hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Thursday 30 January 2014

DEMOKRASI INDONESIA DALAM PLURALISME

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi.sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 2. Indonesia sebagai negara ke dua terbesar menganut sistem demokrasi  seharusnya menjadi contoh dari sistem yang menjadi primadona saat ini. Hampir 2/3 negara di dunia menjadikan demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara.
Pada tahun 1999, Indonesia melaksanakan sistem demokrasi langsung. Meskipun sejak kemerdekaan Indonesia sudah mencoba menerapkan sistem ini. Tetapi, pada saat masa transisi dari orde baru ke reformasi baru kran demokrasi dibuka secara luas. Hak yang awalnya diilegalkan menjadi legal. Mulai dari hak menyatakan pendapat, berserikat, berkumpul dan lainnya. Inilah hasil dari masa transisi.
Sejak demokrasi langsung bergulir, banyak yang semakin optimis dalam mempercepat pembangunan dan kesejahteraan. Namun, setelah hampir 15 tahun demokrasi dilaksanakan, apa yang diharapkan tidak senuhnya tercapai. Malah banyak aspek yang semakin tidak menentu dan semakin kacau.
Ada yang mengatakan bahwa zaman orde baru jauh lebih enak. Sampai-sampai banyak stiker, baliho dan sejenisnya menunjukkan kerinduannya pada masa Suharto. “Piye kabare, enak jamanku toh”.  Inilah bentuk kalimat yang sering kita baca.
Demokrasi di Indonesia saat ini memang dalam proses. Demokrasi yang ada saat ini jauh dari yang diharapkan. Bisa dilihat, bagaimana akibat yang ditimbulkan dari demokrasi yang terlalu overlap ini. Seperti konflik yang terjadi pasca pilkada, para politisi yang tidak menentu, kebijakan yang lebih bersifat top down, penyelewengan anggaran dan masih banyak lagi.
Pihak yang mendukung demokrasi menyatakan bahwa keadaan seperti ini akan segera berlalu. Katanya, Amerika saja membutuhkan 100 tahun untuk mematangkan demokrasi di negara Paman Sam tersebut. Namun apakah kira-kira Indonesia bisa seperti itu? Sanggupkah kita bersabar dengan dampak buruk yang diakibatkan oleh demokrasi saat ini? Akankah NKRI bisa tetap kokoh ditengah-tengah disintegrasi akibat demokrasi?
Kalau melihat sejarah lahirnya demokrasi di Athena, Yunani, maka demokrasi lahir dari sebuah komunitas yang tidak terlalu besar. Kota Athena memiliki jumlah populasi yang diperkirakan antara 300.000 hingga 400.000 orang[1]. Bisa dibayangkan, bagaimana demokrasi di Indonesia yang populasinya mencapai hampir 250 juta jiwa menerapkan sistem yang sama.
Plato, seorang filsuf pada zaman itu terang-terang menolak sistem demokrasi, karena menurutnya tidak mungkin suatu pemerintahan diserahkan kepada seluruh rakyat. jadi yang berhak menjadi pemimpin dalam suatu negara adalah seorang filsuf. Dimana menurutnya, filsuflah yang mengetahui pengetahuan. Pengatuhuan adalah kebajikan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini, Indonesia sebagai negara yang sangat pluralisme harus bisa memiliki konsep berdemokrasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Jangan sampai demokrasi langsung seperti ini menjadi penyebab runtuhnya rasa kekeluargaan dan gotong royong.
Sistem demokrasi di Indonesia sebenarnya harus mengacu pada basic law, Pancasila. Jelas bagi rakyat Indonesia bahwa lima sila Pancasila sebagai pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kalau melihat sila dalam Pancasila, maka demokrasi yang diterapkan di Indonesia harus berasaskan ketuhanan, kemanusiaan, persatuaan, permusyawaratan dan keadilan sosial. Tidak bisa Indonesia menerapkan sistem demokrasi sama seperti yang ada di Amerika, karena culture sudah sangat berbeda.
Menurut Prof. Yudi Latif, demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi permusyawaratan. Dimana semua suku dan etnis yang ada di Indonesia ini yang sangat bhinneka bisa terakomodir. Menurutnya, demokrasi langsung dengan sistem perwakilan seperti sekarang ini tidak cocok, karena tidak bisa mengakomodir suku minoritas, seperti Badui.
Memang kalau kita merunjuk pada Pancasila, maka pemilihan langsung yang bersifat one man, one vote, one value bertentangan dengan sila ke empat. Voting dengan musyawarah mufakat sangat berbeda, sehingga akan berdampak pada hasil. Hasil itulah yang bisa menimbulkan perselisihan dan akhirnya timbulah disintegrasi dalam berbangsa dan bernegara. NKRI harga mati akan menjadi semboyan belaka, yang akan runtuh akibat sistem yang tidak mampu menjamin hak bagi kalangan minoritas di republik ini.




[1] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, Cetakan ke III, Februari 2009, Pustaka Pelajar

No comments:

Post a Comment