Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 silam, para faunding father sadar bahwa kemerdekaan yang didapatkan Republik
ini akan tidak berarti apa pun apabila anak bangsa tidak memiliki kecerdasan
dalam menata masa depan bangsa dan negara ini. Untuk itulah, para faunding father menyiapkan suatu konsep
dasar sebagai pijakan dalam meningkatkan kecerdasan anak bangsa, yaitu di dalam
preambule alenia ke empat
mencerdaskan sebagai salah tujuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentunya untuk mencapai tujuan tersebut bisa didapatkan dari adanya pendidikan
yang memadai, baik dari segi fasilitas fisik maupun non-fisik.
Namun
sampai saat ini, tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa di Republik ini masih
belum maksimal. Ini bisa dilihat dari masih banyaknya anak bangsa yang buta
huruf. Menurut Kepala Balai Pengembangan
Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Pria Gunawan, masih ada 3,6 juta warga Indonesia
masih buta aksara[1].
Masih adanya buta huruf tersebut disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan.
Program pendidikan wajib 9 tahun masih banyak penyimpangan dan beasiswa untuk
anak yang tidak mampu masih tidak tepat sasaran. Belum lagi gedung sekolah
masih belum ada pemerataan dalam pembangunannya.
Pendidikan
di Republik ini juga semakin tidak memberikan kecerdasan dasar pada anak
bangsa. Menurut pakar pendidikan, HAR Tilaar, pendidikan Indonesia belum
memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cukup
kreatif dan bertanggung jawab. Padahal Republik ini sudah menganggarkan uang
negara paling sedikit 20% per tahun untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Banyak
faktor yang menyebabkan pendidikan di Republik ini tidak berjalan sesuai dengan
harapan. Faktor utamanya adalah inkonsistensi sistem pendidikan, minimnya
kualitas sarana fisik dan rendahnya kualitas guru serta kurangnya pemerataan
pendidikan. Inkonsistensi sistem pendidikan di Republik ini bisa dilihat dari
bagaimana kurikulum terus menerus berubah. Perubahan kurikulum bergantung dari
siapa yang memegang tampuk kekuasaan, sehingga tujuan pendidikan Republik tidak
tercapai. Itulah yang menyebabkan sistem pendidikan menjadi tidak jelas.
Sedangkan minimnya sarana fisik bisa dilihat
dari bagaimana sekolah-sekolah di Republik ini jauh dari standar. Mulai dari
banyaknya gedung sekolah yang sudah berumur, kurangnya kursi dan meja serta
buku pelajaran. Banyak sekolah yang ada
tidak ditunjang dengan fasilatas penunjang, baik itu sarana olahraga maupun
tehnolgi kekinian.
Kualitas
guru di Republik ini juga menjadi penghambat dalam meningkatkan kualitas
pendidikan. Ini disebabkan karena guru di Republik ini tidak diberdayakan
dengan maksimal. Maksudnya adalah pemerintah tidak memberikan pendidikan dan
pelatihan yang sistematis untuk guru, sehingga mereka banyak yang tidak
menguasai iptek kekinian. Belum lagi dilihat dari aspek penggajiannya. Bisa
dilihat bagaimana guru di Republik ini harus mencari sumber penghasilan di luar
profesinya sebagai guru.
Sedangkan
masalah terakhir adalah tidak adanya pemerataan pendidikan. Baik dari aspek
tenaga pendidik maupun gedung sekolah. Ada daerah yang memiliki guru yang
melebihi kebutuhan, sedangkan ada juga yang memiliki guru jauh dari kebutuhan.
Begitu pun gedung sekolah, ada daerah yang memiliki gedung sekolah yang sangat
banyak, ada juga anak bangsa yang harus menempuh jarak kiloan kilometer untuk
mencapai sekolah.
Faktor-faktor
tersebutlah yang menyebabkan pendidikan di Republik ini tidak mampu mencapai
tujuannya. Menurut bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya
berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter) dan pikiran (intelektual dan tubuh anak). Pendidikan itu tidak hanya
meningkatkan aspek intelektual saja, tetapi harus juga sikap. Namun pendidikan
dewasa ini masih sebatas hanya memprioritaskan pada aspek intelektual belaka.
Pendidikan Piramida
Dengan
banyaknya faktor yang memperlambat keberlangsungan pendidikan di Republik ini,
maka itulah yang menyebabkan pendidikan kita bisa dikatakan berbentuk piramida.
Maksudnya adalah relasi antara jumlah gedung sekolah SD, SMP dan SMA serta
Perguruan Tinggi tidak sebanding. Dimana jumlah SD lebih banyak dari pada SMP,
begitupun SMA lebih sedikit dari pada SMP.
Berdasarkan
data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun ajaran 2007/2008
jumlah sekolah negeri dan swasta di Indonesia, yaitu SD sebanyak 144.567, SMP sebanyak
26.277 dan SMA sebanyak 10.239[2]. Dari data tersebut bisa dibayangkan disparitas
yang sangat tinggi Antara SD, SMP dan SMA.
Dengan
adanya disparitas tersebut, maka akan mempengaruhi jumlah anak bangsa yang
putus sekolah. Berdasarkan data dari Mendikbud menyebutkan bahwa pada tahun
2007, dari 100 % anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus
hanya 80%, sedangkan 20% lainnya harus putus sekolah. Dari 80% siswa SD yang
lulus, hanya 61% yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Kemudian setelah itu
hanya 48% yang akhirnya lulus sekolah. Sementara itu, dari 48% yang lulus dari
jenjang SMP hanya 21% yang melanjutkan ke jenjang SMA. Sedangkan yang bisa
lulus hanya sekitar 10%. Sedangkan menurut pengamat pendidikan, Muhammad
Zuhdan, mengatakan bahwa tahun 2010 tercatat terdapat 1,3 juta anak usia 7-15
tahun di Indonesia putus sekolah[3].
Melihat
data di atas, maka bisa dikatakan bahwa pendidikan di Republik ini masih berbentuk
piramida. Pemerintah harus mampu menyelaraskan kuantitas murid dengan kuantitas
gedung sekolah, sehingga anak bangsa di Republik ini memiliki peluang yang sama
untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Pendidikan Pabrik Pengangguran
Pendidikan
di Republik ini sepertinya tidak memperhatikan kebutuhan pasar. Dimana tidak
ada pengaturan yang jelas jumlah mahasiswa yang harus mengambil suatu program
atau jurusan. Misalnya, untuk jurusan keperawatan tahun ajaran 2014/2015
dibutuhkan sebanyak 10.000 mahasiswa. Jumlah itu menjadi patokan dalam
perekrutan mahasiswa. Perguruan tinggi tidak boleh merekrut lebih dari patokan
yang telah ditetapkam., karena penentuan jumlah ini didasarkan dari analisa
kebutuhan tenaga kerja pada tahun mereka lulus, sehingga pada saat lulus bisa
langsung bekerja sesuai dengan profesinya masing-masing.
Dengan
adanya pengaturan ini, maka akan bisa mengurangi pengangguran di Republik ini.
Tidak seperti dewasa ini, pemerintah hanya terdiam membisu dalam mengatur
pendidikan anak bangsa ini, sehingga pendidikan di Republik ini disebut sebagai
pabrik pengangguran. Hal ini tidak boleh dibiarkan, karena akan menjadi momok
bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
menyikapi hal tersebut, maka pemerintah perlu membuat sistem regulasi
pendidikan berbasis kebutuhan. Dengan
adanya regulasi ini, maka sarjana-sarjana di Republik ini tidak ada yang tidak
bekerja. Tidak seperti sekarang ini, dimana mayoritas para sarjana hanya
termenung dalam kegalauan setelah menerima gelar. Ilmu yang didapatkan tidak
bisa diaplikasikan, karena tidak adanya wadah yang menaunginya.
Ada
juga sarjana yang tidak berprofesi sesuai dengan bidang ilmunya. Seperti,
sarjana hukum yang harus menjadi guru, sarjana perikanan bekerja dibidang
administrasi dan lainnya. Hal ini tentunya menjadi masalah, karena basic
ilmu yang dimilikinya tidak sesuai dengan profesinya. Padahal dalam
teori manajemen menyebutkan bahwa the
right man on the right place.
Pendidikan Masa Depan
Pendidikan
di Republik ini harus direstorasi, supaya masa depan pendidikan menjadi jelas
tujuan dan arahnya. Tujuan pendidikan masa depan yang diharapkan adalah mampu mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang
luhur. Atau pendidikan yang mampu menelurkan anak bangsa yang memiliki intelektual yang tinggi, skill yang mempuni dan attitude yang berbudi luhur.
Menurut
UNESCO, ada empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang perlu
dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu 1) learning to know (belajar untuk mengetahui), 2) learning to do (belajar untuk melakukan
sesuatu), 3) learning to be (belajar
untuk menjadi seseorang), dan 4) learning
to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Empat pilar
pendidikan dari UNESCO harus menjadi refrensi bagi pendidikan di Republik ini,
dengan catatan harus tetap berpedoman pada dasar negara, yaitu Pancasila. Nilai-nilai
dalam Pancasila harus menyerap dalam diri anak bangsa, sehingga semangat
nasionalisme akan tumbuh subur di Republik ini.
Pendidikan
masa depan tidak menciptakan manusia robot, tetapi menelurkan manusia-manusia
yang memiliki inovasi dan kreatifitas yang tinggi serta memiliki integritas. Dari
manusia yang berinovasi, kreatif dan berintegritas, maka Republik yang nan
subur ini bisa tumbuh dalam meraih cita-citanya.
Pendidikan
Indonesia masa depan juga harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak
bangsa yang sedang menuntut ilmu. Tidak seperti dewasa ini, dimana tempat
pendidikan sangat rawan akan kejahatan. Pemerintah dan seluruh pihak harus
mampu bekerjasama dalam menciptakan suasana aman dan nyaman.
Desain
pendidikan Indonesia harus dipersiapkan, sehingga anak bangsa ini bisa berkarya
dalam membangun bangsa dan negara ini. Masa depan Republik ini akan menjadi
sangat terang benderang ketika desain pendidikan yang akan dilaksanakan jelas
tujuan dan arahnya.