Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu
merupakan salah satu ciri dari negara yang menganut sistem demokrasi. Di
Indonesia, pemilu sudah dimulai dari awal kemerdekaan. Namun, sistem pemilu di
Indonesia berubah-ubah sesuai dengan zamannya, misalnya di era orde baru pemilu dilaksanakan dengan sistem perwakilan,
sedangkan di era reformasi sistemnya adalah langsung atau lebih kita kenal
dengan istilah langsung, umum, bebas dan rahasia (luber). Perubahan sistem ini
dimaksud semata-mata untuk bisa menghasilkan pemimpin yang mampu membawa
Indonesia ke tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945 alenia ke empat.
Pemilu
langsung di Indonesia baru dimulai pada tahun 2004. Dengan adanya pemilu
langsung ini diharapkan akan bisa menghasilkan perwakilan di parlemen (DPR dan
DPD), presiden dan gubernur, bupati/walikota serta DPRD yang merupakan pilihan
rakyat dan memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi. Namun, seiring
berjalannya waktu, maka sepertinya pemilihan langsung ini banyak memiliki
kelemahan. Sebut saja mulai dari wakil di parlemen dan pemegang kekuasaan di
ekskutif banyak yang tersangkut kasus korupsi, anggaran membengkak dan banyak
daerah otonomi yang gagal karena pemimpinnya korupsi, serta pemilu langsung
semakin lama tingkat partisipasi pemilih semakin menurun.
Partisipasi
pemilih dalam pemilu memang cenderung grafiknya menurun. Pemilih banyak sekali
yang tidak menggunakan hak pilihnya, baik itu dalam pemilihan legislatif,
presiden maupun kepala daerah. Berdasarkan data pemilu legislatif dari tiga
kali pemilu angka partisipasi semakin menurun. Pada pemilu legislatif tahun
1999 angka partisipasi mencapai 92,99%, tahun 2004 turun ke angka 84,07% dan
2009 partisipasi pemilih hanya mencapai 70,99%. Dari data tersebut terlihat jelas
bagaimana presentase partisipasi pemilih dalam kurun waktu 10 tahun begitu menurun
secara derastis.
Itu
baru data dari pemilu legislatif, berbeda lagi dengan pemilukada yang lebih
memprihatinkan. Bayangkan saja, partisipasi pemilih dalam setiap pemilukada
berkisar 65%-70%. Tingkat partisipasi masyarakat di pemilukada lebih parah
apabila dibandingkan dengan pemilu legislatif. Lihat saja bagaimana tingkat
partisipasi masyarakat pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta tahun 2013
mencapai 37% dan pemilihan gubernur Sumatera Utara tahun 2013 mencapai 63, 38%
(sumber: detiknews.com_Selasa, 12/03/2013 22:00 WIB, okezone.com_ Senin, 25
Februari 2013).
Turunnya
tingkat partisipasi masyarakat merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh
semua pihak, khususnya penyelenggara pemilu, KPU. Sebenarnya KPU sebagai
penyelenggara pemilu sudah mengambil banyak strategi dalam meningkatkan
partisipasi pemilih, mulai dari sosialisasi sampai pendidikan politik kepada
para pemilih. Namun, itu tidak mampu mengangkat partisipasi masyarakat, malah semakin menurun.
Lalu
apa yang salah dari sistem pemilu langsung ini? Mengapa tingkat partisipasi
pemilih semakin menurun? Menurut saya sebenarnya tidak ada yang salah, tetapi
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menangani masalah partisipasi
pemilih yang menurun ini, yaitu pemilih dengan yang dipilih. Saya melihat KPU saat
ini lebih fokus menyelesaikan masalah ini ke pemilih. Inilah yang saya nilai
kurang tepat.
KPU
harus mengubah paradigma dalam menyelesaikan tingkat partisipasi pemilih yang
menurun ini dengan melihat pihak yang dipilih (partai atau calon). Objek
penyelesaian harus lebih mengarah ke partai dan calon, karena saya melihat ada
hubungan antara pemilih dengan calon dan partai dalam mendorong pemilih untuk menggunakan
hak pilihnya. Pemilih akan sangat senang untuk memilih ketika partai dan calon
bisa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Partai
dan calon harus amanah dan konsisten terhadap visi dan misinya,
2. Partai
dan calon tidak apatis terhadap kepentingan rakyatnya,
3. Partai
dan calon harus menjauhi yang namanya korupsi,
4. Partai
dan calon harus bekerja untuk rakyat bukan untuk partainya.
Dari faktor di
atas, bisa dikatakan bahwa pemilih akan mau datang ke TPS apabila partai dan
calon tetap konsisten dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Tetapi, pemilih
akan sangat kecewa apabila partai dan calon yang mereka pilih itu bertolak
belakang dengan hal di atas. Partai dan calon yang tidak amanah inilah sebagai
penyebab dari tingginya tingkat golput pemilih dalam pemilu.
Kekecewaan
publik terhadap partai dan pemimpin memang saya nilai wajar karena disebabkan
oleh banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah dan anggota DPR
tingkat pusat maupun daerah. Menurut data dari Kemendagri, ada 297 kepala
daerah yang sudah tersandung kasus korupsi dan ada 2000 anggota DPRD yang
diduga korupsi.
Jadi, KPU harus
menjalin kerjasama dengan lembaga lainnya untuk merumuskan kebijakan agar bisa
meningkatkan kapabilitas dan integritas dari para calon, sehingga publik bisa
mulai percaya dengan partai dan calon yang akan dipilihnya. Selain masalah yang
dipilih (partai dan calon), hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan
angka partisipasi pemilih adalah dengan memberikan sosialisasi kepada para
pemilih.
DAFTAR PUSTAKA
Huntington, Samuel P dan Nelson,
Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Renika
Cipta
Sudijono Sastroatmodjo.
1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
No comments:
Post a Comment