Oleh: Dedet Zelthauzallam
Kamis, 21 Mei 1998 adalah hari yang sangat
bersejarah bagi bangsa Indonesia. Dinasti Suharto yang sudah berkuasa selama 32
tahun bisa diturunkan oleh para pemuda (mahasiswa). Pemerintahan yang dikenal
diktator diganti dengan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan orde baru
berganti ke orde reformasi. Di era reformasi inilah akan dimulainya babak baru
bagi keberlangsungan masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik untuk mencapai
tujuan bangsa yang sudah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.
Namun,
setelah 15 tahun era reformasi berjalan, banyak permasalahan yang terjadi. Masalah
yang utama adalah masalah korupsi. Korupsi malah semakin merajalela di negeri
ini. Bisa dibayangkan, kasus korupsi meningkat tajam. Korupsi di era sekarang
ini sepertinya dilakukan oleh semua kalangan, tidak seperti di zaman orde baru
yang hanya dilakukan oleh orang-orang terdekat presiden. Malah banyak orang mengatakan
kalau korupsi di zaman dahulu dilakukakan di bawah meja , tetapi sekarang
dilakukan di atas meja. Ini menunjukkan bahwa korupsi semakin banyak dan tidak
tahu malu. Inilah problematika pasca era reformasi. Miris memang kalau kita
melihat kasus korupsi di negeri tercinta ini.
Kasus
korupsi di Indonesia saat ini masih didominasi oleh kepala daerah dan anggota
DPR (DPR RI dan DPRD). Sesuai dengan data dari Kementerian Dalam Negeri
sampai Juni 2013, ada 294 kepala daerah
yang terjerat korupsi. Melihat data tersebut, maka kepala daerah yang sudah
tersandung korupsi melebihi 50% dari jumlah daerah otonom di Indonesia. Selain
kepala daerah dan wakil rakyat, ada beberapa pejabat tinggi negara yang
tersandung korupsi, mulai dari mentri, kepala lembaga negara dan sebagainya.
Kasus
korupsi yang terakhir bisa kita lihat adalah kasus tertangkap tangannya ketua
MK, Akil Mochtar. Kasus ini membuat masyarakat semakin kecewa, karena MK
merupakan lembaga negara yang mengurus konstitusi dan sengketa Pilkada. Dimana
keputusan yang dihasilkan oleh MK bersifat final dan mengingat.
Banyaknya
kasus korupsi di Indonesia, menjadikan saya
teringat dengan Lord Action, beliau mengatakan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Adanya
kekuasaanlah yang membuat korupsi itu terjadi. Ini saya katakan karena sejak
era reformasi ditambah adanya otonomi daerah, korupsi di Indonesia semakin
meningkat. Berarti adanya kekuasaanlah yang mendorong adanya kasus korupsi.
Kasus
korupsi yang semakin meningkat di era otonomi daerah membuat tujuan dari
pelaksanaan otonomi daerah tidak bisa tercapai sepenuhnya. Otonomi daerah yang
memiliki tiga tujuan mendasar, yaitu meningkatkan daya saing daerah,
meningkatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan (sesuai dengan UU 32
tahun 2004), sepertinya akan sulit bisa tercapai. Bisa dilihat banyaknya daerah
otonom yang malah dikatagorikan gagal, karena tidak mampu mengelola potensi
daerah dengan maksimal.
Adanya
korupsi membuat banyak dampak negatif bagi negeri ini, salah satunya adalah
pembangunan. Pembangunan yang dimaksud disini adalah pembangunan fisik maupun
nonfisik. Bisa dilihat bagaimana anggaran negara di korupsi sampai miliaran
rupiah. Padahal anggaran tersebut diperuntukkan untuk pembangunan manusia dan
infrastruktur demi meningatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan
di daerah otonom akan berjalan stagnan apabila korupsi terus menerus dibiarkan.
Korupsi akan membuat semangat otonomi daerah menjadi terelenggu dengan
banyaknya anggaran (APBD) yang disalahgunakan. Korupsi bisa-bisa akan membuat
daerah otonom menjadi lebih terpuruk. Jadi, pembangunan daerah otonom harus
diimbangi dengan pemberantasan korupsi.
Pemberantasan
korupsi di negeri ini seharusnya dilakukan dengan tanpa memandang bulu.
Maksudnya disini jangan memberikan peluang bagi sekelompok orang, partai maupun
organisasi tertentu untuk berbuat korupsi. Penegak hukum harus bisa menuntut
dengan hukuman semaksimal mungkin kepada para koruptor. Efek jera harus
diberikan supaya para pejabat maupun lainnya tidak berani melakukan tindakan
korupsi.
Saat
ini, sepertinya lembaga pemeberantasan korupsi kita masih belum maksimal dalam memberikan
hukuman koruptor. Bisa dilihat bagaimana hukuman para koruptor di negeri ini
tidak setimpal dengan besarnya uang yang dikorupsi. Misalnya, Angelina Sondakh
dan Nazaruddin hanya dihukum lima tahun kurang. Padahal mereka sudah terbukti
melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara sampai miliaran rupiah.
Seharusnya hakim bisa menjatuhkan hukuman yang berat dan menuntut ganti rugi
uang negara kepada tersangka, kalau perlu dimiskinkan. Langkah ini saya nilai
tepat untuk meminimalisir korupsi di Indonesia.
Saat
ini bisa saya katakan bahwa sangsi yang diberikan bagi koruptor ini tidak adil
bagi rakyat. Ini disebabkan karena hukuman koruptor tidak sebesar jerih payah rakyat.
Rakyat dengan susah payah mengeluarkan pajak, tetapi malah diselewengkan oleh
penguasa. Seharusnya hakim mengacu pada azas keadilan dalam menghukum koruptor,
sehingga keadilan itu bisa dirasakan oleh rakyat. Rakyat saat ini sepertinya
sudah muak dengan para koruptor maupun para hakim yang malah tidak pro dengan
rakyat.
Pembangunan
yang seharusnya dinikmati dan menjadi hak rakyat tidak akan bisa dinikmati
sepenuhnya apabila koruptor masih tumbuh subur di instansi-instansi
pemerintahan. Jalan keluarnya untuk memperbaiki dan memaksimalkan pembangunan
di daerah adalah dengan cara lawan koruptor. Koruptorlah yang menjadi penyebab
dari lambatnya pembangunan yang ada di Indonesia, khususnya di daerah otonom
(provinsi dan kabupaten/kota).
Terjadinya
disparitas antara daerah yang satu dengan yang lainnya dalam pembangunan
disebabkan lebih ke bagaimana cara pemerintah daerah untuk mengelola sumber
daya atau potensi yang dimilikinya. Ini juga sangat bergatung dari pejabat
daerah tersebut. Apabila pejabatnya tidak macam-macam (baca:korupsi), maka daerah
tersebut akan bisa cepat maju dalam pembangunan, tetapi kalau sebaliknya, maka
akan menyebabkan daerah tersebut akan semakin tertinggal dengan daerah lain.
Jadi,
bisa disimpulkan bahwa korupsi merupakan bumerang bagi pembangunan di Indonesia
pada umumnya dan daerah otonom pada khususnya, sehinggga korupsi itu perlu
diberantas dan diberikan hukuman yang setimpal kepada pelakunya. Publik
(masyarakat) sangat merindukan dan menantikan yang namanya keadilan. keadilan
yang dimaksud adalah keadilan dalam menghukum koruptor. Keadilan perlu
ditegakkan supaya trust dari
masyarakat bisa didapatkan kembali, karena dengan masyarakat percaya, maka
segala program pembangunan yang dicanangkan akan dibantu oleh masyarakat.
No comments:
Post a Comment