|
Ilustrasi Pahlawan by Google |
Oleh: Dedet Zelthauzallam
H-4
menjelang peringatan hari pahlawan 2014, Presiden Republik Indonesia, Jokowi,
memberikan gelar pahlawan kepada empat tokoh yang dinilai berjasa untuk
Republik ini. Empat tokoh tersebut yaitu Letjen Djamin Ginting, Sukarni
Kartodiwirjo, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Mayjen TKR HR Mohammad
Mangoediprojo. Ini merupakan gelar pahlawan pertama yang disematkan oleh
presiden ketujuh RI.
Dengan
ditambahkan empat tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional, tentunya menambah
daftar pahlawan Republik ini yang sudah mencapai kisaran 163 pahlawan nasional.
Jumlah ini jauh melebihi jumlah pahlawan negara-negara lain yang hanya memiliki
pahlawan rata-rata 50 pahlawan, termasuk negara Paman Sam yang menjadi negara super power dewasa ini.
Gelar
pahlawan nasional ini merupakan gelar yang tak sembarangan orang bisa
mendapatkannya. Namun disisi lain juga banyak yang berpendapat bahwa pahlawan
di Indonesia tidak memiliki indikator yang jelas, sehingga lebih bersifat
politis. Artinya, gelar pahlawan nasional akan disematkan kepada seorang tokoh
berkat adanya dukungan politik bukan dukungan kapasitas yang dimiliki tokoh
tersebut. Sebagai contoh, sang founding
father, Soekarno, baru mendapatkan gelar pahlawan nasional pada tahun 2012.
Padahal sejarah telah mencatatnya sebagai pioner lahirnya Republik ini. Dengan
contoh tersebut, timbulah pertanyaan, mengapa gelar pahlawan Soekarno lamban
dan ada apa dibalik itu. Jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang semua bisa
menjawabnya tetapi dengan kebisuan dalam ketidakberdayaan.
Dari
contoh tersebut, kita sebagai generasi dewasa ini perlu mengintropeksikan diri
kita masing-masing untuk menyatukan persepsi apa itu sebenarnya yang dimaksud
pahlawan nasional. Jangan sampai gelar pahlawan nasional diberikan hanya karena
adanya unsur like dislike, karena hal
itu akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi penerus cita-cita Republik
ini. Jangan sampai dimasa yang akan datang, Republik ini kebanjiran pahlawan,
namun keadaan stagnan.
Terlepas dari unsur like dislike maupun unsur lainnya, para tokoh yang sudah tercatat
sebagai pahlawan nasional, jumlahnya sekitar 163 orang, mungkin dulu tak pernah
bekerja dengan niatan untuk mendapatkan gelar tersebut, tetapi mereka
benar-benar bekerja untuk mendedikasikan diri demi kemajuan Republik ini, baik
itu pahlawan pra kemerdekaan, kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Kebanyakan
tokoh tersebut bukan sembarangan orang. Sebut saja Hatta. Beliau adalah seorang
tokoh yang memiliki pengaruh yang luar biasa untuk Republik ini. Banyak
pemikiran yang terlahir darinya yang dijadikan konsep berbangsa dan bernegara
yang mengatarkannya sebagai pendamping Soekarno disaat memproklamasikan
Republik ini sekaligus menjadi wakil presiden pertama. Meskipun begitu, Hatta
tidak pernah memposisikan dirinya sepertinya kebanyakan pejabat dewasa ini.
Malah Hatta hidup dengan penuh kesederhanaan.
Diperingatan
hari pahlawan di tahun 2014 ini, hendaknya harus menjadi momentum bagi semua
elemen pewaris Republik ini, mulai dari tingkat terbawah sampai atas untuk
sama-sama menyadarkan diri bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang memiliki
status jabatan, tetapi pahlawan adalah kita semua yang hidup dalam bingkai
Republik ini. Dengan catatan, kita bekerja dalam koridor memajukan bangsa dan
negara, bukan penjilat dengan berbalut lipstik belaka.
Apabila
kita semua bekerja dengan action
penuh inovasi ditambah berpegang pada ambeg
para marta, maka itulah sebenarnya pahlawan nasional yang dimaksud. Apalagi
bisa membawa perubahan dalam menata masa depan Republik ini menuju titik
teratas cita-cita bangsa yang telah dicita-citakan. Dengan begitu, maka
seharusnya kalau generasi kita mau dicatat sebagai pahlawan, maka perlu menjadi
pendobrak budaya bobrok Republik ini.
Budaya
bobrok di Republik ini tentunya bisa dilihat dari problem multidemensi yang
melanda Republik ini, mulai dari tingkat korupsi, amoral, sampai mengikisnya
nilai-nilai yang sudah tertanam berabad-abad. Korupsi yang tak kenal tempat.
Perilaku yang tak kenal tingkat pendidikan. Itu adalah dua contoh yang
menyebabkan ketidakberhasilan Republik ini mengejar cita-cita yang sudah
tertulis dalam konstitusi.
Generasi
Republik ini sepertinya termanjakan dengan kemerdekaan yang penuh dengan
kemewahan. Sejarah telah mencatat Indonesia sebagai rebutan bangsa lain, mulai
dari Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris sampai Jepang. Indonesia sebagai
rebutan bukan tanpa alasan. Alasannya adalah di atas tanah Indonesia bisa
tumbuh segala jenis tanaman dan di bawah tanahnya pun terdapat limpahan
kekayaan alam yang tak terhitung nilainya.
Kemewahan
tersebut di era kemerdekaan malah menjadi bumerang. Menurut Nasihin Masya dalam
bukunya Perjuangan Melawan Kalah menyatakan
bahwa keberlimpahan harta dan tahta bisa membuat kita menjadi jahat. Sepertinya
hal inilah yang membuat generasi dewasa ini terlalu dininak bobokan, sehingga
apa yang bisa dipenuhi sendiri malah bergantung kepada negara lain yang
notabenenya jauh lebih sulit dari pada kita. Sebut saja garam. Garam harus kita
datangkan dari negara lain. Padahal Republik ini tiga per empatnya merupakan lautan
dan Indonesialah negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Lalu
kenapa kita harus impor. Itu pertanyaan yang jawabannya sudah menjadi rahasia
umum yang kemungkinan sudah bisa dijawab oleh orang awam sekalipun.
Gagalnya
generasi dewasa ini mengelola sumber daya alam membuat Republik ini semakin
bergantung dengan negara lain. Tentunya yang memiliki tanggung jawab terbesar
adalah mereka yang memegang jabatan. Para pemegang jabatan sepertinya merasa
nyaman dan aman saja dengan kondisi yang memperihatinkan ini. Tak ada yang
risau. Mereka malah semakin menjadi-jadi dengan semakin meningkatnya fasilitas
untuk dirinya sendiri.
Melihat
perilaku para pemegang status jabatan di Republik ini tentunya teringat dengan
apa yang dikatakan oleh Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ketika pintu gerbang
terbuka ternyata orang-orang kerdil yang muncul. Ketika Indonesia merdeka,
hanya orang-orang busuk yang mengemuka. Sepertinya hal itu benar. Tetapi bisa
jadi tidak benar, karena presiden dan wakil presiden hasil pemilihan presiden
dan wakil presiden tahun 2014 membawa paradigma baru bagi kehidupan di Republik
ini. Meskipun belum terbukti tetapi paling tidak ada wacana untuk melakukan
inovasi terhadap masa depan Republik ini.
Dengan
banyaknya kebobrokan para pemimpin di Republik ini, maka akan sulit bagi
mayoritas pemimpin dewasa ini untuk bisa menyandang predikat pahlawan. Kita
seharusnya bisa sama-sama menemukan siapa yang kira-kira pantas menyandang
predikat pahlawan di era dewasa ini. Kenapa tidak kita menggunakan diri kita
sebagai indikator utama. Dengan begitu, maka kita mulai menjadikan diri kita
ibarat pahlawan. Tindak dan gerak-gerik kita harus mencerminkan pahlawan sejati
yang mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Tidak
melakukan sesuatu dengan tujuan populis, tetapi bernafas pada kemajuan bangsa
dan negara.
Dengan
menjadikan diri kita sebagai pahlawan, maka hal itu akan menjadi vitamin bagi
kita semua untuk berlomba-lomba menjadi pahlawan dalam perbaikan Republik ini.
Mulai dari kuli, pedagang kaki lima, sopir angkot, buruh, petani, nelayan, PNS,
TNI/Polri, sampai presiden akan berada dalam satu harmonisasi hidup yang
terbigkai dalam bingkai NKRI. Itu akan berjalan sesuai dengan irama, sehingga
akan menghasilkan lantunan yang bisa memikat semua elemen yang majemuk. Dengan
begitu, maka cita-cita kebangsaan yang sudah lama diimpikan akan menjadi sebuah
kenyataan.
Jadi
pahlawan masa kini bukan mereka yang memiliki status kedudukan. Bukan juga
guru. Bukan juga para TKI dan TKW. Bukan juga petani dan nelayan. Bukan juga
artis yang setiap saat ada di layar kaca. Tidak juga para pengusaha yang bisa
memproduksi laba triliunan per tahunnya. Tetapi pahlawan itu adalah kita semua.
Kita adalah pahlawan.
*selamat hari pahlawan tahun 2014,
dengan mematri dalam diri “kita adalah pahlawan”.