Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pepatah
Belanda mengatakan bahwa “leiden is lijden”,
yang artinya adalah memimpin adalah menderita. Sepertinya pepatah ini ingin menggambarkan
bahwa menjadi pemimpin itu tidaklah enak, tidaklah membahagiakan, tetapi
pemimpin itu lebih dekat dengan penderitaan. Hal ini sepertinya senada dengan
apa yang ada di Republik dewasa ini. Dimana pemimpin selalu menjadi objek dari
sebuah kegagalan negara dan pemerintah.
Pemimpin
selalu menjadi sasaran empuk bagi publik dalam melampiaskan penderitaan. Padahal
apabila dicermati, pemimpin tidaklah berdiri sendiri, tetapi memiliki team work dan rakyat. Rakyat sebagai
bagian dari pemimpin juga bisa menjadi penentu sukses atau tidaknya pemimpin. Namun
sepertinya publik sudah terlalu terdoktrin dengan anggapan bahwa pemimpin
sebagai organ tunggal atau king maker
dalam mewujudkan kesejahteraan, karena paradigma yang terpatri dalam masyarakat
adalah pemimpin adalah sopir, sehingga rakyat selaku penumpang akan tergantung
dari sopir yang membawa.
Dengan
paradigma seperti itulah, maka kegagalan Republik ini mengangkat derajad
kehidupan rakyat membuat kita selalu menyalahkan pemimpin-pemimpin kita. Kita menyalahkan
karena mereka tidak becus membawa perekonomian menjadi lebih baik secara
kualitatif. Artinya kita murka dengan pertumbuhan ekonomi yang ada dikisaran
5-6%, tetapi malah tingkat disparitas semakin tinggi. Dimana pada tahun 2012
indeks gini ada dikisaran 0,41, lebih tinggi dibandingkan pada zaman Soeharto
(0,32).
Belum
lagi tingkat pendidikan rakyat masih cukup memprihatinkan. Dimana rata-rata
rakyat kita masih berpendidikan 8,1 tahun atau setara dengan kelas dua SMP. Padahal
anggaran APBN dan APBD untuk sektor pendidikan minimal 20% per tahun anggaran. Itu
baru pendidikan, belum lagi kesehatan. Dimana angka harapan hidup kita ada
dikisaran 73 tahun, lebih sedikit dibandingkan dengan negara tetangga.
Sebetulnya
dengan gambaran di atas, kita semua sebagai generasi penerus dan harapan harus
merasa malu, karena kita ketahui bersama bahwa tanah air kita yang tercinta ini
jauh lebih menjanjikan daripada negara lainnya di dunia. Bisa dibayangkan bahwa
Republik yang terdiri dari puluhan ribu pulau yang menyebar dari Sabang-Merauke
dengan tingkat pluralisme yang tinggi serta kekayaan bumi, baik di atas maupun
di bawah permukaan, tertinggal oleh negara yang memiliki seper sekian dari
potensi kita. Seharusnya kita segera menanamkan budaya malu demi kebaikan dan
kemajuan bangsa.
Budaya
malu ini sebagai vitamin intropeksi diri (bangsa). Dengan begitu, maka saling
salah menyalahkan tidak akan ada. Jangan seperti dewasa ini, ketika pemimpin
mengambil suatu kebijakan, kita langsung menolaknya. Padahal pemimpin memiliki
niatan yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya.
Seharusnya
budaya saling salah menyalahkan harus segera dibumi hanguskan, sehingga siapa
pun pemimpin di Republik ini akan merasa aman dan nyaman dalam melakukan inovasi.
Inovasi yang dimaksud bukanlah inovasi yang melanggar aturan, tetapi inovasi
yang berpanglima pada konstitusi kita. Maju terus Republik-ku tercinta dengan
semangat gotong royong!!!!
No comments:
Post a Comment