Oleh: Dedet Zelthauzallam
Berita
cukup mengejutkan, bagi saya, datang dari bagian ujung utara Republik ini,
Pulau Borneo, tepatnya dari Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimatan Timur. Ada 10 desa
di satu kecamatan, Kecamatan Long Apari, yang ingin memisahkan diri dari ibu
pertiwi untuk bergabung menjadi warga Serawak, Malaysia. Alasannya pun sangat
tak mengenakkan untuk didengar, yaitu kesejahteraan, lebih khusus kelaparan.
Belum
lagi isu yang sempat muncul dari pulau yang sama, Kalimantan, untuk ingin
melakukan refrendum. Refrendum ini pun disebabkan oleh tidak terakomodirnya
putra daerahnya untuk menduduki jabatan pembantu presiden. Ditambah dengan
alasan pemerintah sering alfa terhadap pulau yang dijuluki sebagai paru-paru
dunia ini, sehingga mereka menuntut ada hal lebih dari pusat.
Apa
yang terjadi di Pulau Borneo sepertinya menjadi sebuah teguran bagi pemerintah
untuk lebih bisa melaksanakan perannya dengan baik dan benar. Jangan sampai hal
itu tak direspon yang kemudian mengakibatkan rentetan-rentetan permasalahan
lainnya, sehingga akan merusak bingkai NKRI yang sudah diharga matikan oleh
para pahlawan pejuang Republik ini.
Sepertinya
pemerintah tak mau kejadian Timur-Timur maupun Pulau Sipadan dan Ligitan
terulang kembali sehingga pemerintah langsung merespon cepat dengan melakukan
pengiriman makanan langsung ke lokasi. Melalui BPKP2DT bekerjasama dengan TNI,
pemerintah mendistribusikan makanan dengan jumlah yang cukup untuk menahan
jeritan masyarakat.
Langkah
sigap pemerintah patut diberikan apresiasi yang tinggi. Namun sepertinya
kesigapan itu hanya bersifat semu. Dikatakan demikian karena pemerintah pusat
lebih sibuk dengan hal-hal yang sebetulnya, menurut saya, tak terlalu perlu. Sepertinya pemerintah lebih masih sibuk dengan wacana pengosongan kolom
agama. Padahal hal itu tak terlalu penting, jauh lebih penting bagaimana menjadikan
daerah perbatasan bisa menjadi gerbang utama dan paling pertama bagi
memperkenalkan Republik ini ke manca negara.
Belum
lagi anggota legislatif kita, DPR, yang masih terlalu sibuk dengan urusan
internnya yang malah menghambat kinerja DPR itu sendiri. Kesibukan DPR
sepertinya tak akan menghasilkan hasil yang cukup memuaskan ketika mereka masih
terperangkap dengan perebutan kekuasaan. Padahal pemerintah selaku mitra
kerjanya perlu membicarakan masalah yang urgen, seperti masalah yang terjadi di
Kalimantan.
DPR
pun terperangkang dengan tiga kartu sehat yang digulirkan oleh pemerintahan
Jokowi-JK. Mereka lebih vokal atau hobi mengkritik hal ini daripada mereka
memperbaiki diri terlebih dahulu. Seharusnya dengan adanya kejadian ini, kasus
Kalimantan, anggota dewan yang terhormat bersama pemerintah sama-sama berbicara
mencarikan solusi. Jangan hanya bisa saling salah menyalahkan. Mereka sama-sama
terjun memberikan solusi kepada masyarakat. Salah satunya adalah dengan adanya
tiga kartu sakti ini.
Tiga
kartu sakti ini dengan segala kekurangannya tentunya akan menjadi obat dari
jeritan mereka. Mereka membutuhkan kehadiran para pemimpin (pemerintah) yang benar-benar
mengilhami rakyat dengan segala daya dan upaya, bukan hanya bisa berbicara lantang
saling salah menyalahkan, tetapi ada action.
Rakyat
menunggu kehadiran pemerintah. Pemerintah melalui fungsinya, salah satunya
pelayanan, harus segera hadir tanpa alfa kepada mereka yang ada di perbatasan,
bukan hanya di Kalimantan Timur, tetapi diseluruh daerah perbatasan maupun daerah-daerah
yang masih dianak tirikan.
Pemerintahan
baru yang dinahkodai oleh Jokowi harus bisa lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.
Dengan semangat revolusi mental, Jokowi-JK harus mengaplikasikan salah satu
pepatah dari negeri Tirai Bambu yang menyatakan bahwa “rakyat adalah yang
terpenting. Setelah itu negara dan terakhir adalah penguasa”. Sepertinya hal
itu sejalan dengan roh Pancasila maupun tri sakti yang menjadi jargon Bung Karno
yang kemudian sering diucapkan oleh Jokowi pada masa kampanye.
“NKRI
Harga Mati” harus tetap menjadi jargon seluruh rakyat Indonesia, khususnya
pemerintah. Pemerintah harus bisa hadir dimana-mana supaya NKRI selalu utuh. Bukan
hanya utuh tetapi bisa satu menyatu membentuk sebuah kekuatan dalam menghadapi
era globalisasi yang semakin tanpa batas.
No comments:
Post a Comment