Monday, 20 October 2014
"PIDATO PENATIKAN JOKOWI , PRESIDEN KE-7"
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,Om Swastiastu,Namo Buddhaya
Sunday, 19 October 2014
MEMBANGUN TRADISI TRANSISI POLITIKs
SBY-Jokowi |
Oleh: Dedet Zelthauzallam
Tak ada namanya terlambat. Ungkapan itu sangat pas
menggambarkan bagaimana transisi politik di Republik kita dewasa ini. Transisi
politik dari presiden keenam ke presiden ketujuh tentunya memberikan suasana
yang baru. Dimana baru pertama kali ada tradisi transisi yang sampai saat ini
berjalan dengan baik dan saling dukung mendukung.
Presiden dan presiden terpilih melakukan komunikasi
selayaknya seorang senior ke seorang junior. Dimana presiden dan jajarannya
memberikan gambaran mengenai bagaimana kondisi yang dihadapi. Hambatan,
tantangan sampai peluang disampaikan.
Tentunya ini adalah tradisi yang amat baru di
Republik ini. Kita ketahui bersama bahwa sejak Republik ini berdiri, tak ada
transisi yag berjalan dengan baik, mulai dari Soekarno hingga Susilo Bambang
Yudhoyono.
Transisi antara presiden pertama dan kedua diwarnai
dengan proses yang cukup memberikan perhatian serius dan tanda tanya besar bagi
generasi di Republik ini. Jawabannya pun tak tahu mau dicari dimana. Para
pelaku dan dokumennya pun hilang bagaikan ditelan bumi. Soeharto berdalih,
supersemar yang diberikan oleh Soekarno merupakan bukti penyerahan kekuasaan
kepada dirinya. Tetapi menurut Soekarno, supersemar hanya surat perintah untuk
menstabilkan situasi dan kondisi saat itu. Hal itulah yang menyebabkan hubungan
diatara keduanya tak berakhir dengan cerita indah, penuh dengan luka dan dendam
hingga membekas kepada keluarga dan generasinya (lihat hubungan keluarga
Soekarno dan Soeharto saat ini).
Sepertinya hukum alam pun berlaku bagi presiden
kedua yang populer dipanggil Bapak Pembangunan Republik ini. Setelah 32 tahun
berkuasa, beliau dijatuhkan melalui proses demonstrasi besar-besaran oleh hampir
semua elemen masyarakat, khususnya mahasiswa. Mereka menentang pemerintahan
yang dipimpin oleh Soeharto yang dinilai penuh dengan tindakan yang korup dan
dijalankan dengan otoriter. B.J. Habibi sebagai wakilnya pun naik
menggantikannya. Hubungan diatara keduanya, menurut beberapa sejarahwan, tidak
harmonis.
B.J. Habibi tak lama menduduki kursi RI-1, laporan
pertanggungjawaban beliau tak diterima oleh MPR selaku lembaga tertinggi saat
itu. Dengan demikian, maka dilakukanlah pemilihan umum tahun 1999. Hasilnya,
PDIP menjadi juara. Anehnya kursi RI-1 tak diduduki oleh kader atau ketua umum
PDIP, malah jatuh pada Gus Dur yang merupakan kader PKB yang notabenenya
berasal dari partai kecil. Hanya mereka menang
akibat dibentuk poros tengah yang diisi oleh partai yang berbasis islam.
Gus Dur memimpin Republik ini tak lama. Ini
diakibatkan oleh banyak argumen-argumennya bersifat kontroversial. Dengan tidak
direstui oleh lembaga tertinggi, maka Megawati selaku wakil presiden naik
ketangga puncak. Putri Soekarno menjabat sampai sisa jabatan.
Pada tahun 2004, Republik tercinta ini melaksanakan
pemilihan langsung yang pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Disinilah dimulai cerita awal retaknya hubungan Megawati dengan Susilo Bambang
Yudhoyono. SBY yang awalnya merupakan pembantu (baca: menteri) Megawati maju
sebagai salah satu calon presiden, kemudian keluar menjadi pemenang. Setelah
itu, komunikasi antara Megawati dan SBY tak kunjung menemukan benang merah.
Dalam perjalanan pemerintahan SBY, mulai pelantikan
sampai acara-acara besar, Megawati hampir tidak pernah menghadirinya. Hal itu
terjadi sampai saat ini, yang katanya kebanyakan orang (baca: pengamat) sebagai
biang kerok dari tidak bergabungnya demokrat ke koalisi Jokowi-JK.
Apa yang dilakukan oleh Megawati tak diteruskan
oleh SBY. Dimana SBY sebagai seorang presiden yang akan mengakhiri jabatan yang
telah diemban selama satu dasawarsa melakukan langkah-langkah yang patut
diapresiasi. SBY pernah mengatakan bahwa siapa pun yang terpilih menjadi
presiden, baik Jokowi atau Prabowo, beliau akan menyambutnya dengan upacara
penyambutan ala militer.
Apa yang dikatakan oleh SBY bukan hanya omong saja.
Beliau membuktikannya dengan bagaimana beliau memang sudah mempersiapkan
penyambutan di istana negara pada tanggal 20 Oktober 2014. Beliau juga
menginstruksikan para pembantunya untuk melakukan komunikasi dengan tim transisi,
supaya pemerintahan baru paham dengan keadaan Republik ini.
Transisi Hampir
Ternodai
Menjelang pelantikan Jokowi, ada beberapa
dinamika yang terjadi. Dinamika tersebut bisa tergolong cukup memberikan respon
yang negatif dari publik. Itu disebabkan oleh adanya adu jatos antara koalisi
yang dibangun Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat, dengan koalisinya Prabowo,
Koalisi Merah Putih pada sidang paripurna pembahasan RUU Pilkada sampai memilih
pimpinan DPR/MPR.
Isu mengenai akan adanya penjenggalan terhadap
pemerintahan juga sempat muncul akibat tingginya tensi politik. Namun apa yang
terjadi tersebut akhirnya terjawab dengan bertemunya Jokowi dengan para
petinggi partai Koalisi Indonesia Hebat.
Dengan demikian, maka publik merasa lebih adem-ayam dengan hal tersebut.
Jokowi selaku presiden terpilih tidak
sungkan-sungkan bertemu dengan elit partai Koalisi Merah Putih. Ini adalah
pendidikan politik yang baik bagi publik. Publik akan merasakan efek yang
awalnya galau menjadi sangat yakin bahwa semua elemen akan bergabung dalam
pemerintahan mendatang. Bergabung bukan berarti pemerintah baru bebas kritik,
tetapi akan sejalan apabila kebijakan yang diambil untuk rakyat banyak. Jangan
sampai mereka hanya bertameng atas nama rakyat, tetapi semuanya untuk mereka.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi merupakan hal yang
luar biasa. Beliau tahu bahwa Republik ini dibangun di atas Gotong royong. Jadi
semua pihak harus dirangku demi mencapai cita-cita bangsa.
Friday, 17 October 2014
REPUBLIK SIKUT MENYIKUT, MENUJU INDONESIA SATU
Ilustrasi by Mbah G |
Oleh: Dedet Zelthauzallam (Rojet, Pujut)
Akhir-akhir
ini, publik Indonesia dipertontonkan dengan adegan yang amat luar biasa. Adegan
yang dimaksud adalah adegan yang dipermainkan oleh para elit yang terhormat
kedudukannya. Sepertinya adegan yang dimainkan oleh para elit yang terhormat
ini bisa jadi menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari Republik yang kaya nan
subur ini. Adegan seperti inilah yang membuat Republik ini ketinggalan kereta
oleh negara tetangga yang bisa dikatakan tidak memiliki founding yang jelas. Namun mereka bisa menemukan momentum dalam
menjalankan roda kehidupan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh publik (baca:
rakyat).
Adegan
yang dimaksud di atas adalah bagaimana sikap para anggota dewan yang terhormat
dalam menjalankan sidang, baik disidang terakhir dan sidang perdana. Pada
sidang terakhir tentunya publik tak akan lupa dengan bagaimana para anggota
dewan yang bertameng atas nama rakyat melakukan hal-hal yang amat memalukan,
jauh dari standar etika moral kehidupan yang tertanam di Republik ini. Kemudian
tak berselang beberapa lama, mereka yang baru dilantik kembali melakukan hal
yang serupa. Ini pun disebabkan oleh masalah sepele, yaitu memilih siapa yang jadi
pemimpin mereka. Adu jatos antar kubu pun tak bisa dihindarkan, semuanya
berakhir dengan aksi walk-out.
Ini
baru yang dilakukan oleh elit yang terhormat, belum lagi yang dilakukan oleh
mereka yang ada di lapisan bawah. Mereka juga sering kali harus saling sikut
menyikut dalam roda kehidupan. Mulai dari tingkat paling bawah sampai tingkat
paling atas. Sebut saja mulai dari kompetisi antar tetangga sampai antar
provinsi maupun kementerian/lembaga. Belum lagi kompetisi yang dilakukan antar
satu profesi sangat mengerikan. Sebut saja sopir angkot. Berdasarkan pengalaman
pribadi di Jakarta, sikut menyikut antar sopir tak terhindarkan. Komptensinya
mengerikan dan amat membahayakan.
Banyak
dari mereka takut lahannya (baca: kewenangannya) diambil. Padahal perubahan
kebijakan yang diambil itu untuk perbaikan dan peningkatan kepentingan
umum.
Apa
yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan contoh lainnya itu sepertinya sudah bisa menjadi sampel yang mencerminkan
apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, homo
homuni lupus, manusia seperti serigala bagi yang lainnya. Mereka haus
kekuasaan, ibarat mata air di Gurun Pasir Lut di Iran. Ini memang bisa
dikatakan sebagai sifat alamiah yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk
individu yang terus menerus ingin menggapai kepuasaan diri sampai titik didih
terakhir, yaitu aktualisasi diri (Maslow).
Dengan
cerminan seperti itu, dunia ini (baca: Indonesia) menurut Nietzsche dalam
karyanya yang berjudul “der wille zur
macht” atau nafsu berkuasa. Dalam karyanya tersebut, dunia ia gambarkan
tidak lain adalah dunia dari segala macam kemauan untuk berkuasa. Hal ini
senada dengan apa yang disampaikan oleh Schopenhauer yang menyimpulkan bahwa
dunia ini bukanlah merupakan gejala metafisik.
Apa
yang disampaikan tersebut jelas gejalanya sedang mewabah di Republik ini. Bisa
dilihat dari semua lapisan, mulai dari konglomerat sampai kuli pun ingin menduduki
jabatan. Jabatan yang memberikan kekuasaan yang lebih dari orang lain. Mereka
ingin terlihat lebih superior, sehingga bisa untuk menggapai apa yang
diinginkan.
Anehnya,
mayoritas mereka yang mengejar tahta kekuasaan banyak yang melupakan proses. Proses
sering kali selalu disepelekan demi mencapai tujuan. Ada yang mengambil jalan
tikus yang tentunya memiliki berbagai variasi. Variasinya mulai dari menghalalkan
segala cara, mengkarbitkan diri dengan berbagai perhiasan yang mampu
meningkatkan akseptabilitas, menghambur-hamburkan kepeng (baca: uang) dan masih
banyak variasi lainnya yang tak terdeteksi oleh akal sehat.
Apabila
hal-hal tersebut terus menerus dipertahankan tentunya akan menjadi bumerang
bagi keberlangsungan masa depan Republik ini. Meskipun dalam berbagai riset dan
penelitian menyatakan tanah kita adalah tanah surga, tetapi kalau terus menerus
saling sikut-menyikut dalam hidup kehidupan akan malah menjadi bom waktu yang
bisa saja meledak kapan saja. Organisasi yang memiliki tingkat pluralisme yang tak terbendung
kuantitasnya akan menjadi kapal oleng yang hanya akan menunggu waktu saja.
Melihat
sejarah dan kondisi empirik dewasa ini, banyak negara yang sukses bukan
mengandalkan sumber daya alamnya, tetapi lebih mengandalkan manajemen
organisasi yang mampu menerapkan prinsip manajemen, yaitu the raight man on the raight please. Sebut saja kerajaan Romawi.
Menurut Romein, yang menjadi kunci kesuksesannya terletak pada kemampuan
berorganisasi dari masyarakat Romawi. Masyarakat Romawi bukan masyarakat yang
pemberani seperti masyarakat Mesir, tetapi mereka lebih mengandalkan tingkat
kedisiplinannya. Itulah yang membawa mereka menjadi kekuatan militer terbesar
di masanya.
Romawi
memperlihatkan kesuksesan masa lampau, di era dewasa ini pun bisa kita lihat banyak
negara yang sukses tanpa sumber daya alam yang tinggi. Tidak perlu jauh-jauh,
lihat saja tetangga kita, Singapura. Singapura yang seper sekian dari Republik
ini bisa menjadi salah satu sentral bisnis dan menjadi negara jasa yang super
sibuk disebabkan karena mereka memahami keterbatasan dan kekurangannya,
sehingga mereka akan terus menerus berusaha untuk survive ditengah bayang-bayang negara yang katanya kaya dengan
sumber daya alamnya. Hasilnya pun bisa dilihat bagaimana perbedaan Singapura
dengan Republik kita, meminjam pribahasa, bagaikan bumi dan langit.
Indonesia Satu
Dalam
mempertahankan Republik ini untuk tetap eksis, maka perlu mematri semangat para
founding father Republik ini di dalam
sanubari seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ini dilakukan untuk mengingatkan
kita semua bahwa Republik ini ada bukan untuk sebagian orang, tetapi, katanya
Soekarno, semua untuk semua.
Tentunya
dalam membangkitkan rakyat yang mayoritas sedang terjangkit gejala amnesia
butuh sosok figur pemimpin yang transformasional, supaya mereka bisa menjadikan
pemimpinnya sebagai subjek yang bisa dicerminkan bukan sebagai objek
hinaan. Pemimpin juga harus menerapkan
model kepemimpinan dari Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung talada, ing madya mangun
karsa dan tut wuri hadayani.
Harapan
baru tentang sosok pemimpin puncak di Republik ini pun akan segera muncul untuk
melanjutkan suksesi kepemimpinan presiden sebelumnya, mulai dari Soekarno-Susilo
Bambang Yudhoyono. Jokowi-lah menjadi pemimpin yang terpilih untuk menjadi garda
terdepan dalam mengarungi ombak kehidupan yang semakin dinamis nan tak terkontrol
selama lima tahun kedepan.
Pemimpin
baru hendaknya bisa mengembalikan “tri sakti” yang sudah lama diabaikan dalam action. Mengembalikan semangat tri sakti
akan menjadi langkah baru dalam menyatukan Republik ini yang kemudian
mengarahkan kesatu rel menuju cita-cita bangsa dan negara. Dengan begitu, maka apa
yang dipertontonkan oleh elit yang terhormat bisa untuk segera ditanggalkan,
karena perilaku yang seperti itu sudah kusam dan basi, hanya memperlambat
gerakan menuju cita-cita.
Tri
sakti akan menjadi langkah awal dalam menyatukan seluruh elemen di Republik
ini, karena dengan seperti itu, distribusi ke bawah akan menjadi amat terarah
dan disparitas akan bisa didekatkan, tidak seperti dewasa ini rentangnya amat
jauh. Dengan demikian, maka mereka tak akan berfokus pada pencarian kekuasaan.
Mereka akan lebih fokus pada pengembangan kapasitas yang dimiliki oleh
masing-masing pribadi. Mereka tak akan lagi sibuk mencari kekuasaan yang tak
tahu menahu ujungnya. Mereka akan saling bahu membahu, bukan menjatuhkan,
menuju harapan para founding father.
Tentunya
dalam mensuksesi tri sakti, pemimpin baru perlu memenej organisasi yang ada,
mulai dari kementerian sampai tingkat paling bawah (desa/kelurahan). Organisasi
tersebut harus mampu menerjemahkan tujuan organisasi dalam tindakan dan
perbuatan, bukan hanya slogan. Tanpa perbaikan organisasi akan sulit untuk bisa
menggapai cita-cita bangsa.
Dalam
memenej, pemimpin baru harus berani berpikir out the box, bukan tunduk dan sujud pada prosedur yang sudah
jelas-jelas membelenggu masa depan bangsa. Masa depan apa pun namanya tak boleh
digadaikan pada prosedur yang penuh liku. Tetapi sekali lagi harus berani
keluar demi perbaikan dengan pencapaian cita-cita Republik ini. Dengan catatan
tidak melanggar nyawa dari sumber segala sumber hukum di Republik ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)