hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Thursday 21 May 2015

MENGEMBALIKAN SEMANGAT REFORMASI

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya secara resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh mayoritas masyarakat Indonesia pada waktu itu, khususnya pemuda/mahasiswa. Rezim orde baru yang memimpin Republik ini selama 32 tahun dikenal penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dibalut dengan kediktatoran. Terlebih pada tahun 1997, Indonesia mulai dilanda krisis. Nilai tukar rupiah turun drastis membuat harga melambung tinggi. Daya beli masyarakat menjadi turun dan kehidupan masyarakat terombang-ambing bagaikan hempasan ombak samudera.
Jatuhnya rezim orde baru tak bisa dilepaskan dari peran para pemuda. Pemuda yang mayoritas masih duduk di bangku kuliah terus menerus mendesak Soeharto untuk turun dari jabatan RI-1. Banyak keringat dan darah bercucuran sampai nyawa melayang. Mereka tidak mengenal takut sedikit pun. Mereka seperti harimau yang baru keluar dari kandang. Mereka bisa dikatakan sebagai pahlawan reformasi kita.
Dewasa ini, pasca 17 tahun reformasi, sepertinya potret Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di era orde baru. Malah banyak masyarakat kita yang rindu akan rezim Soeharto. Ini diakibatkan oleh pemerintah di era reformis tidak mampu untuk move on. Artinya, korupsi semakin merajalela dengan kuantitas pelaku semakin tak mengenal lapisan. Dulu hanya berani dilakukan oleh keluarga istana, tetapi dewasa ini semua lapisan dari paling tinggi sampai terbawah pun bisa melakukannya.
Korupsi yang semakin menggila itupun yang menyebabkan pembangunan di era orde baru dinilai lebih bisa dilihat hasilnya dari pada dewasa ini. Belum lagi di era reformasi, ini tingkat disparitas si kaya dan si miskin semakin tinggi. Indeks Gini Indonesia pada tahun 1998 ada di angka 0,38 sedangkan sekarang ada di angka 0,42.
Era reformasi yang lebih bebas tidak bisa menjawab masalah Republik ini. Pemuda pejuang reformasi berguguran satu per satu. Kebebasan yang diberikan malah menjadi celah dalam berbuat lebih untuk dirinya, kelompok dan kroninya. Ujung-ujungnya masyarakat kecillah yang menjadi korban. Korban dari keserakahan individu. Sifat individu inilah yang semakin hari semakin muncul di tengah-tengah masyarakat Republik ini. Padahal dasar negara kita, Pancasila, menurut Soekarno memiliki kunci pada semangat gotong royong. Gotong royonglah yang perlu digelorakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini supaya apa yang dicita-citakan bisa tercapai. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Pada momen 17 tahun jatuhnya orde baru inilah saatnya kita harus mengembalikan semangat reformasi yang berjiwa Pancasila. Kita harus kembali bersatu padu dalam satu irama yaitu mencapai Indonesia sejahtera. Gotong royong adalah sebuah pilihan yang mutlak, bukan pilihan yang dipilih-pilih, karena ke depannya Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih komplit nan dinamis. Semangat gotong royong menjadi kunci menjaga marwah Republik ini. Kalau tidak, maka arus globalisasi yang semakin menjadi-jadi akan menggusur kita, cepat atau lambat.


Monday 4 May 2015

REVOLUSI MENTAL DAN IPDN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Revolusi mental menjadi kata yang sangat familiar pasca dijadikan sebagai tagline kampanye pasangan Jokowi-JK dalam pilpres 2014. Revolusi mental cukup menarik perhatian mengingat keadaan Indonesia memang membutuhkan perbaikan mental, baik mental individu maupun mental sosial masyarakatnya. Dengan adanya perbaikan mental tentunya menjadi harapan bagi perbaikan keadaan Indonesia ke depannya, sehingga Indonesia mampu mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara.
Gagasan revolusi mental ini sebenarnya gagasan lama yang digaungkan kembali. Gagasan ini lebih dulu diperkenalkan oleh bapak proklamator, Bung Karno, pada tahun 1957. Ini disebabkan oleh adanya degradasi semangat juang pasca kemerdekaan. Padahal tujuan dari revolusi Indonesia belum selesai, karena kemerdekaan merupakan gerbang emas, sehingga masih sangat membutuhkan semangat juang para pejuang kemerdekaan. Itulah sebabnya, Bung Karno menggaungkan revolusi mental supaya rakyat Indonesia tidak mandek dalam memperjuangkan tujuan awal yaitu mensejahterakan tumpah darah Indonesia.
Menurut Bung Karno, esensi dari revolusi mental adalah harus adanya perubahan pola pikir, cara kerja dan cara hidup dari rakyat Indonesia. Revolusi mental menurutnya ialah sebagai suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia Indonesia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali dan berjiwa api yang menyala-nyala. Bung Karno menyadari bahwa revolusi mental ini bukanlah pekerjaan sehari dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan bersifat sustainable development. Itulah sebabnya, pemerintahan baru, Jokowi-JK, sangatlah tepat telah menggaungkan kembali revolusi mental Bung Karno mengingat keadaan Republik dewasa ini.
Dewasa ini, revolusi mental, menurut saya, sebagai sebuah kebutuhan yang bersifat mendesak. Ini disebabkan oleh adanya degradasi moral dari anak bangsa yang sudah mencapai titik nadir. Sebagai contoh, korupsi semakin merajalela, tindakan asusila tak terkontrol dan sikap perilaku tak mencerminkan budaya Indonesia. Hal itu telah menjangkit hampir seluruh lapisan masyarakat dari tingkat teratas sampai terbawah. Perilaku tersebut, tentunya muncul dari adanya mental yang rusak. Rusaknya mental inilah perlu direvolusi melalui sebuah gerakan nyata kepada masyarakat.
Menurut Karlina Supelli, sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi lokus yang tepat untuk memulai revolusi mental. Revolusi mental tidak perlu mengubah sistem pendidikan, tetapi bisa ditempuh melalui siasat kebudayaan untuk membentuk etos warga negara. Etos menjadi sangat urgen dalam menunjang kinerja dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa ada etos yang berlandaskan pada nilai-nilai kehidupan bangsa, Pancasila, maka akan bisa menjadi bumerang dalam lingkungan masyarakat.
IPDN sebagai lembaga pendidikan kedinasan yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri tentunya sangat cocok dijadikan sebagai wadah memulai memperkenalkan revolusi mental. Ini disebabakan oleh IPDN memiliki praja (baca: mahasiswa) yang berasal dari hampir seluruh kabupaten/kota. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, pada bulan Juni 2015 yang bertepatan dengan pelantikan pamong praja muda angkatan XXII, praja IPDN akan dijadikan sebagai pelopor dari revolusi mental. Konsep dari revolusi mental menurut rektor IPDN, Suhajar Diantoro, sedang dimatangkan, karena sebenarnya revolusi mental sudah dilaksanakan sejak dulu di IPDN.
Tentunya konsep revolusi mental yang akan disiapkan oleh IPDN tidak akan mengubah sistem pendidikan IPDN, yaitu tri tunggal terpusat (pengajaran-pelatihan-pengasuhan). Namun akan lebih dimatangkan, supaya lulusan IPDN yang disebut sebagai pamong praja lebih bisa menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat yang bersifat dinamis. Sebenarnya sistem pendidikan di IPDN sudah sangat tepat untuk mencetak kader pemimpin daerah maupun pusat, karena lulusan IPDN diharuskan untuk memiliki tiga kemampuan, yaitu teoritis, legalistik dan emperik. Dengan tiga kemampuan itu, praja IPDN diyakini akan bisa memberikan warna lebih di tengah masyarakat.

Apabila melihat di lapangan, sudah banyak lulusan IPDN yang bisa berperan lebih di tengah-tengah masyarakat, yang tersebar dari Sabang-Merauke. Mereka berdiri terdepan sebagai pioner perubahan di daerah. Mereka mampu menjadi pamong yang mengayom masyarakat tanpa mengenal status. Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah harus bisa menjaga kepemimpinan pamong praja di tengah-tengah tensi politik yang serba tak menentu. Kencangnya angin politik ini terkadang bisa mengubah sifat kepemimpinan kepamongprajaan yang sebenarnya. Pada akhirnya, konsep kepemimpinan pamong praja akan tereleminasi oleh kepentingan kasat mata, karena sudah terkontaminasi oleh mayoritas masyarakat. Untuk itulah, apabila IPDN dijadikan sebagai pelopor revolusi mental, maka sebaiknya perlu disiapkan rel yang jelas yang akan dilalui oleh para pamong praja. Apabila tidak, maka nothing konsep tersebut bisa berdiri kokoh di tengah badai politik. Artinya adalah konsep ini harus dibarangi dengan legalitas bagi para pamong praja, sehingga nilai kepamongprajaan bisa tetap terjaga dan dibumikan sebagai salah satu cara mewujudkan revolusi mental di tengah-tengah masyarakat.

PILKADA LOTENG; SEBAGAI SEBUAH MOMENTUM

oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada akhir tahun 2015, bulan Desembar, Kabupaten Lombok Tengah akan melaksanakan pemilihan bupati dan wakil bupati. Pemilihan bupati dan wakil bupati ini harus bisa dijadikan sebagai sebuah momentum bagi masyarakat Lombok Tengah untuk memilih pemimpin yang memimpin bukan pemimpin yang berkuasa. Pemimpin yang dipilih harus yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas yang telah teruji, supaya bisa memoles wajah Lombok Tengah dewasa ini.
Lombok Tengah dewasa ini tentunya adalah daerah yang jauh dari harapan. Ini disebabkan oleh adanya disparitas yang sangat tinggi antara Lombok Tengah dengan kabupaten lainnya yang ada di Pulau Lombok, baik dilihat dari pembangunan infrastruktur maupun non infrastruktur. Hal itulah yang menyebabkan Lombok Tengah berada di rengking dua terbawah dalam hal IPM kabupaten/kota se-NTB.
Tentunya keadaan Lombok Tengah dewasa ini perlu menjadi pertanyaan untuk dijadikan bahan intropeksi demi menunjang masa depan kabupaten yang lebih baik, karena kalau berbicara Lombok Tengah, maka daerah ini bukanlah daerah yang miskin sumber daya, tetapi sebaliknya. Ini bisa dilihat dari bagaimana bidang pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan serta pariwisata yang dimiliki sangatlah luar biasa. Potensi yang luar biasa tersebut juga ditunjang dengan adanya Bandara Internasional Lombok (BIL) di Lombok Tengah. Belum lagi daerah Lombok Tengah dijadikan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata yang memiliki konsep yang sama seperti Nusa Dua Bali. Seharusnya Lombok Tengah dengan potensi tersebut bisa jauh lebih unggul dari daerah lainnya.
Gagalnya Lombok Tengah memanfaatkan potensi yang ada merupakan bagian dari gagalnya kepemimpinan yang ada di Lombok Tengah. Bupati dan wakil bupati Lombok Tengah harus lebih agresif dan memiliki inovasi dalam melihat peluang, karena peluang bagi Lombok Tengah sangat terbuka lebar. Sebagai salah satu contoh, pada tahun ini, Lombok Tengah akan diberikan suntikan dana 250 miliar untuk pembangunan KEK Mandalika dan tahun depan presiden menjanjikan 1,8 triliun. Dengan adanya anggaran tersebut tentunya bisa diajdikan sebagai vitamin untuk mengakselarasikan pembangunan di Lombok Tengah. Disini peran pemimpin, yaitu bupati dan wakil bupati, sangatlah besar. Untuk itulah, maka pada pemilihan tahun ini, masyarakat Lombok Tengah harus lebih selektif dalam memilih dengan melakukan filter yang ketat. Masyarakat tidak boleh terhipnotis dengan janji manis, tetapi harus melihat track record para kandidat.
Pemimpin Lombok Tengah yang diharapkan tentunya sekelas Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Tri Rismaharani (Walikota Surabaya), Azwar Anas (Bupati Banyuwangi) maupun Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng, Sulsel). Pemimpin tersebut adalah pemimpin yang mampu memoles daerahnya dengan sangat luar biasa. Mereka seperti penyihir yang bisa membuat apa yang belum dibuat, memikirkan apa yang belum dipikirkan dan yang terpenting tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Bupati Banyuwangi, Azwar Anas contohnya, beliau bisa menjadikan daerah timur ujung Pulau Jawa ini sebagai daerah ecowisata. Azwar menawarkan konsep wisata dengan menonjolkan ciri khas daerah dengan lebih melibatkan kerjasama dengan masyarakat asli, sehingga dampak yang dihasilkan bisa dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsep tersebut terbukti mampu menaikkan pendapatan daerah Banyuwangi dari bidang pariwisata menjadi tiga kali lipat, 84 miliar menjadi 249 miliar pada tahun 2014. Dan yang terpenting mampu menekan angka kemiskinan di Banyuwangi sampai puluhan persen.

Apa yang dilakukan Azwar Anas di Banyuwangi tentunya harus menjadi patokan bagi bupati dan wakil bupati Lombok Tengah pada periode selanjutnya, supaya potensi yang ada di Lombok Tengah bisa memberikan manfaat kepada masyarakatnya bukan malah kepada masyarakat luar. Untuk menelurkan bupati dan wakil bupati sekelas Azwar Anas tentunya masyarakat Lombok Tengah harus memilih bukan karena keluarga, uang dan sejenisnya tetapi harus dengan memperhatikan kapasitas yang ada pada diri kandidat tersebut. Pilkada inilah momentum yang sangat tepat untuk bisa memilih pemimpin seperti itu. Sekarang semua ada ditangan kita, yaitu masyarakat Lombok Tengah.

Wednesday 19 November 2014

LEIDEN IS LIJDEN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pepatah Belanda mengatakan bahwa “leiden is lijden”, yang artinya adalah memimpin adalah menderita. Sepertinya pepatah ini ingin menggambarkan bahwa menjadi pemimpin itu tidaklah enak, tidaklah membahagiakan, tetapi pemimpin itu lebih dekat dengan penderitaan. Hal ini sepertinya senada dengan apa yang ada di Republik dewasa ini. Dimana pemimpin selalu menjadi objek dari sebuah kegagalan negara dan pemerintah.
Pemimpin selalu menjadi sasaran empuk bagi publik dalam melampiaskan penderitaan. Padahal apabila dicermati, pemimpin tidaklah berdiri sendiri, tetapi memiliki team work dan rakyat. Rakyat sebagai bagian dari pemimpin juga bisa menjadi penentu sukses atau tidaknya pemimpin. Namun sepertinya publik sudah terlalu terdoktrin dengan anggapan bahwa pemimpin sebagai organ tunggal atau king maker dalam mewujudkan kesejahteraan, karena paradigma yang terpatri dalam masyarakat adalah pemimpin adalah sopir, sehingga rakyat selaku penumpang akan tergantung dari sopir yang membawa.
Dengan paradigma seperti itulah, maka kegagalan Republik ini mengangkat derajad kehidupan rakyat membuat kita selalu menyalahkan pemimpin-pemimpin kita. Kita menyalahkan karena mereka tidak becus membawa perekonomian menjadi lebih baik secara kualitatif. Artinya kita murka dengan pertumbuhan ekonomi yang ada dikisaran 5-6%, tetapi malah tingkat disparitas semakin tinggi. Dimana pada tahun 2012 indeks gini ada dikisaran 0,41, lebih tinggi dibandingkan pada zaman Soeharto (0,32).
Belum lagi tingkat pendidikan rakyat masih cukup memprihatinkan. Dimana rata-rata rakyat kita masih berpendidikan 8,1 tahun atau setara dengan kelas dua SMP. Padahal anggaran APBN dan APBD untuk sektor pendidikan minimal 20% per tahun anggaran. Itu baru pendidikan, belum lagi kesehatan. Dimana angka harapan hidup kita ada dikisaran 73 tahun, lebih sedikit dibandingkan dengan negara tetangga.
Sebetulnya dengan gambaran di atas, kita semua sebagai generasi penerus dan harapan harus merasa malu, karena kita ketahui bersama bahwa tanah air kita yang tercinta ini jauh lebih menjanjikan daripada negara lainnya di dunia. Bisa dibayangkan bahwa Republik yang terdiri dari puluhan ribu pulau yang menyebar dari Sabang-Merauke dengan tingkat pluralisme yang tinggi serta kekayaan bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan, tertinggal oleh negara yang memiliki seper sekian dari potensi kita. Seharusnya kita segera menanamkan budaya malu demi kebaikan dan kemajuan bangsa.
Budaya malu ini sebagai vitamin intropeksi diri (bangsa). Dengan begitu, maka saling salah menyalahkan tidak akan ada. Jangan seperti dewasa ini, ketika pemimpin mengambil suatu kebijakan, kita langsung menolaknya. Padahal pemimpin memiliki niatan yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya.
Seharusnya budaya saling salah menyalahkan harus segera dibumi hanguskan, sehingga siapa pun pemimpin di Republik ini akan merasa aman dan nyaman dalam melakukan inovasi. Inovasi yang dimaksud bukanlah inovasi yang melanggar aturan, tetapi inovasi yang berpanglima pada konstitusi kita. Maju terus Republik-ku tercinta dengan semangat gotong royong!!!!


Wednesday 12 November 2014

EKSISTENSI NKRI (BUKAN) HARGA MATI

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Berita cukup mengejutkan, bagi saya, datang dari bagian ujung utara Republik ini, Pulau Borneo, tepatnya dari Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimatan Timur. Ada 10 desa di satu kecamatan, Kecamatan Long Apari, yang ingin memisahkan diri dari ibu pertiwi untuk bergabung menjadi warga Serawak, Malaysia. Alasannya pun sangat tak mengenakkan untuk didengar, yaitu kesejahteraan, lebih khusus kelaparan.
Belum lagi isu yang sempat muncul dari pulau yang sama, Kalimantan, untuk ingin melakukan refrendum. Refrendum ini pun disebabkan oleh tidak terakomodirnya putra daerahnya untuk menduduki jabatan pembantu presiden. Ditambah dengan alasan pemerintah sering alfa terhadap pulau yang dijuluki sebagai paru-paru dunia ini, sehingga mereka menuntut ada hal lebih dari pusat.
Apa yang terjadi di Pulau Borneo sepertinya menjadi sebuah teguran bagi pemerintah untuk lebih bisa melaksanakan perannya dengan baik dan benar. Jangan sampai hal itu tak direspon yang kemudian mengakibatkan rentetan-rentetan permasalahan lainnya, sehingga akan merusak bingkai NKRI yang sudah diharga matikan oleh para pahlawan pejuang Republik ini.
Sepertinya pemerintah tak mau kejadian Timur-Timur maupun Pulau Sipadan dan Ligitan terulang kembali sehingga pemerintah langsung merespon cepat dengan melakukan pengiriman makanan langsung ke lokasi. Melalui BPKP2DT bekerjasama dengan TNI, pemerintah mendistribusikan makanan dengan jumlah yang cukup untuk menahan jeritan masyarakat.
Langkah sigap pemerintah patut diberikan apresiasi yang tinggi. Namun sepertinya kesigapan itu hanya bersifat semu. Dikatakan demikian karena pemerintah pusat lebih sibuk dengan hal-hal yang sebetulnya, menurut saya, tak terlalu perlu. Sepertinya pemerintah lebih masih sibuk dengan wacana pengosongan kolom agama. Padahal hal itu tak terlalu penting, jauh lebih penting bagaimana menjadikan daerah perbatasan bisa menjadi gerbang utama dan paling pertama bagi memperkenalkan Republik ini ke manca negara.
Belum lagi anggota legislatif kita, DPR, yang masih terlalu sibuk dengan urusan internnya yang malah menghambat kinerja DPR itu sendiri. Kesibukan DPR sepertinya tak akan menghasilkan hasil yang cukup memuaskan ketika mereka masih terperangkap dengan perebutan kekuasaan. Padahal pemerintah selaku mitra kerjanya perlu membicarakan masalah yang urgen, seperti masalah yang terjadi di Kalimantan.
DPR pun terperangkang dengan tiga kartu sehat yang digulirkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Mereka lebih vokal atau hobi mengkritik hal ini daripada mereka memperbaiki diri terlebih dahulu. Seharusnya dengan adanya kejadian ini, kasus Kalimantan, anggota dewan yang terhormat bersama pemerintah sama-sama berbicara mencarikan solusi. Jangan hanya bisa saling salah menyalahkan. Mereka sama-sama terjun memberikan solusi kepada masyarakat. Salah satunya adalah dengan adanya tiga kartu sakti ini.
Tiga kartu sakti ini dengan segala kekurangannya tentunya akan menjadi obat dari jeritan mereka. Mereka membutuhkan kehadiran para pemimpin (pemerintah) yang benar-benar mengilhami rakyat dengan segala daya dan upaya, bukan hanya bisa berbicara lantang saling salah menyalahkan, tetapi ada action.
Rakyat menunggu kehadiran pemerintah. Pemerintah melalui fungsinya, salah satunya pelayanan, harus segera hadir tanpa alfa kepada mereka yang ada di perbatasan, bukan hanya di Kalimantan Timur, tetapi diseluruh daerah perbatasan maupun daerah-daerah yang masih dianak tirikan.
Pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Jokowi harus bisa lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dengan semangat revolusi mental, Jokowi-JK harus mengaplikasikan salah satu pepatah dari negeri Tirai Bambu yang menyatakan bahwa “rakyat adalah yang terpenting. Setelah itu negara dan terakhir adalah penguasa”. Sepertinya hal itu sejalan dengan roh Pancasila maupun tri sakti yang menjadi jargon Bung Karno yang kemudian sering diucapkan oleh Jokowi pada masa kampanye.
“NKRI Harga Mati” harus tetap menjadi jargon seluruh rakyat Indonesia, khususnya pemerintah. Pemerintah harus bisa hadir dimana-mana supaya NKRI selalu utuh. Bukan hanya utuh tetapi bisa satu menyatu membentuk sebuah kekuatan dalam menghadapi era globalisasi yang semakin tanpa batas.


Sunday 9 November 2014

PAHLAWAN MASA KINI?

Ilustrasi Pahlawan by Google
Oleh: Dedet Zelthauzallam
H-4 menjelang peringatan hari pahlawan 2014, Presiden Republik Indonesia, Jokowi, memberikan gelar pahlawan kepada empat tokoh yang dinilai berjasa untuk Republik ini. Empat tokoh tersebut yaitu Letjen Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Mayjen TKR HR Mohammad Mangoediprojo. Ini merupakan gelar pahlawan pertama yang disematkan oleh presiden ketujuh RI.
Dengan ditambahkan empat tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional, tentunya menambah daftar pahlawan Republik ini yang sudah mencapai kisaran 163 pahlawan nasional. Jumlah ini jauh melebihi jumlah pahlawan negara-negara lain yang hanya memiliki pahlawan rata-rata 50 pahlawan, termasuk negara Paman Sam yang menjadi negara super power dewasa ini.
Gelar pahlawan nasional ini merupakan gelar yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Namun disisi lain juga banyak yang berpendapat bahwa pahlawan di Indonesia tidak memiliki indikator yang jelas, sehingga lebih bersifat politis. Artinya, gelar pahlawan nasional akan disematkan kepada seorang tokoh berkat adanya dukungan politik bukan dukungan kapasitas yang dimiliki tokoh tersebut. Sebagai contoh, sang founding father, Soekarno, baru mendapatkan gelar pahlawan nasional pada tahun 2012. Padahal sejarah telah mencatatnya sebagai pioner lahirnya Republik ini. Dengan contoh tersebut, timbulah pertanyaan, mengapa gelar pahlawan Soekarno lamban dan ada apa dibalik itu. Jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang semua bisa menjawabnya tetapi dengan kebisuan dalam ketidakberdayaan.
Dari contoh tersebut, kita sebagai generasi dewasa ini perlu mengintropeksikan diri kita masing-masing untuk menyatukan persepsi apa itu sebenarnya yang dimaksud pahlawan nasional. Jangan sampai gelar pahlawan nasional diberikan hanya karena adanya unsur like dislike, karena hal itu akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi penerus cita-cita Republik ini. Jangan sampai dimasa yang akan datang, Republik ini kebanjiran pahlawan, namun keadaan stagnan.
 Terlepas dari unsur like dislike maupun unsur lainnya, para tokoh yang sudah tercatat sebagai pahlawan nasional, jumlahnya sekitar 163 orang, mungkin dulu tak pernah bekerja dengan niatan untuk mendapatkan gelar tersebut, tetapi mereka benar-benar bekerja untuk mendedikasikan diri demi kemajuan Republik ini, baik itu pahlawan pra kemerdekaan, kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Kebanyakan tokoh tersebut bukan sembarangan orang. Sebut saja Hatta. Beliau adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh yang luar biasa untuk Republik ini. Banyak pemikiran yang terlahir darinya yang dijadikan konsep berbangsa dan bernegara yang mengatarkannya sebagai pendamping Soekarno disaat memproklamasikan Republik ini sekaligus menjadi wakil presiden pertama. Meskipun begitu, Hatta tidak pernah memposisikan dirinya sepertinya kebanyakan pejabat dewasa ini. Malah Hatta hidup dengan penuh kesederhanaan.
Diperingatan hari pahlawan di tahun 2014 ini, hendaknya harus menjadi momentum bagi semua elemen pewaris Republik ini, mulai dari tingkat terbawah sampai atas untuk sama-sama menyadarkan diri bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang memiliki status jabatan, tetapi pahlawan adalah kita semua yang hidup dalam bingkai Republik ini. Dengan catatan, kita bekerja dalam koridor memajukan bangsa dan negara, bukan penjilat dengan berbalut lipstik belaka.
Apabila kita semua bekerja dengan action penuh inovasi ditambah berpegang pada ambeg para marta, maka itulah sebenarnya pahlawan nasional yang dimaksud. Apalagi bisa membawa perubahan dalam menata masa depan Republik ini menuju titik teratas cita-cita bangsa yang telah dicita-citakan. Dengan begitu, maka seharusnya kalau generasi kita mau dicatat sebagai pahlawan, maka perlu menjadi pendobrak budaya bobrok Republik ini.
Budaya bobrok di Republik ini tentunya bisa dilihat dari problem multidemensi yang melanda Republik ini, mulai dari tingkat korupsi, amoral, sampai mengikisnya nilai-nilai yang sudah tertanam berabad-abad. Korupsi yang tak kenal tempat. Perilaku yang tak kenal tingkat pendidikan. Itu adalah dua contoh yang menyebabkan ketidakberhasilan Republik ini mengejar cita-cita yang sudah tertulis dalam konstitusi.
Generasi Republik ini sepertinya termanjakan dengan kemerdekaan yang penuh dengan kemewahan. Sejarah telah mencatat Indonesia sebagai rebutan bangsa lain, mulai dari Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris sampai Jepang. Indonesia sebagai rebutan bukan tanpa alasan. Alasannya adalah di atas tanah Indonesia bisa tumbuh segala jenis tanaman dan di bawah tanahnya pun terdapat limpahan kekayaan alam yang tak terhitung nilainya.
Kemewahan tersebut di era kemerdekaan malah menjadi bumerang. Menurut Nasihin Masya dalam bukunya Perjuangan Melawan Kalah  menyatakan bahwa keberlimpahan harta dan tahta bisa membuat kita menjadi jahat. Sepertinya hal inilah yang membuat generasi dewasa ini terlalu dininak bobokan, sehingga apa yang bisa dipenuhi sendiri malah bergantung kepada negara lain yang notabenenya jauh lebih sulit dari pada kita. Sebut saja garam. Garam harus kita datangkan dari negara lain. Padahal Republik ini tiga per empatnya merupakan lautan dan Indonesialah negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Lalu kenapa kita harus impor. Itu pertanyaan yang jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang kemungkinan sudah bisa dijawab oleh orang awam sekalipun.
Gagalnya generasi dewasa ini mengelola sumber daya alam membuat Republik ini semakin bergantung dengan negara lain. Tentunya yang memiliki tanggung jawab terbesar adalah mereka yang memegang jabatan. Para pemegang jabatan sepertinya merasa nyaman dan aman saja dengan kondisi yang memperihatinkan ini. Tak ada yang risau. Mereka malah semakin menjadi-jadi dengan semakin meningkatnya fasilitas untuk dirinya sendiri.
Melihat perilaku para pemegang status jabatan di Republik ini tentunya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ketika pintu gerbang terbuka ternyata orang-orang kerdil yang muncul. Ketika Indonesia merdeka, hanya orang-orang busuk yang mengemuka. Sepertinya hal itu benar. Tetapi bisa jadi tidak benar, karena presiden dan wakil presiden hasil pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 membawa paradigma baru bagi kehidupan di Republik ini. Meskipun belum terbukti tetapi paling tidak ada wacana untuk melakukan inovasi terhadap masa depan Republik ini.
Dengan banyaknya kebobrokan para pemimpin di Republik ini, maka akan sulit bagi mayoritas pemimpin dewasa ini untuk bisa menyandang predikat pahlawan. Kita seharusnya bisa sama-sama menemukan siapa yang kira-kira pantas menyandang predikat pahlawan di era dewasa ini. Kenapa tidak kita menggunakan diri kita sebagai indikator utama. Dengan begitu, maka kita mulai menjadikan diri kita ibarat pahlawan. Tindak dan gerak-gerik kita harus mencerminkan pahlawan sejati yang mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Tidak melakukan sesuatu dengan tujuan populis, tetapi bernafas pada kemajuan bangsa dan negara.
Dengan menjadikan diri kita sebagai pahlawan, maka hal itu akan menjadi vitamin bagi kita semua untuk berlomba-lomba menjadi pahlawan dalam perbaikan Republik ini. Mulai dari kuli, pedagang kaki lima, sopir angkot, buruh, petani, nelayan, PNS, TNI/Polri, sampai presiden akan berada dalam satu harmonisasi hidup yang terbigkai dalam bingkai NKRI. Itu akan berjalan sesuai dengan irama, sehingga akan menghasilkan lantunan yang bisa memikat semua elemen yang majemuk. Dengan begitu, maka cita-cita kebangsaan yang sudah lama diimpikan akan menjadi sebuah kenyataan.
Jadi pahlawan masa kini bukan mereka yang memiliki status kedudukan. Bukan juga guru. Bukan juga para TKI dan TKW. Bukan juga petani dan nelayan. Bukan juga artis yang setiap saat ada di layar kaca. Tidak juga para pengusaha yang bisa memproduksi laba triliunan per tahunnya. Tetapi pahlawan itu adalah kita semua. Kita adalah pahlawan.

*selamat hari pahlawan tahun 2014, dengan mematri dalam diri “kita adalah pahlawan”.