Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada
tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya secara
resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu
oleh mayoritas masyarakat Indonesia pada waktu itu, khususnya pemuda/mahasiswa.
Rezim orde baru yang memimpin Republik ini selama 32 tahun dikenal penuh dengan
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dibalut dengan kediktatoran. Terlebih
pada tahun 1997, Indonesia mulai dilanda krisis. Nilai tukar rupiah turun
drastis membuat harga melambung tinggi. Daya beli masyarakat menjadi turun dan
kehidupan masyarakat terombang-ambing bagaikan hempasan ombak samudera.
Jatuhnya
rezim orde baru tak bisa dilepaskan dari peran para pemuda. Pemuda yang
mayoritas masih duduk di bangku kuliah terus menerus mendesak Soeharto untuk
turun dari jabatan RI-1. Banyak keringat dan darah bercucuran sampai nyawa
melayang. Mereka tidak mengenal takut sedikit pun. Mereka seperti harimau yang
baru keluar dari kandang. Mereka bisa dikatakan sebagai pahlawan reformasi
kita.
Dewasa
ini, pasca 17 tahun reformasi, sepertinya potret Indonesia tidak jauh berbeda
dengan apa yang ada di era orde baru. Malah banyak masyarakat kita yang rindu
akan rezim Soeharto. Ini diakibatkan oleh pemerintah di era reformis tidak
mampu untuk move on. Artinya, korupsi
semakin merajalela dengan kuantitas pelaku semakin tak mengenal lapisan. Dulu hanya
berani dilakukan oleh keluarga istana, tetapi dewasa ini semua lapisan dari
paling tinggi sampai terbawah pun bisa melakukannya.
Korupsi
yang semakin menggila itupun yang menyebabkan pembangunan di era orde baru
dinilai lebih bisa dilihat hasilnya dari pada dewasa ini. Belum lagi di era
reformasi, ini tingkat disparitas si kaya dan si miskin semakin tinggi. Indeks
Gini Indonesia pada tahun 1998 ada di angka 0,38 sedangkan sekarang ada di
angka 0,42.
Era
reformasi yang lebih bebas tidak bisa menjawab masalah Republik ini. Pemuda pejuang
reformasi berguguran satu per satu. Kebebasan yang diberikan malah menjadi
celah dalam berbuat lebih untuk dirinya, kelompok dan kroninya. Ujung-ujungnya
masyarakat kecillah yang menjadi korban. Korban dari keserakahan individu. Sifat
individu inilah yang semakin hari semakin muncul di tengah-tengah masyarakat
Republik ini. Padahal dasar negara kita, Pancasila, menurut Soekarno memiliki
kunci pada semangat gotong royong. Gotong royonglah yang perlu digelorakan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini supaya apa yang dicita-citakan bisa
tercapai. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Pada
momen 17 tahun jatuhnya orde baru inilah saatnya kita harus mengembalikan
semangat reformasi yang berjiwa Pancasila. Kita harus kembali bersatu padu
dalam satu irama yaitu mencapai Indonesia sejahtera. Gotong royong adalah
sebuah pilihan yang mutlak, bukan pilihan yang dipilih-pilih, karena ke
depannya Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih komplit nan dinamis. Semangat
gotong royong menjadi kunci menjaga marwah Republik ini. Kalau tidak, maka arus
globalisasi yang semakin menjadi-jadi akan menggusur kita, cepat atau lambat.