hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Wednesday 12 February 2014

PEMIMPIN PRODUK KEPENTINGAN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemimpin[1] merupakan sosok sentral dalam suatu komunitas. Pemimpin memiliki kelebihan daripada yang dipimpinnya, baik itu dari aspek knowledge, skill dan attitude. Mampu melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat memimpin orang lain dan dapat dipimpin oleh orang lain, dalam kehidupan bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan[2]. Prof. Ermaya Suradinata mengatakan bahwa kepemimpinan membutuhkan budaya dalam rangka menciptakan daya rasa, daya karsa, daya cipta dan daya inovasi yang unggul.
Dalam ajaran islam dikatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ini berarti pada hakekatnya setiap manusia itu adalah pemimpin. Paling tidak pemimpin bagi dirinya sendiri. Itulah mengapa Aristoteles melihat bahwa negara didirikan dari rumah tangga, sebelum berbicara tentang negara kita musti berbicara tentang manajemen keluarga[3]. Jadi bisa dikatakan bahwa baik buruknya kehidupan bernegara sangat bergantung bagaimana hubungan yang dibangun dalam sebuah keluarga. Di keluargalah ada hubungan yang erat antar individu. Individu dalam kelurga itulah yang menjadi pemimpin bagi sekumpulan keluarga yang kita sebut sebagai warga negara.
Di era demokrasi langsung saat ini, yang berasaskan one man, one vote, one value memberikan peluang yang sama kepada warga negara untuk menjadi pemimpin. Pemimpin itu tidak memandang status. Petani, nelayan, pedagang, pengusaha asongan dan lainnya bisa bersaing dengan para akademisi, konglomerat dan lainnya. Secara kasat mata memang kelihatan sangat fair, namun pada prakteknya ternyata tidak. Ada hal yang sangat penting dibalik demokrasi langsung ini, yaitu money.  David Samuel mempertanyakan “how important is money to the electoral process?”.
Uang berperan sangat urgen dan menentukan dalam pemilihan langsung. Konstituen akan terhipnotis dengan kampanye (iklan, baliho dan stiker) para calon. Calon pun akan kesana kemari untuk menampakkan mukanya kepada rakyat. Tim sukses pun membutuhkan namanya uang, sehingga bisa dipastikan uang menjadi kunci kemenangan dari pada calon. Uang sangat dibutuhkan oleh para calon. Itulah mengapa saya mengatakan demokrasi langsung itu tidak fair, karena hanya akan bisa menghasilkan pemimpin yang ber-uang.
Kekuatan finansial akan dibutuhkan oleh calon dan partai dalam mempertahankan dan mencari kekuasaan. Sumber keuangan pun akan selalu dicari, dimana pun keberadaannya. Partai pengusung para calon tidak akan mampu membiayai sendiri segala kebutuhan selama masa pemilihan yang bisa mencapai miliaran atau triliunan rupiah. Berdasarkan kajian Pramono Anung Wibowo, menyebutkan rata-rata anggota DPR mengeluarkan dana Rp 1,5-2 miliar selama kampanye sampai dengan terpilih.
Berdasarkan data dari KPU, dana kampanye yang terkumpul pada periode pertama (27 – 30 Desember 2013) sebesar Rp 974,53 miliar[4]. Jumlah dana kampanye ini akan bisa bertambah, karena akan ada periode kedua pelaporan dana kampanye (2 Maret 2014). Sesuai dengan aturan, partai politik hanya boleh menerima dana kampanye dari partai, caleg, perorangan, kelompok dan badan usaha.
Jadi pertanyaan selanjutnya adalah darimana partai atau calon mendapatkan uang? Pastinya akan mencari para pemilik uang (modal). Pemilik modal itu adalah mereka yang menguasai korporasi di negeri ini, seperti Newmont, Freepot, Sampoerna dan sejenisnya. Pemilik modal tersebut tidak akan memberikan dengan cuma-cuma. Akan ada deal yang harus terpenuhi jika partai atau calon tersebut menang dalam pemilu. Bukankah kalau seperti itu pemimpin di negeri ini adalah perpanjangan tangan dari para pemilik modal dengan kata lain pemimpin produk kepentingan.
Muchtar Lubis menyatakan bahwa Demokrat atau Republik sama saja, mereka sama-sama maling. Itulah gambaran bagaimana dua partai di Amerika Serikat ditunggangi oleh kelompok kepentingan seperti yang disebutkan di atas. Konglomerat dan kaum kapital yang memegang kendali di negeri Paman Sam tersebut sangat berperan penting dalam mempengaruhi kebijakan. Presiden seperti hanya mendapatkan kedudukan saja, tanpa ada kebebasan dalam membuat kebijakan. Semua terperangkap dengan kelompok kepentingan.
Dengan high cost politic akan membuat para pemimpin yang terpilih tidak mampu berbuat banyak. Semuanya akan disetir oleh pemberi modal. Sepertinya sistem pemilihan langsung ini akan hanya sebagai suatu ajang kaum capital, yang menang akan menguasai dan yang kalah akan stagnan.
Dengan adanya pengaruh besar dari para pemilik modal itu membuat pemimpin yang dihasilkan tidak akan bisa menghasilkan pemimpin berjiwa Ksatria Piningit dan berjiwa ASTA BRATA.  Apalagi akan memenuhi kriteria kepemimpinan yang telah ditetapkan oleh Lamhanas RI atau yang disebut Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia (IKNI) yang mengandung empat katagori Cita Susila dan Akuntabilitas, yaitu 1) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Individual, 2)  Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Sosial, 3) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Institusional, dan 4) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Global[5].
Pemilihan langsung saat ini akan menjadi acara seremonial belaka, ketika masalah money terus menerus mewabah. Cost politic  harus bisa ditekan seminimal mungkin supaya parpol dan calon tidak terlalu bergantung dan berorintasi mencari pihak penyumbang. Menurut Colleto, Jansen and Young (2011), model pendanaan kampanye yang cenderung ideal mestinya mengikuti peraturan yang ada dan juga norma-norma demokrasi yang umum. Untuk itu, aliran dana kampanye mestinya merupakan aliran dan kontribusi dari para anggota dan masyarakat umum yang diberikan sebagai kontribusi untuk partai di tingkat pusat/DPP, kontribusi untuk EDE (pengurus daerah/DPD) maupun kontribusi untuk para kandidat. Mereka menawarkan empat model, yaitu 1) basic model, 2) branch model, 3) stratarchical, 4) centralized funding.  
Peran uang memang sangat sulit dipisahkan dengan pemilihan langsung ini. Kita mengakui uang adalah sumber awal dari masalah yang ada. Kepala daerah yang sudah tersandung korupsi sudah sekitar 311 kepala daerah. Theodore White menyatakan the flood of money that gushes into politics today is a pollution of democracy. Banjir uang yang menyebur ke dalam politik hari ini adalah polusi demokrasi. Itulah gambaran bagaimana uang adalah masalah, tetapi disamping itu uang sangat dibutuhkan.
  



[1] Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu.
[2] Ermaya Sradinata, “Analisis Kepemimpinan, Strategi Pengambilan Keputusan”, (Bandung: ALQAPRINT: Oktober 2013),  1.
[3] Henry J. Schmandt, “Filsafat Politik”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Cetakan III 2009), 96.
[4] Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/470078-jumlah-dana-kampanye-12-parpol-hampir-rp1-triliun--siapa-sumbernya-
[5] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 87.

No comments:

Post a Comment