Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dalam
beberapa bulan terakhir ini, isu penyadapan menjadi suatu perbincangan yang
menarik dan hangat bagi dunia internasional. Ini berawal dari pengakuan Snowden
yang mengatakan bahwa Amerika Serikat melakukan penyadapan kepada masyarakat
Amerika maupun beberapa pimpinan dunia. Dengan adanya pengakuan dari Snowden
ini membuat hubungan internasional negara yang disadap Negeri Paman Sam menjadi
retak.
Isu
penyadapan atau bisa juga disebut “spionisasi” ini juga tidak terlepas dari
Indonesia. Indonesia juga menjadi negara yang mengalami penyadapan dari Amerika
Serikat dan Australia. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri, Marty
Netalegawa, meminta penjelasan dari pemerintah Amerika dan Australia. Namun ternyata
jawaban dari kedua pihak tidak memberikan suatu informasi yang jelas. Hanya bersifat
asal-asal saja.
Kekesalan
Indonesia terhadap Australia bertambah, setelah mncul laporan terbaru dari dua Koran
yang selama ini getol memberitakan bocoran Snowden, The Guardian dan Sydney
Morning Herald. Kali ini muncul kabar bahwa telepon Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan para meeterinya, bahkan sampai Ibu Negara, Ani Yudhoyon pun
pernah disadap oeh intelejen Australia. (Viva News, 19 Novembar 2013).
Dalam
menanggapi masalah tersebut, banyak para pejabat negara memberikan reaksi keras,
mulai dari presiden, menteri sampai anggota legislatif mengecam atas tindakan
yang dilakukan oleh Australia. Presiden Susilo Bambang Yudoyono langsung
memberikan intruksi kepada Kemenlu dan BINuntuk menyelidiki dan mendeteksi penyadapan
terhadap pejabat Indonesia.
Pastinya
dengan adanya isu ini, hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia akan
memanas. Ada kemungkinan besar, duta besar Indonesia untuk Australia akan
ditarik. Ini memang perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa Indonesia merupakan
negara yang memiliki karakter seperti pada zamannya Soekarno.
Pernyataan
yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, sangat
disayangkan. Sangat tidak pantas dikatakan oleh seorang petinggi negara. Tony
Abbott mengatakan bahwa pemerintah negara itu pasti juga mengetahui bahwa semua
administrasi di suatu negara melakukan hal serupa, yaitu mengumpulkan
informasi. Tony Abbott juga menambahkan bahwa tugas utama saya melindungi dan
meningkatkan kepentingan nasional Australia. Saya tidak akan beranjak dari
tujuan itu dan akan terus konsisten dengan tugas itu.
Pernyataan
Tony Abbott ini memberikan sinyal bahwa pemerintah Australia memang benar melakukan
peyadapan dan mendukung penuh atas kegiatan tersebut. Ini pastinya sangat
mencoreng sistem demokrasi yang selalu dielu-elukan oleh barat, khususnya
Amerika dan Australia. Mereka selalu berbicara tentang HAM, tetapi malah mereka
yang melanggar.
Aneh
memang, tetapi ini sudah terlanjur diketahui oleh dunia. Indonesia harus
mengambil langkah yang tegas, kalau perlu Dubes RI untuk Australia ditarik. Ini
untuk memberikan bukti kepadanya bahwa Indonesia bukan negara boneka, tetapi
memiliki karakter dan idiologi yang tidak bisa disepelekan. Indonesia tidak
boleh takut, karena ini sudah menyangkut privatisasi negara. Australia sudah
berani menginjak-injak harga diri bangsa kita. Keberanian dan ketegasan
Soekarno perlu dibangkitkan lagi, supaya Indonesia tidak dipandang sebelah mata
oleh negara lain.
Dari
aksi penyadapan yang dilakukan oleh Australia maupun Amerika Serikat, Indonesia
perlu mengambil pelajaran. Pelajaran yang paling penting adalah harus lebih
berhati-hati. Dengan kemajuan tehnologi, maka penyadapan yang akan dilakukan
oleh negara maju akan semakin terbuka. Jadi negara berkembang seperti kita,
perlu lebih waspada dalam melakukan komunikasi melalui media komunikasi.
Dengan
adanya penyadapan ini juga, Indonesia perlu lebih memperkuat Badan Intelejen
Negara (BIN). Pengawasan BIN terhadap intelejen negara lain perlu ditingkatkan
lagi. Disini juga BIN membutuhkan tehnologi yang memang benar-benar memiliki
kualitas yang tinggi untuk mendukung pencegahan aksi spionisasi lagi.
No comments:
Post a Comment