Oleh: Dedet Zelthauzallam
Sabtu,
23 Maret 2013 masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Yogyakarta dihebohkan
dengan aksi penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Slemen.
Dalam aksi penyerangan ini empat tahanan ditembak sampai mati. Napi yang
ditembak adalah Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, Gameliel Yermiyanto Rohi
Riwu, Adrianus Candra Galaja dan Yohanes Juan Manbait. Mereka berempat
merupakan kawanan preman Dicky Ambon.
Empat
tahanan ini adalah tersangka kasus pengeroyokan anggota Komando Khusus
(Kopassus), Sertu Heru Santoso di Hugo Cafe. Sersa Heru meninggal akibat
keempat preman ini. Inilah latar belakang kasus keempat korban penyerangan LP Cebongan
kelas IIB ini sehinnga ditahan.
Dalam
aksi penyerangan di LP Cebongan ada hal yang sangat menarik. Dimana aksi ini dilakukan
secara cepat, tepat dan sistematis. Bayangkan saja, pelaku penyerangan hanya
membutuhkan hitungan menit saja untuk bisa masuk dan membunuh keempat korban. Ditambah
lagi CCTV dan semua perangkat di LP bisa dihancurkan. Pelaku bisa dikatakan
sudah terlatih sehingga bisa melakukan aksi seperti ini. Pelaku bermain bersih
dalam melakukan aksinya.
Hal inilah yang menyebabkan dari awal banyak
kalangan yang menduga bahwa ini dilakukan oleh kelompok yang sudah terlatih. Bayak
kalangan langsung mencurigai TNI, khususnya Kopassus. Kopassus dicurigai karena
melihat latar belakang kasus korban.
Dengan
banyaknya dugaan dan adanya indikasi yang mengarah ke TNI, maka TNI AD
membentuk tim investigasi untuk mencari fakta dari keterlibatan anggota TNI.
Tim investigasi dipimpin oleh Brigadir Jenderal Unggul K. Yudhoyono.
Tidak
tanggung-tanggung, tim yang dibentuk ini mampu menemukan keterlibatan dari
intern TNI. 11 anggota Kopassus dijadikan sebagai pelaku penyerangan LP
Cebongan. Mereka merupakan mantan anak buah dari Sertu Heru.
Bayak
kalangan menanggapi positif hasil dari tim investigasi. Apresiasi atas hasil
investigasi ini patut diberikan, karena TNI sudah memiliki keterbukaan kepada
publik. Keberanian dari TNI sebagai contoh dari pertanggung jawaban, lebih
khususnya 11 anggota Kopassus. 11 anggota Kopassus ini dinilai memiliki jiwa
ksatria.
Mengapa Mereka Melakukan Aksi?
Aksi
yang dilakukan oleh 11 anggota Kopassus ini dinilai sebagai bentuk dari jiwa
korsa yang ditanamkan di dalam diri setiap prajurit. Kematian dari Sertu Heru menjadi
cambuk bagi rekannya. Hal inilah yang menyebabkan kemarahan dari anggota
Kopassus lainnya.
Sertu
Heru merupakan mantan atasan dari salah satu pelaku. Salah satu pelaku mengaku
bahwa ada hutung nyawa kepada Beliau. Pelaku mengakui kalau Sertu Heru pernah
menyelamatkan nyawanya. Hal inilah yang menyebabkan mereka nekat melakukan aksi
brutal ini.
Bayak
kalangan juga, menganggap aksi ini sebagai bentuk persaingan wilayah kekuasaan.
Persaingan wilayah inilah yang menimbulkan pertikaian antara Sertu Heru dengan
kawanan preman Decky Chandra.
Apa pun alasannya, baik menamakan jiwa korsa
atau apa pun namanya tetap salah. Karena negara ini adalah negara hukum. Kita
tidak boleh main hakim sendiri. Peradilanlah yang berhak menentukan hukuman
dari pelaku.
Aksi
Ini Sebagai Pelajaran Bagi Sipil
Sebagai
masyarakat Indonesia, khususnya sipil, harus bisa mengambil hikmah dari aksi
yang dilakukan 11 anggota Kopassus di LP Cebongan, Sleman. Banyak hikmah yang
bisa dipetik oleh sipil untuk dicontohi dan diaplikasikan oleh sipil.
Keberanian
11 anggota Kopassus untuk mengakui aksinya patut dicontoh. Ini bentuk jiwa
ksatria dari prajurit, berani bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan.
Bandingkan dengan sipil sangat jauh sekali perbedaannya. Sipil sangat takut
untuk mengungkap kesalahannya dan selalu mengakui dirinya benar meskipun salah.
Bayak contoh yang memperlihatkan kepada kita bahwa sipil tidak memiliki jiwa
ksatria.
Keberanian
Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen TNI Agus Sutomo yang menyatakan siap
bertanggung jawab atas perbuatan dari 11 anak buahnya merupakan contoh yang
perlu diadopsi oleh sipil. Bandingkan dengan sipil, kalau ada staf atau
bawahannya melakukan kesalahan, maka banyak yang melepas tangan. Sebagai
contoh, kasus dari bocornya sprindik Anas. Sekertaris Abraham Samad djadikan
tersangka oleh Komite Etik KPK, namun tidak ada pernyataan dari Abraham Samad
seperti Komandan Kopassus itu.
Dari
kasus ini juga, bisa dilihat bagaimana jiwa korsa dalam diri Kopassus sangat
tinggi. Jiwa korsa mrupakan jiwa yang harus dimiliki oleh setiap prajurit.
Korsa ini berarti sikap saling berbagi, melindungi, membantu, mengingatkan, dan
menjaga atau dengan kata lain sikap senasib sepenanggungan. Meskipun dalam hal
ini, Kopassus salah dalam menjalankan jiwa korsa. Tetapi patut sipil mencontohi
jiwa korsa ini. Di sipil jiwa korsa ini sangat minim. Saling sikut menyikut
kerap terjadi di sipil.
Aksi
yang dilakukan oleh 11 anggota Kopassus ini harus diserahkan kepada hukum. Aksi
ini harus dijadikan pelajaran bagi semua kalangan, baik bagi TNI, Polri dan
Sipil. Kejadian seperti ini tidak boleh untuk dilaukan lagi. Inget Indonesia
adalah negara hukum. Hukum harus diserakan kepada yang berwenang utuk diproses.
No comments:
Post a Comment