Oleh: Dedet Zelthauzallam
Wacana untuk melaksanakan pemilu serentak,
antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden dan wakil presiden menuai pro
kontra. Kalangan yang mendukung tetap berdalih untuk bisa menghemat anggaran negara
sampai sekitar tujuh triliun dan akan membuat masyarakat tidak terlalu sering
datang ke TPS, sehingga akan memungkinkan untuk bisa menekan angka partisipasi
yang semakin hari semakin menurun. Sedangkan bagi yang menolak juga memiliki
alasan, katanya akan membuat sistem pemilihan menjadi amburadul. Semua aturan
tentang pemilu, mulai dari persyaratan dan sejenisnya akan otomatis harus
diubah dan pastinya akan membutuhkan ekstra tenaga untuk melaksanakan pemilu
yang awalnya dua tahap menjadi satu tahap. Tentunya antara pemilu serentak dan
tidak serentak memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Kalau
berbicara pemilu, maka sebenarnya pemilu menurut Sukarna adalah suatu alat atau
cara untuk memperoleh wakil-wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan
rakyat dan bertanggung jawab atas hasilnya. Ini berarti sistem pemilu itu bisa
langsung dan tidak langsung maupun serentak atau tidak serentak. Tergantung bagaimana
kecocokan dan kemampuan dari suatu negara, baik dilihat dari sumber daya
manusia, alam dan finansialnya. Pemilu di Indonesia sebenarnya sudah
dilaksanakan dari awal lahirnya Indonesia, tetapi mekanisme dan sistemnya
berbeda-beda. Awalnya hanya bersifat perwakilan dan saat ini sudah dengan
pemilihan langsung.
Lalu
bagaimana dengan pemilihan serentak? Sebenarnya pemilihan serentak antara
pemilu legislatif dengan presiden dan wakil presiden sudah dilakukan dibeberapa
negara. Awalnya dilaksanakan di Brazil pada tahun 1994 dan selanjutnya diikuti
oleh negara kawasan Amerika latin lainnya. Pemilihan serentak ini awalnya memang
dilaksanakan untuk menjaga stabilitas dan efektivitas pemerintahan setelah
pemilu (Mark Pyane dkk, 2002). Dan sebagai catatan pemilihan serentak ini hanya
bisa dilaksanakan oleh negara yang menganut sistem presidensial.
Secara
akademis, Indonesia tidak akan bermasalah dengan pemilihan serentak, karena
Indonesia adalah negara yang menganut sistem presidensial. Yang menjadi masalah
adalah apakah pemilihan serentak yang akan dilakukan hanya sebatas untuk
mengehemat anggaran dan apakah stabilitas pemerintahan pasca pemilu akan bisa
terjaga. Ini adalah hal yang perlu dipikirkan. Jangan sampai dalih untuk
menghemat anggaran negara yang jumlahnya triliunan rupiah malah membuat
pemerintahan menjadi koleps dan terombang-ambing.
Apabila
melihat pengalaman dari pemilu sebelumnya (pemilu 2004 dan 2009), maka ada
kecenderungan pemilih memilih partai yang berbeda dan tidak memilih pasangan capres
dan cawapres dari partai bersangkutan. Ini disebabkan oleh konstituen dalam
memilih capres dan cawapres lebih memilih figur atau ketokohan, bukan melihat
apa partainya. Budaya pemilih Indonesia seperti ini akan memberikan peluang
antara partai pemenang legislatif dan partai pengusung capres/cawapres pemenangnya
akan berbeda. Tentunya ini akan membuat persaingan antara ekskutif dan legislatif
tak terhindarkan lagi. Apabila hal ini terjadi, maka kebijakan pemerintah akan
sulit digoalkan di legislatif. Transaksi
dan deal politik akan lebih besar peluangnya terjadi.
Pemilu
serentak yang sedang menjadi perdebatan sekarang ini, perlu lebih dikonsepkan
lagi dan melihat bagaimana keadaan dari masyarakat kita sendiri. Jangan sampai
karena terlalu berdalih efesiensi, stabilitas negeri ini menjadi terabaikan. Perlu
waktu dan pendewasaan bagi elite politik dan pemilih untuk menerapkan sistem
seperti ini.
No comments:
Post a Comment