hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Wednesday, 19 November 2014

LEIDEN IS LIJDEN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pepatah Belanda mengatakan bahwa “leiden is lijden”, yang artinya adalah memimpin adalah menderita. Sepertinya pepatah ini ingin menggambarkan bahwa menjadi pemimpin itu tidaklah enak, tidaklah membahagiakan, tetapi pemimpin itu lebih dekat dengan penderitaan. Hal ini sepertinya senada dengan apa yang ada di Republik dewasa ini. Dimana pemimpin selalu menjadi objek dari sebuah kegagalan negara dan pemerintah.
Pemimpin selalu menjadi sasaran empuk bagi publik dalam melampiaskan penderitaan. Padahal apabila dicermati, pemimpin tidaklah berdiri sendiri, tetapi memiliki team work dan rakyat. Rakyat sebagai bagian dari pemimpin juga bisa menjadi penentu sukses atau tidaknya pemimpin. Namun sepertinya publik sudah terlalu terdoktrin dengan anggapan bahwa pemimpin sebagai organ tunggal atau king maker dalam mewujudkan kesejahteraan, karena paradigma yang terpatri dalam masyarakat adalah pemimpin adalah sopir, sehingga rakyat selaku penumpang akan tergantung dari sopir yang membawa.
Dengan paradigma seperti itulah, maka kegagalan Republik ini mengangkat derajad kehidupan rakyat membuat kita selalu menyalahkan pemimpin-pemimpin kita. Kita menyalahkan karena mereka tidak becus membawa perekonomian menjadi lebih baik secara kualitatif. Artinya kita murka dengan pertumbuhan ekonomi yang ada dikisaran 5-6%, tetapi malah tingkat disparitas semakin tinggi. Dimana pada tahun 2012 indeks gini ada dikisaran 0,41, lebih tinggi dibandingkan pada zaman Soeharto (0,32).
Belum lagi tingkat pendidikan rakyat masih cukup memprihatinkan. Dimana rata-rata rakyat kita masih berpendidikan 8,1 tahun atau setara dengan kelas dua SMP. Padahal anggaran APBN dan APBD untuk sektor pendidikan minimal 20% per tahun anggaran. Itu baru pendidikan, belum lagi kesehatan. Dimana angka harapan hidup kita ada dikisaran 73 tahun, lebih sedikit dibandingkan dengan negara tetangga.
Sebetulnya dengan gambaran di atas, kita semua sebagai generasi penerus dan harapan harus merasa malu, karena kita ketahui bersama bahwa tanah air kita yang tercinta ini jauh lebih menjanjikan daripada negara lainnya di dunia. Bisa dibayangkan bahwa Republik yang terdiri dari puluhan ribu pulau yang menyebar dari Sabang-Merauke dengan tingkat pluralisme yang tinggi serta kekayaan bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan, tertinggal oleh negara yang memiliki seper sekian dari potensi kita. Seharusnya kita segera menanamkan budaya malu demi kebaikan dan kemajuan bangsa.
Budaya malu ini sebagai vitamin intropeksi diri (bangsa). Dengan begitu, maka saling salah menyalahkan tidak akan ada. Jangan seperti dewasa ini, ketika pemimpin mengambil suatu kebijakan, kita langsung menolaknya. Padahal pemimpin memiliki niatan yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya.
Seharusnya budaya saling salah menyalahkan harus segera dibumi hanguskan, sehingga siapa pun pemimpin di Republik ini akan merasa aman dan nyaman dalam melakukan inovasi. Inovasi yang dimaksud bukanlah inovasi yang melanggar aturan, tetapi inovasi yang berpanglima pada konstitusi kita. Maju terus Republik-ku tercinta dengan semangat gotong royong!!!!


Wednesday, 12 November 2014

EKSISTENSI NKRI (BUKAN) HARGA MATI

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Berita cukup mengejutkan, bagi saya, datang dari bagian ujung utara Republik ini, Pulau Borneo, tepatnya dari Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimatan Timur. Ada 10 desa di satu kecamatan, Kecamatan Long Apari, yang ingin memisahkan diri dari ibu pertiwi untuk bergabung menjadi warga Serawak, Malaysia. Alasannya pun sangat tak mengenakkan untuk didengar, yaitu kesejahteraan, lebih khusus kelaparan.
Belum lagi isu yang sempat muncul dari pulau yang sama, Kalimantan, untuk ingin melakukan refrendum. Refrendum ini pun disebabkan oleh tidak terakomodirnya putra daerahnya untuk menduduki jabatan pembantu presiden. Ditambah dengan alasan pemerintah sering alfa terhadap pulau yang dijuluki sebagai paru-paru dunia ini, sehingga mereka menuntut ada hal lebih dari pusat.
Apa yang terjadi di Pulau Borneo sepertinya menjadi sebuah teguran bagi pemerintah untuk lebih bisa melaksanakan perannya dengan baik dan benar. Jangan sampai hal itu tak direspon yang kemudian mengakibatkan rentetan-rentetan permasalahan lainnya, sehingga akan merusak bingkai NKRI yang sudah diharga matikan oleh para pahlawan pejuang Republik ini.
Sepertinya pemerintah tak mau kejadian Timur-Timur maupun Pulau Sipadan dan Ligitan terulang kembali sehingga pemerintah langsung merespon cepat dengan melakukan pengiriman makanan langsung ke lokasi. Melalui BPKP2DT bekerjasama dengan TNI, pemerintah mendistribusikan makanan dengan jumlah yang cukup untuk menahan jeritan masyarakat.
Langkah sigap pemerintah patut diberikan apresiasi yang tinggi. Namun sepertinya kesigapan itu hanya bersifat semu. Dikatakan demikian karena pemerintah pusat lebih sibuk dengan hal-hal yang sebetulnya, menurut saya, tak terlalu perlu. Sepertinya pemerintah lebih masih sibuk dengan wacana pengosongan kolom agama. Padahal hal itu tak terlalu penting, jauh lebih penting bagaimana menjadikan daerah perbatasan bisa menjadi gerbang utama dan paling pertama bagi memperkenalkan Republik ini ke manca negara.
Belum lagi anggota legislatif kita, DPR, yang masih terlalu sibuk dengan urusan internnya yang malah menghambat kinerja DPR itu sendiri. Kesibukan DPR sepertinya tak akan menghasilkan hasil yang cukup memuaskan ketika mereka masih terperangkap dengan perebutan kekuasaan. Padahal pemerintah selaku mitra kerjanya perlu membicarakan masalah yang urgen, seperti masalah yang terjadi di Kalimantan.
DPR pun terperangkang dengan tiga kartu sehat yang digulirkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Mereka lebih vokal atau hobi mengkritik hal ini daripada mereka memperbaiki diri terlebih dahulu. Seharusnya dengan adanya kejadian ini, kasus Kalimantan, anggota dewan yang terhormat bersama pemerintah sama-sama berbicara mencarikan solusi. Jangan hanya bisa saling salah menyalahkan. Mereka sama-sama terjun memberikan solusi kepada masyarakat. Salah satunya adalah dengan adanya tiga kartu sakti ini.
Tiga kartu sakti ini dengan segala kekurangannya tentunya akan menjadi obat dari jeritan mereka. Mereka membutuhkan kehadiran para pemimpin (pemerintah) yang benar-benar mengilhami rakyat dengan segala daya dan upaya, bukan hanya bisa berbicara lantang saling salah menyalahkan, tetapi ada action.
Rakyat menunggu kehadiran pemerintah. Pemerintah melalui fungsinya, salah satunya pelayanan, harus segera hadir tanpa alfa kepada mereka yang ada di perbatasan, bukan hanya di Kalimantan Timur, tetapi diseluruh daerah perbatasan maupun daerah-daerah yang masih dianak tirikan.
Pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Jokowi harus bisa lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dengan semangat revolusi mental, Jokowi-JK harus mengaplikasikan salah satu pepatah dari negeri Tirai Bambu yang menyatakan bahwa “rakyat adalah yang terpenting. Setelah itu negara dan terakhir adalah penguasa”. Sepertinya hal itu sejalan dengan roh Pancasila maupun tri sakti yang menjadi jargon Bung Karno yang kemudian sering diucapkan oleh Jokowi pada masa kampanye.
“NKRI Harga Mati” harus tetap menjadi jargon seluruh rakyat Indonesia, khususnya pemerintah. Pemerintah harus bisa hadir dimana-mana supaya NKRI selalu utuh. Bukan hanya utuh tetapi bisa satu menyatu membentuk sebuah kekuatan dalam menghadapi era globalisasi yang semakin tanpa batas.


Sunday, 9 November 2014

PAHLAWAN MASA KINI?

Ilustrasi Pahlawan by Google
Oleh: Dedet Zelthauzallam
H-4 menjelang peringatan hari pahlawan 2014, Presiden Republik Indonesia, Jokowi, memberikan gelar pahlawan kepada empat tokoh yang dinilai berjasa untuk Republik ini. Empat tokoh tersebut yaitu Letjen Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Mayjen TKR HR Mohammad Mangoediprojo. Ini merupakan gelar pahlawan pertama yang disematkan oleh presiden ketujuh RI.
Dengan ditambahkan empat tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional, tentunya menambah daftar pahlawan Republik ini yang sudah mencapai kisaran 163 pahlawan nasional. Jumlah ini jauh melebihi jumlah pahlawan negara-negara lain yang hanya memiliki pahlawan rata-rata 50 pahlawan, termasuk negara Paman Sam yang menjadi negara super power dewasa ini.
Gelar pahlawan nasional ini merupakan gelar yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Namun disisi lain juga banyak yang berpendapat bahwa pahlawan di Indonesia tidak memiliki indikator yang jelas, sehingga lebih bersifat politis. Artinya, gelar pahlawan nasional akan disematkan kepada seorang tokoh berkat adanya dukungan politik bukan dukungan kapasitas yang dimiliki tokoh tersebut. Sebagai contoh, sang founding father, Soekarno, baru mendapatkan gelar pahlawan nasional pada tahun 2012. Padahal sejarah telah mencatatnya sebagai pioner lahirnya Republik ini. Dengan contoh tersebut, timbulah pertanyaan, mengapa gelar pahlawan Soekarno lamban dan ada apa dibalik itu. Jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang semua bisa menjawabnya tetapi dengan kebisuan dalam ketidakberdayaan.
Dari contoh tersebut, kita sebagai generasi dewasa ini perlu mengintropeksikan diri kita masing-masing untuk menyatukan persepsi apa itu sebenarnya yang dimaksud pahlawan nasional. Jangan sampai gelar pahlawan nasional diberikan hanya karena adanya unsur like dislike, karena hal itu akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi penerus cita-cita Republik ini. Jangan sampai dimasa yang akan datang, Republik ini kebanjiran pahlawan, namun keadaan stagnan.
 Terlepas dari unsur like dislike maupun unsur lainnya, para tokoh yang sudah tercatat sebagai pahlawan nasional, jumlahnya sekitar 163 orang, mungkin dulu tak pernah bekerja dengan niatan untuk mendapatkan gelar tersebut, tetapi mereka benar-benar bekerja untuk mendedikasikan diri demi kemajuan Republik ini, baik itu pahlawan pra kemerdekaan, kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Kebanyakan tokoh tersebut bukan sembarangan orang. Sebut saja Hatta. Beliau adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh yang luar biasa untuk Republik ini. Banyak pemikiran yang terlahir darinya yang dijadikan konsep berbangsa dan bernegara yang mengatarkannya sebagai pendamping Soekarno disaat memproklamasikan Republik ini sekaligus menjadi wakil presiden pertama. Meskipun begitu, Hatta tidak pernah memposisikan dirinya sepertinya kebanyakan pejabat dewasa ini. Malah Hatta hidup dengan penuh kesederhanaan.
Diperingatan hari pahlawan di tahun 2014 ini, hendaknya harus menjadi momentum bagi semua elemen pewaris Republik ini, mulai dari tingkat terbawah sampai atas untuk sama-sama menyadarkan diri bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang memiliki status jabatan, tetapi pahlawan adalah kita semua yang hidup dalam bingkai Republik ini. Dengan catatan, kita bekerja dalam koridor memajukan bangsa dan negara, bukan penjilat dengan berbalut lipstik belaka.
Apabila kita semua bekerja dengan action penuh inovasi ditambah berpegang pada ambeg para marta, maka itulah sebenarnya pahlawan nasional yang dimaksud. Apalagi bisa membawa perubahan dalam menata masa depan Republik ini menuju titik teratas cita-cita bangsa yang telah dicita-citakan. Dengan begitu, maka seharusnya kalau generasi kita mau dicatat sebagai pahlawan, maka perlu menjadi pendobrak budaya bobrok Republik ini.
Budaya bobrok di Republik ini tentunya bisa dilihat dari problem multidemensi yang melanda Republik ini, mulai dari tingkat korupsi, amoral, sampai mengikisnya nilai-nilai yang sudah tertanam berabad-abad. Korupsi yang tak kenal tempat. Perilaku yang tak kenal tingkat pendidikan. Itu adalah dua contoh yang menyebabkan ketidakberhasilan Republik ini mengejar cita-cita yang sudah tertulis dalam konstitusi.
Generasi Republik ini sepertinya termanjakan dengan kemerdekaan yang penuh dengan kemewahan. Sejarah telah mencatat Indonesia sebagai rebutan bangsa lain, mulai dari Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris sampai Jepang. Indonesia sebagai rebutan bukan tanpa alasan. Alasannya adalah di atas tanah Indonesia bisa tumbuh segala jenis tanaman dan di bawah tanahnya pun terdapat limpahan kekayaan alam yang tak terhitung nilainya.
Kemewahan tersebut di era kemerdekaan malah menjadi bumerang. Menurut Nasihin Masya dalam bukunya Perjuangan Melawan Kalah  menyatakan bahwa keberlimpahan harta dan tahta bisa membuat kita menjadi jahat. Sepertinya hal inilah yang membuat generasi dewasa ini terlalu dininak bobokan, sehingga apa yang bisa dipenuhi sendiri malah bergantung kepada negara lain yang notabenenya jauh lebih sulit dari pada kita. Sebut saja garam. Garam harus kita datangkan dari negara lain. Padahal Republik ini tiga per empatnya merupakan lautan dan Indonesialah negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Lalu kenapa kita harus impor. Itu pertanyaan yang jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang kemungkinan sudah bisa dijawab oleh orang awam sekalipun.
Gagalnya generasi dewasa ini mengelola sumber daya alam membuat Republik ini semakin bergantung dengan negara lain. Tentunya yang memiliki tanggung jawab terbesar adalah mereka yang memegang jabatan. Para pemegang jabatan sepertinya merasa nyaman dan aman saja dengan kondisi yang memperihatinkan ini. Tak ada yang risau. Mereka malah semakin menjadi-jadi dengan semakin meningkatnya fasilitas untuk dirinya sendiri.
Melihat perilaku para pemegang status jabatan di Republik ini tentunya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ketika pintu gerbang terbuka ternyata orang-orang kerdil yang muncul. Ketika Indonesia merdeka, hanya orang-orang busuk yang mengemuka. Sepertinya hal itu benar. Tetapi bisa jadi tidak benar, karena presiden dan wakil presiden hasil pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 membawa paradigma baru bagi kehidupan di Republik ini. Meskipun belum terbukti tetapi paling tidak ada wacana untuk melakukan inovasi terhadap masa depan Republik ini.
Dengan banyaknya kebobrokan para pemimpin di Republik ini, maka akan sulit bagi mayoritas pemimpin dewasa ini untuk bisa menyandang predikat pahlawan. Kita seharusnya bisa sama-sama menemukan siapa yang kira-kira pantas menyandang predikat pahlawan di era dewasa ini. Kenapa tidak kita menggunakan diri kita sebagai indikator utama. Dengan begitu, maka kita mulai menjadikan diri kita ibarat pahlawan. Tindak dan gerak-gerik kita harus mencerminkan pahlawan sejati yang mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Tidak melakukan sesuatu dengan tujuan populis, tetapi bernafas pada kemajuan bangsa dan negara.
Dengan menjadikan diri kita sebagai pahlawan, maka hal itu akan menjadi vitamin bagi kita semua untuk berlomba-lomba menjadi pahlawan dalam perbaikan Republik ini. Mulai dari kuli, pedagang kaki lima, sopir angkot, buruh, petani, nelayan, PNS, TNI/Polri, sampai presiden akan berada dalam satu harmonisasi hidup yang terbigkai dalam bingkai NKRI. Itu akan berjalan sesuai dengan irama, sehingga akan menghasilkan lantunan yang bisa memikat semua elemen yang majemuk. Dengan begitu, maka cita-cita kebangsaan yang sudah lama diimpikan akan menjadi sebuah kenyataan.
Jadi pahlawan masa kini bukan mereka yang memiliki status kedudukan. Bukan juga guru. Bukan juga para TKI dan TKW. Bukan juga petani dan nelayan. Bukan juga artis yang setiap saat ada di layar kaca. Tidak juga para pengusaha yang bisa memproduksi laba triliunan per tahunnya. Tetapi pahlawan itu adalah kita semua. Kita adalah pahlawan.

*selamat hari pahlawan tahun 2014, dengan mematri dalam diri “kita adalah pahlawan”.