Oleh: Dedet Zelthauzallam
Indonesia
adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Rakyat merupakan pemegang
kedaulatan tertinggi.sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 2. Indonesia
sebagai negara ke dua terbesar menganut sistem demokrasi seharusnya menjadi contoh dari sistem yang
menjadi primadona saat ini. Hampir 2/3 negara di dunia menjadikan demokrasi
sebagai sistem penyelenggaraan negara.
Pada
tahun 1999, Indonesia melaksanakan sistem demokrasi langsung. Meskipun sejak
kemerdekaan Indonesia sudah mencoba menerapkan sistem ini. Tetapi, pada saat
masa transisi dari orde baru ke reformasi baru kran demokrasi dibuka secara
luas. Hak yang awalnya diilegalkan menjadi legal. Mulai dari hak menyatakan
pendapat, berserikat, berkumpul dan lainnya. Inilah hasil dari masa transisi.
Sejak
demokrasi langsung bergulir, banyak yang semakin optimis dalam mempercepat
pembangunan dan kesejahteraan. Namun, setelah hampir 15 tahun demokrasi
dilaksanakan, apa yang diharapkan tidak senuhnya tercapai. Malah banyak aspek
yang semakin tidak menentu dan semakin kacau.
Ada
yang mengatakan bahwa zaman orde baru jauh lebih enak. Sampai-sampai banyak
stiker, baliho dan sejenisnya menunjukkan kerinduannya pada masa Suharto. “Piye kabare, enak jamanku toh”. Inilah bentuk kalimat yang sering kita baca.
Demokrasi
di Indonesia saat ini memang dalam proses. Demokrasi yang ada saat ini jauh
dari yang diharapkan. Bisa dilihat, bagaimana akibat yang ditimbulkan dari
demokrasi yang terlalu overlap ini. Seperti
konflik yang terjadi pasca pilkada, para politisi yang tidak menentu, kebijakan
yang lebih bersifat top down, penyelewengan
anggaran dan masih banyak lagi.
Pihak
yang mendukung demokrasi menyatakan bahwa keadaan seperti ini akan segera
berlalu. Katanya, Amerika saja membutuhkan 100 tahun untuk mematangkan
demokrasi di negara Paman Sam tersebut. Namun apakah kira-kira Indonesia bisa
seperti itu? Sanggupkah kita bersabar dengan dampak buruk yang diakibatkan oleh
demokrasi saat ini? Akankah NKRI bisa tetap kokoh ditengah-tengah disintegrasi
akibat demokrasi?
Kalau
melihat sejarah lahirnya demokrasi di Athena, Yunani, maka demokrasi lahir dari
sebuah komunitas yang tidak terlalu besar. Kota Athena memiliki jumlah populasi
yang diperkirakan antara 300.000 hingga 400.000 orang[1]. Bisa dibayangkan,
bagaimana demokrasi di Indonesia yang populasinya mencapai hampir 250 juta jiwa
menerapkan sistem yang sama.
Plato,
seorang filsuf pada zaman itu terang-terang menolak sistem demokrasi, karena
menurutnya tidak mungkin suatu pemerintahan diserahkan kepada seluruh rakyat.
jadi yang berhak menjadi pemimpin dalam suatu negara adalah seorang filsuf. Dimana
menurutnya, filsuflah yang mengetahui pengetahuan. Pengatuhuan adalah
kebajikan.
Lalu
bagaimana dengan Indonesia saat ini, Indonesia sebagai negara yang sangat pluralisme
harus bisa memiliki konsep berdemokrasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi.
Jangan sampai demokrasi langsung seperti ini menjadi penyebab runtuhnya rasa
kekeluargaan dan gotong royong.
Sistem
demokrasi di Indonesia sebenarnya harus mengacu pada basic law, Pancasila. Jelas bagi rakyat Indonesia bahwa lima sila
Pancasila sebagai pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kalau melihat
sila dalam Pancasila, maka demokrasi yang diterapkan di Indonesia harus
berasaskan ketuhanan, kemanusiaan, persatuaan, permusyawaratan dan keadilan
sosial. Tidak bisa Indonesia menerapkan sistem demokrasi sama seperti yang ada
di Amerika, karena culture sudah
sangat berbeda.
Menurut
Prof. Yudi Latif, demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi
permusyawaratan. Dimana semua suku dan etnis yang ada di Indonesia ini yang
sangat bhinneka bisa terakomodir. Menurutnya,
demokrasi langsung dengan sistem perwakilan seperti sekarang ini tidak cocok,
karena tidak bisa mengakomodir suku minoritas, seperti Badui.
Memang
kalau kita merunjuk pada Pancasila, maka pemilihan langsung yang bersifat one man, one vote, one value bertentangan dengan sila ke empat.
Voting dengan musyawarah mufakat sangat berbeda, sehingga akan berdampak pada
hasil. Hasil itulah yang bisa menimbulkan perselisihan dan akhirnya timbulah
disintegrasi dalam berbangsa dan bernegara. NKRI harga mati akan menjadi
semboyan belaka, yang akan runtuh akibat sistem yang tidak mampu menjamin hak
bagi kalangan minoritas di republik ini.