Oleh : Dedet Zelthauzallam
Berlangsungnya
Otonomi Daerah di Indonesia ditandai dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sudah
diamandemen menjadi UU Nomor 32 Tahun
2004. UU Nomor 32 Tahun 2004 sudah direvisi sebanyak dua kali, yaitu UU 3/2005 dan UU 12/2008. Ini membuktikan
bahwa pemerintah pusat sangat mendukung otonomi daerah di Indonesia. Dengan
adanya Otonami Daerah ini diharapakan pemerintah daerah akan lebih memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat demi mempercepat terwujudnya kesejahteraan
dan meningkatkan daya saing daerah otonom di Indonesia.
Setelah
14 tahun berlangsungnya otonomi daerah, ternyata tujuan dari penyelenggaraan
otonomi daerah ini tidak bisa terwujud. Bisa dilihat bagaimana daerah otonom tidak
mampu memberikan pelayanan yang prima, tetapi malah sebaliknya. Praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) malah makin merajalela di Indonesia. Daerah
otonom ini dijadikan ladang bagi para pejabat daerah. Pejabat daerah
menyalanggunakan kewenangan yang sangat luas diberikan pemerintah pusat.
Bayangkan
saja sekitar 474 pejabat daerah saat ini
tersandung kasus pidana, yang bisa dikatakan sebagian besarnya pidana korupsi.
Kasus dari Gubernur Riau baru-baru ini, sebagai salah satu bukti bagaimana
leluasanya elite daerah melaksanakan praktek korupsi. Selain korupsi yang
membuat prihatin masyarakat adalah adanya kolusi dan nepotisme. Siapa yang
menjadi penguasa di daerah itu maka sanak keluarganya akan mengisi jabatan
penting. Proyek yang akan dibangun akn dimenagkan oleh tender yang memiliki
kedekatan dengan kepala daerah. Hal ini sangat mencoreng asas dan tujuan dari
penyelenggaraan otonomi daerah.
Otda
yang berlangsung di Indonesia bisa dikatakan sampai saat ini kurang berhasil.
Kelakuan pejabat ini sangat memprihatinkan banyak pihak. Elite daerah
menggunakan kewenangan yang ada untuk melakukan korupsi berjemaah. Masyakatlah sebagai korban dari kelakuan elite
politik daerah ini.
No comments:
Post a Comment