan lanskap tak menentu yang dihasilkannya. Kelima aliran tersebut
adalah 1) ethnoscapes, lanskap
orang-orang yang mendasari pergeseran dunia tempat kita bermukim, seperti
turis, imigran, pegungsi dan tenaga kerja asing, 2) finanscapes, lanskap pergerakan modal dan komoditas dalam kecepatan
yang mengagumkan, 3) technoscapes,
lanskap perubahan dan transformasi tehnologi global, 4) mediascapes, lanskap kapasitas media elektronik dalam memproduksi
dan mendiseminasi informasi, seperti surat kabar, stasiun televisi dan studio
produksi film berikut citraan dunia yang diciptakan oleh media-media tersebut,
dan 5) ideoscapes, lanskap diskursus
yang berkaitan dengan artikulasi identitas kolektif, nasional dan individual.[7]
Menurut Woodham, sejarah masyarakat kontemporer di
era globalisasi ini dibentuk secara signifikan oleh abad mesin dan tehnologi
baru industri kapitalis. Pada masa ini, kapitalisme menjadi kekuatan yang
paling penting yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global,
tetapi juga telah mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada
perbedaan-perbedaan dan mengarahkan masyarakat dalam pembentukan status dan
identitas personal dan kolektif. Dalam era ini, media elektronik dan budaya
konsumer telah memainkan peranan penting di jantung kehidupan masyarakat
kontemporer. Proses tersebut telah menempatkan pasar ditahta tertinggi dalam
membangun tata nilai dan tantanan sosial. Pasar juga telah memperluas orientasi
masyarakat dan mobalitas sosial sampai titik nadir terakhir yang menyebabkan
batas-batas sosial kultural cenderung mengabur akibat berubahnya orientasi
ruang dan waktu.[8]
Dalam menjalankan strategi penyerbukaan di era
globalisasi, kita juga perlu mengubah persepsi kita tentang kebudayaan.
Kebudayaan bukan sekedar merupakan koleksi barang-barang budaya yang
disakralkan, melainkan kegiatan manusia untuk menciptakan alat-alat kerja yang
senantiasa memberi wujud baru pada pola-pola kebudayaan yang ada. Dengan
demikian, secara formal kebudayaan adalah realisasi kemampuan-kemampuan
manusia, yaitu sebagai pengembangan segala bakat dan kekuatan kodrat.
Kebudayaan terlihat dalam dinamika serta proses realisasinya menuju kedewasaan
hidup. Dengan kata lain, kebudayaan terwujud dalam learning process selama hidup.
Dengan kita mengetahui karakteristik globalisasi dan
perubahan persepsi tentang kebudayaan, maka penyerbukan silang antarbudaya di
era globalisasi bisa dilakukan dengan menyilangkan antara budaya lokal dengan
lokal, budaya asing dengan lokal maupun budaya nasional dengan asing yang di-frame menjadi budaya nasional dengan
tetap memperhatikan pergerakan dari sudut etnik, finansial, teknologi, media
dan ideologi yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, sehingga kebudayaan
yang ditelurkan memang memiliki mutu yang berkualitas tinggi. Budaya akan menjadi spirit baru masyarakat
Indonesia dalam mengejar ketertinggalan, baik itu budaya yang berupa etos
kerja, kepribadian, kedisiplinan, keterampilan dan lainnya.
Banyak contoh penyerbukan silang antarbudaya yang sudah
dilakukan dan dinilai berhasil, seperti, Batik Tiga Negeri Tambal, batik ini
merupakan hasil silang antar budaya (antar kelompok agama dan etnik) dan
kerjasama teknis-ekonomis lintas daerah. Batik motif Tambal umumnya ditemukan
pada gaya batik pedalaman (Yogya dan Solo). Sedangkan batik Tiga Negeri umumnya
dikenal sebagai batik multikultural yang melibatkan pembuatan di tiga daerah,
yaitu Lasem, Pekalongan dan Solo. Batik Tiga Negeri bermotif Tambal dari Batang
merupakan gabungan desain pedalaman dan peisisiran yang menarik dikaji. Dengan
adanya penyerbukan silang antarbudaya tersebut, maka desain batik yang
disajikan lebih menarik, sehingga disukai oleh konsumen.
Dibalik keberhasilan tersebut masih ada pekerjaan
rumah yang belum terselesaikan dalam melakukan penyerbukan silang antarbudaya,
yaitu bangsa Indonesia masih diembargo dalam budaya lembek (soft culture), pasrah dan terlena oleh alam.[9] Mochtar
Lubis menyebut ciri-ciri manusia Indonesia, yaitu: hipokrit, tidak
bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, memiliki jiwa feodal, masih
mempercayai takhyul, artistik, watak lemah, boros dan sifat buruk lainnya.[10] Sifat-sifat
seperti itu memang masih mematri pada mayoritas masyarakat Indonesia. Seharusnya
sifat tersebut sudah ditinggalkan oleh masyarakat, karena akan menjadi bumerang
bagi masa depan bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia saatnya untuk berguru pada
Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan. Mereka bisa melangkah jauh lebih cepat
dibandingkan Indonesia, meskipun keadaan alamnya sangat memprihatinkan. Mereka dewasa
ini menjadi kekuatan baru dunia yang mampu bersaing dengan negara-negara Eropa
maupun dengan Amerika Serikat. Sejumlah lembaga internasional malah memprediksi
ekonomi Tiongkok akan segera melampaui Amerika Serikat, karena dalam satu
dekade terakhir pertumbuhan ekonominya sangat fantastis.[11] Mereka bisa demikian, karena memiliki budaya
kerja, semangat juang pantang menyerah dan kepercayaan diri yang tinggi. Namun
bangsa Indonesia sebaliknya, terlalu dininak bobokan dengan alam Indonesia nan
kaya. Masyarakat Indonesia masih mengadopsi sifat-sifat yang telah disebut oleh
Mochtar Lubis di atas, sehingga kekayaan alam yang luar biasa melimpahnya hanya
dikeruk asing dan dibawa mentahnya ke luar negeri. Padahal Ir. Sukarno pernah
mengatakan bahwa kita harus menjadi bangsa yang berdikari, baik di bidang
ekonomi, politik maupun budaya. Namun apa yang dikatakan Sukarno itu tidak
didengar oleh pemimpin setelahnya. Kekayaan alam bangsa ini malah digadaikan
kepada asing.
Sukarno juga dengan kepercayaan diri yang tinggi
mengatakan: “aku tinggalkan kekayaan alam
Indonesia, biar semua negara besar iri dengan Indonesia dan aku tinggalkan
sampai bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya”. Lalu kalau alam sudah
mengikis dan kebudayaan sudah terdegradasi, apa yang akan diwariskan kepada
anak bangsa ini? Warisan yang paling bisa diturunkan adalah dengan membangun
sebuah budaya nasional yang kuat dan inovatif, sehingga mampu membentuk
mental-mental baja dalam menghadapi gelombang globalisasi.
Wadah Penyerbukan Silang
Antarbudaya
Dalam mengimpelmentasikan penyerbukan silang
antarbudaya di Indonesia tentunya tidak mudah. Mengingat mayoritas masyarakat
Indonesia masih banyak memiliki sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan
sikap yang cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing dan
merasa budayanya sebagai budaya yang terbaik. Menurut Adorno, orang-orang
etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul dan pemeluk agama yang
fanatik. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Andorno tersebut sepertinya masih
melekat di masyarakat kita, sehingga dalam mengimplementasi penyerbukan silang
antarbudaya harus dibuatkan sebuah formula untuk mengeliminasi konflik. Formula
yang dimaksud adalah strategi pendekatan yang bisa diterima oleh semua
masyarakat, sehingga etnosentrisme yang masih mematri dalam mayoritas
masyarakat bisa dilunakkan demi membangun budaya bangsa yang bermartabat.
Formula yang dimaksud bisa dilakukan melalui
pendekatan budaya. Pendekatan budaya mempertanyakan makna pembangunan nasional
dan berusaha mencari pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya untuk menemukan
jalan yang bermakna. Untuk itu, pendekatan budaya menurut Johan Galtung harus bisa
melibatkan tiga unsur yang berbentuk segitiga, yaitu data, teori dan nilai.[12] Dari
pendapat Galtung tersebut, maka dalam melakukan penyerbukan silang antarbudaya
harus berpijak pada data objektif, sebab tanpa adanya data tersebut budaya hasil
penyerbukan akan hanya merupakan utopia yang tidak tahu ujung pangkalnya. Data
yang dimaksud merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai positif yang dimiliki
oleh budaya yang akan diserbukkan.
Pendekatan tersebut bisa dilakukan melalui kurikulum
pendidikan. Kurikulum pendidikan harus bisa menyiapkan pelajaran-pelajaran yang
bisa mengambil segi positif dari beragam budaya yang ada di nusantara, mulai
dari Aceh-Papua, maupun budaya asing, seperti India, Tiongkok, Jepang dan Korea
Selatan. Budaya-budaya itu akan dijadikan sebagai budaya nasional yang akan
membentuk generasi yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi di era
globalisasi.
Strategi penyerbukan silang antarbudaya juga bisa dilakukan
dengan membangun sebuah instansi pendidikan yang bisa menampung seluruh
perwakilan suku bangsa atau daerah yang ada di Indonesia. Sekolah ini akan menjadi
wadah penyerbukan silang antar budaya yang memiliki tugas dan fungsi untuk
menginternalisasikan nilai-nilai positif masing-masing daerah (budaya) melalui
suatu interaksi. Dewasa ini yang bisa dijadikan rujukan adalah IPDN. Meskipun
konsentrasi pendidikannya adalah bidang pemerintahan, tetapi sekolah
kepamongprajaan ini dijuluki sebagai miniatur NKRI. Disebut demikian karena
praja (baca: mahasiswa) IPDN berasal dari seluruh pelosok nusantara. Hampir
setiap kabupaten/kota memiliki perwakilannya.
Tentunya konsep pendekatan kurikulum dan membentuk
wadah (sekolah/universitas) yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai budaya
yang positif akan menjadi strategi baru dalam membangun kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia yang terbangun dari hasil penyerbukaan ini diarahkan untuk
membantu membangun identitas bangsa yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung
nilai moral agama yang hidup di bangsa ini. Diharapkan ini akan menjadi langkah
baru dalam menyongsong masa depan bangsa yang mampu meraih cita-cita bangsa
yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia empat, yaitu mencerdaskan, melindungi
dan mensejahterakan serta ikut memelihara ketertiban dunia.
[1] Manuel A. Vasquez dan
Marie Friedmann Marquardt, Globalizing
the Sacred: Religion across the Americas (New Brunswick, New Jersey dan
London: Rutgers University Press, 2003), hal. 37.
[2] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduki Kebudayaan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hal. 107.
[3] Istilah Penyerbukan
Silang Antarbudaya (Cross Cultural
Fertilization) digagas oleh Aan Rukmana dan Eddie Lembong. Istilah ini
berbeda dengan artikulasi atau multikulturisme. Ide asimilasi budaya yang
secara politik digulirkan oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sejak tahun 1932
yang kemudian mendapat sambutan positif dari pemerintahan sejak tahun 1960 dan
dipraktekkan dengan masif pada era Orde Baru berangkat dari pandangan bahwa
budaya minor dalam hal ini budaya Tionghoa harus masuk ke dalam budaya mayor.
Maka sejak saat itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang berubah nama menjadi
nama Jawa dan lain sebagainya sebagai
bagian dari implementasi gagasan asimilasi. Ide ini tidaklah buruk, akan tetapi
untuk konteks saat ini perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteks kekinian.
Dalam konsep asimilasi masih ada anggapan budaya mayoritas dan budaya
minoritas, jadi sebuah budaya dilihat bukan dari sisi kualitasnya melainkan
dari kuantitasnya. Ini berbeda dengan ide penyerbukan silang antarbudaya yang
berangkat dari kualitas masing-masing budaya, sehingga tidak perlu dipersoalkan
apakah budaya itu minoritas asalkan ia memiliki keunggulan maka dapat kita
pelajari juga. Lihat di http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/aan-rukmana_warisan-dan-pewarisan-budaya_penyerbukan-silang-budaya_penyerbukan-silang-antarbudaya.pdf.
[4] Lihat Data BPS tahun 2010
[5] “Tahun Lalu,
Indonesia Impor Beras dari Lima Negara (05/02/2014)”, tempo.co, diakses tanggal
24 April 2014.
[6] “311 Kepala Daerah
Tersandung Korupsi (10/01/2014)”, Lihat di http://bareskrim.com/wp-content/uploads/2013/10/KEPALA-BARESKRIM.jpg, diakses tanggal 5
Mei 2014.
[7] Arjun Appadurai, Modernity at Large, Cultural Dimensions of
Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hal.
33-37.
[8] Rahmat Hidayatullah, “Artikulasi Simbol-Simbol Islam dalam
Lanskap Budaya Populer Indonesia”, (Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban,
2012), hal. 90-91.
[9] Menurut Arnold J. Toynbee (1889 – 1975) bangsa-bangsa yang mendiami
wilayah di sekitar garis khatulistiwa dikenal memiliki budaya yang lembek (soft
culture). Toynbee yang menelaah delapan pusat peradaban dunia, dan
kemudian menghasilkan teori Challenge
and Response itu, mengemukan
bahwa suatu kebudayaan akan tumbuh manakala ia mampu menghadapi tantangan yang
datang dari tempat dimana ia hidup. Hal serupa disampaikan juga oleh Tokuyama
Jiro, peneliti dari Nomura Institute, bahwa bangsa agraris biasanya lebih
subsisten, bersifat pasrah dibandingkan bangsa Barat yang lebih keras, karena
harus berburu untuk bertahan hidup. Disini alam agraris cenderung memanjakan manusia
yang hidup di atasnya. Mereka pun tidak memiliki daya saing yang kuat
sebagaimana bangsa yang memiliki empat musim. Lihat di http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3728-penyerbukan-silang-antarbudaya-1-bagian-kedua.
[10] Mochtar Lubis, Manusia
Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hal. 18-34.
[11] “Sebentar Lagi, Ekonomi Cina Lampaui AS (04/05/2014)”, http://m.republika.co.id, diakses tanggal 6
Mei 2014.
No comments:
Post a Comment