Oleh:
Dedet Zelthauzallam
Dewasa
ini, Republik Indonesia sepertinya sedang dilanda oleh penyakit akut yang
terminal. Dimana penyakit tersebut datang bertubi-tubi, mulai dari pangkal
sampai ujung semuanya hampir terinfeksi. Penyakit yang dimaksud adalah
kasus-kasus yang membelenggu cita-cita bangsa dan negara ini, seperti korupsi
yang semakin merajalela, krisis etika moral, konflik SARA dan lainnya.
Korupsi
yang semakin merajalela ini bisa dilihat dari jumlah pejabat di Republik ini,
baik pusat maupun daerah yang terus menerus tersandung kasus korupsi. Korupsi
yang dilakukan pun dilakukan dengan berbagai macam modus. Mulai dari
penyalahgunaan kewenangan, penyelewengan dana bansos, permainan proyek sampai
perijinan. Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, pejabat pusat sudah ada dua
yang masuk jaring KPK, yaitu Hadi Poernomo (mantan Ketua BPK RI) dan Suryadarma
Ali (Menteri Agama), sedangkan untuk pejabat daerah, lebih tepatnya kepala
daerah, sudah ada empat yang tersandera oleh KPK, yaitu Rachmat Yasin (Bupati
Bogor), Romi Herton (Walikota Palembang), Ilham Arief Sirajuddin (Walikota
Makasar), Numfor Yesaya Sombuk (Bupati Biak). Ini baru tersangka korupsi yang
ditetapkan oleh KPK, belum lagi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Untuk
kasus etika moral ini pun semakin menyedihkan dan suram di Republik ini,
khususnya di tahun 2014 ini. Banyak kasus yang sangat mendegradasi etika moral
anak bangsa Republik ini, khususnya dalam masalah kekerasan seksual pada anak.
Bisa dibayangkan kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak (sodomi)
sangatlah parah pada tahun ini. Dimulai dari terbongkarnya kasus yang terjadi
di sekolah internasional, JIS, kemudian merembet kekasus-kasus yang ada di
daerah lain, seperti kasus Emon di Sukabumi. Emon melakukan tindakan yang
sangatlah over yang menyebabkan lebih dari seratus anak terindikasi menjadi
korbannya. Belum lagi masalah etika moral lainnya, mulai dari tidak adanya
kesadaran anak bangsa untuk melaksanakan budaya warisan nenek moyang kita yang
memiliki nilai-nilai yang sangat luar biasa. Belum lagi pemimpin di Republik
ini yang tidak memberikan tauladan kepada yang dipimpinnya, malah mereka
mempertontonkan tindakan dan prilaku yang tidak sesui dengan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat.
Dan
untuk masalah SARA di Republik ini cenderung masih belum terkontrol. Ada
beberapa pihak yang masih menggunakan isu SARA sebagai senjata dalam memuluskan
kepentingan, sehingga inilah yang memicu instabilitas di Republik yang sangat
majemuk ini. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Yogyakarta beberapa hari yang
lalu. Ini merupakan sebuah tindakan yang sangat membahayakan semangat persatuan
dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan
akutnya penyakit tersebut, maka dibutuhkanlah obat yang super untuk bisa
menyebuhkan masalah yang melanda Republik ini. Obat bagi Republik ini menurut
saya harus dicari di alam tanah air kita, bukan di negeri orang. Ibarat pohon,
sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan
akar kesejarahannya, ekosistem sosial budaya, sistem pemaknaan dan pandangan
dunia sendiri dari hasil warisan nenek moyang yang hidup berjuta tahun
sebelumnya.
Tentunya
obat yang dimaksud adalah Pancasila, karena Pancasila-lah yang menjadi dasar
negara kita. Yang namanya dasar berarti merupakan pedoman dari segala bentuk
kehidupan di Republik ini. Itu artinya semua masalah akan bermuara pada dasar
negara kita, yaitu Pancasila, sehingga usaha penyembuhan yang dilakukan perlu
dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa yang berlandasakan
dasar falsafah dan pandangan bangsa Indonesia sendiri yang terpatri dalam
kelima sila Pancasila. Pancasila juga merupakan hasil rumusan dari para pendiri
bangsa yang telah mempertimbangkan aspek-aspek yang urgen melalui usaha penggalian, penyerapan, kontekstualitas,
rasionalitas dan aktualisasi.
Pancasila sebagai Obat
Pancasila menurut sang penggagas, yaitu Ir.
Soekarno, merupakan gagasan yang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia. Beliau
mengatakan bahwa kita dalam mengadakan Negara Indonesia merdeka itu harus dapat
meletakkan negara itu di atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan
segenap elemen di dalam bangsa itu, namun juga harus mempunyai tuntutan dinamis
ke arah mana kita akan gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini (Yudi Latif,
2012).
Dari
pernyataan Soekarno tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa Pancasila tidak disiapkan
dalam kurun waktu tertentu, tetapi disiapkan untuk jangka waktu yang tak
terbatas (bersifat abadi), dengan kata lain sampai Republik Indonesia hancur
lebur baru Pancasila tidak menjadi landasan dasar. Itulah sebabnya, kita
sebagai penerus bangsa sangatlah salah besar ketika perubahan rezim kekuasaan
juga ikut mempengaruhi ketaatan kita terhadap Pancasila. Para pemegang tampuk
kekuasaan seharusnya taat kepada Pancasila tanpa ada kata kompromi, bukan malah
sebaliknya.
Sifat
dinamis dari Pancasila hendaknya selalu diadaptasikan oleh setiap rezim maupun
seluruh rakyat Indonesia untuk menghadapi
berbagai bentuk perubahan nilai-nilai, baik dalam skala nasional,
regional dan global, bukan malah kita meninggalkan Pancasila sepenuhnya. Pancasila
akan menjadi pembawa angin segar bagi kehidupan di era globalisasi ini, karena
akan menjadi tameng kita dalam mem-filter
nilai-nilai yang berasal dari luar.
Seharusnya
kita semua patut bersyukur memiliki Bapak bangsa yang luar biasa jeniusnya, karena
diwariskan sebuah dasar negara, Pancasila, yang mampu mengakomodir perbedaan
yang bisa dipersatukan di Republik ini, dimana nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya tidak memiliki batas kadawarsa. Tidak seperti mayoritas negara-negara
di dunia yang tidak memiliki dasar yang kokoh, sehingga menyebabkan mereka
terbelengu dengan masalah-masalah dasar yang cenderung menjadi katalis konflik
yang berujung pada pertumpahan darah antar sesama warga negara maupun kelompok
masyarakat. Sebagai contoh, negara-negara Timur Tengah yang saat ini terus
menerus berkonflik tanpa ujung.
Banyak
pihak menilai Pancasila yang disahkan sehari pasca kemerdekaan, tanggal 18
Agustus 1945, merupakan bentuk yang paling sempurna. Dimana tujuh kata yang ada
dalam sila pertama (Piagam Jakarta) akhirnya dihapus (dihilangkan). Sebelumnya
tujuh kata tersebut menjadi perdebatan yang alot, antara golongan kebangsaan
dan Islam. Bisa dibayangkan bagaimana tambah terpuruknya Republik tercinta kita
ini apabila tidak memiliki dasar yang kuat nan sempurna. Dalam keadaan memiliki
dasar negara yang luar biasa saja, Republik ini sudah terombang-ambing dengan
permasalahan multidimensi yang terus menerus melanda.
Sekarang
tugas kita tinggal bagaimana nilai-nilai yang ada di dalam kelima sila diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari dan harus tetap mematri dalam jiwa raga anak bangsa
Republik ini. Nilai-nilai yang terkandung tersebut harus senantiasa diamalkan
selama nafas masih berhembus. Hembusan nafas tidak boleh menjauhi kelima sila,
mulai dari ke-Tuhanan sampai keadilan sosial, karena tidak ada bangsa yang
dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika
tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna
menompang peradaban besar (John Gardner, 1992).
Jadi kita harus percaya kepada warisan Bapak bangsa kita, yaitu
Pancasila, supaya Republik Indonesia ini mampu menjadi negara yang sejajar
dengan negara-negara lainnya, seperti Amerika, Republik Tiongkok, Jepang,
Inggris dan lainnya.
Pemimpin sebagai Dokter
Telah
saya katakan sebelumnya bahwa seluruh anak bangsa harus selalu bernafas dengan
nilai-nilai Pancasila dalam setiap prilaku dan tindakannya. Itu berarti yang
harus diberikan obat Pancasila adalah seluruh rakyat Indonesia yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. Tentunya dalam pemberian obat Pancasila tidak bisa
serta merta langsung kepada seluruh rakyat Indonesia, tetapi harus diberikan
secara berkala dan berkelanjutan. Cara pemberian obat ini pun tidak mudah,
tidak seperti yang dilakukan oleh para dokter yang hanya menuliskan resep
kemudian pasien langsung bisa membelinya ke apotek. Tetapi untuk obat Pancasila dilakukan melalui
suatu proses, yaitu pendidikan dan ketauladanan dari pemimpin (Presiden sampai
tingkat terbawah, anggota legislatif maupun ekskutif) di Republik ini.
Pemimpin
disini memiliki peran yang sangat strategis dalam mengeluarkan bangsa ini dari
jeratan masalah yang multidemensi nan akut. Dimana pemimpin di Republik ini harus menjadi pioner dalam
mengamalkan nilai-nilai Pancasila, mulai dari ke-Tuhanan, kemanusiaan,
persatuan, permusyawaratan perwakilan sampai keadilan sosial. Kelima sila
tersebut hendaknya terus menerus diamalkan dalam setiap tindakan mereka, baik
yang bersifat pribadi maupun publik, karena merekalah menjadi cermin bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya
kebijakan yang ditelurkan harus tetap memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam
Pancasila. Artinya, bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dan
bebas dari intervensi siapa pun, singkat kata kebijakan tanpa KKN. Apabila hal
ini bisa dilakukan, maka saya yakin dan percaya Republik yang kaya nan subur
ini akan menjadi kekuatan baru di dunia. Tetapi apabila pemimpin kita tidak
bisa menjadi pioner, maka bangsa ini akan tetap terebelenggu seperti dewasa
ini.
Untuk
itulah, kita memiliki harapan yang besar kepada pemimpin Republik ini yang akan
datang, baik pemimpin politis maupun pemimpin karir harus senantiasa menjadi
contoh utama. Pemimpin politis yang notabenenya dilahirkan dari partai politik
yang dipilih setiap lima tahun sekali oleh rakyat hendaknya diisi oleh orang-orang
yang kompeten dan memiliki jiwa Pancasila, supaya tidak seperti dewasa ini yang
hanya dipenuhi oleh mereka yang populer dan memiliki banyak rupiah.
Begitu
pun untuk pemimpin karir, hendaknya selalu menjadi contoh utama dalam setiap
tindakan dan perbuatannya. Salah satu wadah yang bisa dikatakan sebagai pabrik
pemimpin karir di Republik ini adalah lembaga pendidikan tempat kita ditempa,
yaitu IPDN. IPDN sebagai salah satu wadah yang bisa diharapkan untuk
memproduksi calon pemimpin (pamong praja) yang berjiwa Pancasila, karena kita
ketahui bersama bahwa alumni-alumni IPDN akan menyebar ke seluruh pelosok
nusantara. Diharapkan dari alumni-alumni inilah nilai-nilai Pancasila mulai
digelorakan di tengah-tengah kehidupan sosial-masyarakat. Dengan begitu, maka
alumni IPDN akan mendapatkan predikat sang pencerah, karena kemampuannya
mematri nilai-nilai Pancasila pada dirinya dan orang lain (masyarakat).