Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa
ini, bisa dikatakan bahwa sistem demokrasi menjadi pilihan utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan di seluruh negara. Demokrasi membawa jargon kebebasan
(freedom) yang menitik beratkan
kekuasaan pada rakyat. Kebebasan merupakan
ciri khas dari sistem demokrasi. Demokrasi memberikan keleluasaan yang lebih
besar kepada rakyat dalam berbagai hal. Demokrasi sangat menghormati hak dasar
atau HAM dari setiap orang.
Di
Indonesia, sistem demokrasi sebenarnya sudah diterapkan sejak tahun 1945. Namun,
sistem demokrasi dari tahun 1945-1998 lebih banyak sifatnya perwakilan.
Sedangkan setelah era orde baru tamat atau di era reformasi tiba, barulah
dimulai yang namanya demokrasi yang sebenarnya. Keran kebebasan pun diberikan
kepada seluruh rakyat Indonesia. Mulai dari hak memilih,
berserikat/berorganisasi dan kebebasan pers ataupun lainnya.
Bayangkan
saja, bagaimana masyarakat yang awalnya dikekang diberikan kebebasan. Bisa
dianalogikan seperti macan keluar dari kandangnya. Banyak hal yang mau
dilakukan dan dibentuk oleh masyarakat. Masyarakat ingin menggunakan kebebasan
untuk berbuat yang tidak pernah dan tidak bisa dilakukan sebelumnya.
Salah
satu kebebasan yang paling menonjol di era reformasi adalah kebebasan membentuk
organisasi. Ini bisa dilihat dari banyaknya organisasi yang lahir pasca 1998,
baik itu bersifat organisasi bidang politik, organisasi bidang agama, organisasi bidang sosial maupun
lainnya. Ini memang memberikan warna tersendiri bagi jalannya demokrasi di
negeri ini.
Pasal
28 UUD 1945 yang berbunyi: “kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 inilah menjadi dasar
bagi terbentuknya organisasi di Indonesia.
Lalu
bagaimana potret dari ormas di Indonesia pasca reformasi? Memang kalau dilihat
ada yang memberi dampak positif dan ada pula yang menjurus ke hal yang anarkis.
Ini memang bagian dari bumbu-bumbu berdemokrasi.
Ormas
anarkis memang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang hangat. Ini disebabkan
karena adanya aksi main hakim sendiri oleh ormas. FPI menjadi ormas yang paling
disoroti oleh semua kalangan saat ini. Ini diakibatkan karena FPI sering
melakukan tindakan sendiri, tanpa berkordinasi kepada penegak hukum. FPI sering
melakukan swipping ke tempat-tempat
hiburan. Aksi FPI ini pun menimbulkan perlawanan dari masyarakat.
Aksi
FPI yang paling menuai kritik adalah ketika FPI menabrak pejalan kaki di Kendal
sampai tewas. Aksi yang dilakukan oleh FPI ini tidak lebih dari bentuk
perlawanan terhadap hukum. Main hakim sendiri inilah yang sangat disayangkan
oleh semua pihak.
Polisi
sebagai penegak hukum tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi ormas anarkis
ini. Tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh polisi tidak mampu menghentikan
kegiatan yang dilakukan oleh FPI. Polisi hanya sebagai penonton saja. Bisa
dikatakan, FPI lebih berani daripada polisi. Polisi terus menerus memberikan
ruang kepada ormas anarkis untuk melakukan tindakan melawan hukum.
Maraknya
ormas anarkis dan ketidak mampuan polisi meberantas ormas anarkis inilah
menjadi penyebab utama pemerintah mengamandemen UU Nomor 8 tahun 1985 tentang
Ormas menjadi UU Nomor 13 tahun 2013. Dalam amandemen ini ada beberapa poin
pokok yang diubah, diantaranya syarat pembentukan ormas oleh warga negara
asing, penyempurnaan larangan terhadap ormas dan cara pemberian sangsi bagi
ormas yang melakukan tindakan anarkis.
Dengan
adanya UU Nomor 13 tahun 2013 diharapkan pemerintah, khususnya pihak kepolisian
bisa lebih menertibkan ormas yang anarkis. Pemerintah harus lebih berani
memberikan sangsi kepada ormas yang melakukan tindakan yang meresahkan
masyarakat umum. Apalagi ormas yang melakukan permusuhan terhadap suku, ras,
agama dan golongan. Dan dalam UU Ormas juga telah ditagaskan secara jelas bahwa
ormas tidak boleh melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewanang penegak
hukum. Jadi, dengan kata lain ormas yang melakukan tindakan di luar kewenangan
bisa diberikan sangsi, mulai dari sangsi administrasi sampai pembubaran.
Pembubaran
ormas anarkis memang sangat sering diwacanakan. Namun, pemerintah sangat sulit
melakukan hal itu. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan juga sangat
geram dengan aksi keanarkisan ormas. Presiden sudah mengintruksikan kepolisian
untuk menindak tegas ormas anarkis, tetapi hal itu tidak bisa membuat ormas
bersangkutan takut, malah semakin menjadi-jadi.
Banyak
orang menyatakan pembubaran ormas merupakan bentuk dari pelanggaran terhadap UUD
1945, khususnya pasal 28. Benarkah melanggar? Ini perlu pemahaman dan
pengkajian lebih mendalam. Kalau dilihat dari sudut pandang pasal 28 saja, maka
memang benar melanggar. Namun, apabila dikaitkan dengan pasal lainnya, seperti
pasal tentang HAM, maka pembubaran ormas anarkis tidak melanggar UUD 1945. Ini
disebabakan karena ormas tersebut sudah mengganggu keamanan dan ketertiban umum
serta mengambil hak orang lain.
Banyak
cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam meminimalisir ormas anarkis. Mulai
dari pembinaan dan pengawasan terhadap ormas-ormas. Pemerintah juga harus
bertindak tegas dalam menyikapi ormas anarkis.
Jadi,
dapat dikatakan bahwa ormas anarkis bisa dibubarkan karena tidak melanggar UUD
1945 dan HAM. Dampak dari UU Ormas akan kita tunggu bersama. Apakah akan mampu
meminimalisir atau tidak?
No comments:
Post a Comment