Pages

Friday, 30 May 2014

“MENJADI PEMILIH CERDAS”

Oleh: Dedet Zelthauzallam
   Proses demokrasi langsung selalu diwarnai dengan berbagai macam isu. Isu yang diangkat pun kadang tidak masuk akal, hanya bersifat semu yang tak ada muaranya. Kadang para pemainnya tidak menghargai proses dan menghalalkan segala cara demi menuju singgasana kekuasaan. Begitulah demokrasi yang kental dengan aroma politik.
Begitu pun yang terjadi saat menjelang pilpres pada tanggal 9 Juli mendatang. Banyak sekali isu yang diangkat untuk menjatuhkan lawan. Isu yang memiliki landasan data memang boleh-boleh saja dilakukan. Namun apabila tidak ada landasan, maka itulah yang sangat disayangkan.
Dalam melihat isu, ada yang dikatagorikan sebagai negative campaign dan black campaign. Negative campaign merupakan isu yang memiliki landasan untuk menyerang lawan, sehingga konstituen mengetahui bagaimana track record dari calon tersebut. Sedangkan black campaign merupakan isu yang tidak memiliki landasan, dimana tujuan utamanya untuk mempengaruhi konstituen atau bisa disebut sebagai fitnah. Black campaign inilah yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun, karena ini hanya akan membuat keadaan menjadi keruh.
Saat ini, black campaign sangat sering dikumandangkan menjelang waktu pemilihan. Ada kubu yang memilih untuk terus menerus menyerang, dilain sisi ada kubu yang cenderung untuk bertahan. Isu yang diangkat masih dominan mengarah ke hal-hal yang berbau SARA. Banyak kalangan yang menilai isu seperti ini tidak efektif lagi dan malah akan menjadi bumerang. 
Konstituen tidak boleh cepat terpengaruh oleh isu-isu yang bersifat  black campaign. Pemilih harus bisa untuk mem-filter, mana isu yang bersifat memprovokasi, mana isu yang benar-benar memiliki landasan. Pemilih harus bisa mengkomparasi isu yang didapatkan, khususnya isu yang bersumber dari media, karena media dewasa ini banyak yang tidak menyajikan berita dengan akurat dan valid. 
Black campaign juga bertebaran di jejaring sosial, seperti facebook, twitter, path maupun sejenisnya. Kadang akun yang digunakan untuk menyebar isu pun banyak yang palsu. Pemilik akunnya bagaikan silumanan yang tak menahu asalnya. Namun, masyarakat banyak yang terlarut dengan isu-isu tersebut.
Untuk itu, pemilih untuk pilpres 2014 ini diharapkan menjadi pemilih yang benar-benar cerdas. Cerdas dalam artian bisa memilih satu diantara keduanya, karena didasari oleh kapabalitas dan integritas calon tersebut. Jangan sampai terlena dengan black campaign yang lebih banyak berifat menghasut, tanpa mengarah ke subtansi.
Pemilih cerdas juga bisa disematkan kepada pemilih yang berani mengatakan say no to money politic. Kita ketahui bersama pileg yang dilakukan pada tanggal 9 April yang lalu masih diwarnai oleh praktek jual beli suara. Banyak pemilih yang secara terang-terangan menerima uang untuk memilih calon bersangkutan. Ada pemilih yang mengatakan tanpa uang tidak mau memilih. Prilaku seperti itu harus segera ditinggalkan demi menata masa depan bangsa ini.

Dengan melihat kapabalitas dan integritas serta menolak money politic sudah cukup untuk bisa menghasilkan pemimpin yang akan mampu membawa Republik ini ke arah yang lebih baik. Apakah konstituen (pemilih) sudah siap menelurkan pemimpin seperti itu atau akan tetap memilih untuk berada dalam lingkaran budaya lama yang hanya menyuburkan prilaku yang merugikan rakyat. Jawabannya ada ditangan sekitar 190 juta rakyat Indonesia yang akan menggunakan hak suaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden periode 2014-2015. Apakah rakyat akan memilih move on atau move off? Semoga seluruh konstituen memilih untuk move on supaya Republik yang nan kaya ini menjadi lebih baik. Merdeka!

Friday, 23 May 2014

GAGALNYA PENGAWASAN INTERNAL PEMERINTAH

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa ini, korupsi semakin menjamur di Republik ini. Para pelaku korupsi pun dilakukan oleh hampir semua lintas jabatan maupun profesi. Mulai dari tingkat bawah sampai puncak. Ada banyak cara yang dilakukan dan dengan beragam alasan. Ada yang dilakukan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan. Ada juga yang disebabkan oleh kerakusan.
Dengan banyaknya kasus korupsi tersebut, maka para penegak hukum pun semakin sibuk. Sibuk dalam artian harus menyelesaikan kasus yang jumlahnya banyak dan harus melakukan tindakan preventif. Hal itu tidak sebanding dengan sumber daya yang dimiliki, sehingga bisa dikatakan penanganannya tidak maksimal.
Anehnya juga kasus korupsi di Republik ini banyak diungkapkan dari pihak penegak hukum yang notabenenya merupakan lembaga ad hoc (sementara), yaitu KPK. KPK sepertinya sangat bekerja dengan ekstra kuat, karena lembaga lainnya yang berfungsi sebagai pengawas selalu kecolongan. Kecolongan dalam artian tidak bisa menemukan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan.
Kalau melihat sistem pengawasan di pemerintahan kita, maka bisa dikatakan lembaga pengawas kita jumlahnya sangat banyak, baik yang berada di internal maupun eksternal. Lembaga pengawas internal itu terdiri dari internal dalam artian pemerintahan luas (BPK dan DPR) dan internal dalam artian pemerintahan sempit (Inspektorat dan BPKP). Sedangkan untuk eksternal dilakukan oleh KPK dan Ombusman.
Namun tentunya menjadi pertanyaan publik adalah kenapa lembaga-lembaga pengawasan tersebut seolah-olah tidak bekerja, karena kita ketahui bersama hampir semua kasus-kasus korupsi, khususnya korupsi yang dilakukan pejabat tinggi, ditemukan dari hasil penyelidikan KPK. Dan banyak dari kasus tersebut lolos dari pemeriksaan lembaga-lembaga pengawasan tersebut.
Hasil pemeriksaan lembaga-lembaga tersebut malah memberikan hasil yang positif. Untuk itulah kita perlu mempertanyakan eksistensi dari lembaga-lembaga pengawasan tersebut, karena pengawasan yang dilakukannya selalu kecolangan. Dengan seringnya kecolongan, maka seharusnya pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga pengawasan internal, supaya hal ini tidak dilakukan terus menerus.
Banyaknya kasus kecolongan oleh para pengawas internal kita, menurut saya disebabkan oleh adanya sebuah bergainning antara pemeriksa dengan yang diperiksa untuk menutup kasus-kasus yang tidak sesuai dengan ketentuan. Apalagi ada lembaga pengawas kita, yaitu inspektorat, berada di bawah kendali sekertaris jenderal maupun sekda. Kalau seperti itu, maka akan sulit untuk melakuakan pengawasan dengan maksimal.
Ke depannya, seharusnya lembaga pengawasan diberikan sebuah kedudukan yang lebih kuat untuk mampu melakukan kewenagannya dengan lebih leluasa. Dan apabila kecolongan, apalagi disengaja, harus diberikan sangsi, supaya mereka tidak melakukan pengawasan dengan asal-asalan.
Misalnya, ada kasus korupsi yang ditemukan oleh KPK dan terbukti benar-benar bermasalah, tetapi dalam hasil laporan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas internal dinyatakan baik, maka penegak hukum juga harus menjerat mereka dengan diberikan sangsi. Apabila hal ini dilakukan, maka saya yakin dan percaya lembaga pengawas internal akan lebih maksimal dalam menyelenggaran pengawasan.
Dengan semakin baiknya lembaga pengawasan internal, kasus korupsi di Republik ini akan bisa diminimalisir. Berkurangnya kasus korupsi berarti akan membawa angin segar untuk masa depan Republik ini ke depannya.


  

Thursday, 22 May 2014

PILPRES 2014: HEAD TO HEAD ANTARA JOKOWI-JK VS PRABOWO-HATTA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pertanyaan besar mengenai siapa yang akan menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia untuk lima tahun ke depan sudah bisa dikatakan hampir diketahui. Itu disebabkan karena KPU sudah memastikan pemilu presiden 2014 hanya akan diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan Jokowi-JK dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dengan majunya dua pasang capres dan cawapres tersebut, maka dipastikan presiden dan wakil presiden Indonesia akan bisa diketahui pada tanggal 9 Juli mendatang, karena otomatis pemilihan presiden akan dilakukan satu putaran saja.
Dengan majunya dua pasang calon ini tentunya akan menjadi pertarungan yang bisa dikatakan sangat seru. Kubu Jokowi-JK yang diusung oleh empat partai, yaitu PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura memiliki image yang sangat afirmatif dengan pasangan Prabowo-Hatta yang diusung oleh 6 partai, yaitu Gerindra, PPP, PKS, PAN, Golkar dan PBB. Dikatakan demikian karena banyak pengamat mengatakan bahwa koalisi Jokowi-JK itu memperlihatkan koalisi rakyat kecil, sedangkan koalisi Prabowo-Hatta lebih ke elit. Itulah sebabnya pertarungan pilpres 2014 bisa dikatakan pertarungan antara kekuatan rakyat dengan elit.
Tentunya pandangan tersebut juga lahir dari banyak persepsi. Salah satu contohnya pada saat melakukan deklarasi. Meskipun sama-sama berada di tempat yang bersejarah yang berkaitan dengan para founding father, khususnya sosok Soekarno, tetapi cara setting-nya sangat berbeda. Kubu Jokowi-JK melakukannya dengan sangat sederhana dan merakyat. Namun kubu Prabowo-Hatta dilakukan dengan cara yang cukup mewah dan dihadiri oleh mayoritas elit.
Memang hal itu tidak menjadi indikator kita untuk memilih. Namun dari cara-cara seperti itulah kita mampu mem-filter mana yang lebih baik dari dua pasangan ini. Tentunya antara ke dua pasang ini memiliki plus minus. Dan sebagai rakyat kita harus cerdas untuk melihat bagaimana track record dari dua pasangan ini, supaya pilihan kita bisa jatuh pada pilihan yang tepat untuk memimpin Indonesia lima taun ke depan.
Metro vs TVOne
Pertarungan antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta juga bisa dikatakan sebagai dua pertarungan media berita yang bisa dikatakan terbesar di Indonesia, yaitu antara Metro TV dan TVOne. Ini disebabkan oleh ke dua bos media tersebut mendukung pasangan capres dan cawapres yang berbeda. Surya Paloh (Ketua Umum Nasdem) berada di kubu Jokowi-JK sedangkan Aburizal Bakrie (Ketua Umum Golkar) berada di kubu Prabowo-Hatta. Tentunya ini akan menjadi suatu hal yang sangat menarik, karena ada peluang dan sudah hampir dilakukan oleh dua stasiun ini untuk melakukan penyiaran secara tidak proporsional.
  Untuk itulah, rakyat Indonesia sebagai pemegang suara tidak boleh terlalu terbawa oleh informasi media, karena media pun tidak akan dijamin mampu memberikan berita yang akurat, valid dan terpercaya. Rakyat harus melihat lebih jauh ke belakang bagaimana track record dari ke dua pasang ini.
Pasangan capres dan cawapres ini juga akan menggunakan media lainnya sebagai sarana komunikasi, sehingga rakyat sekali lagi harus lebih hati-hati dalam menyerap informasi. Rakyat sebagai konsumen media tidak boleh langsung menelan informasi tersebut tanpa adanya pembanding. Rakyat harus membandingkan informasi yang didapatkan di media A dengan media lainnya. Dengan melakukan pembandingan, maka insaAllah rakyat akan menemukan berita yang sebenarnya.
Siapa yang Lebih Kuat?
Dalam beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga survei, maka saat ini Jokowi-JK masih berada di atas pasangan Prabowo-Hatta. Dengan perbedaan suara yang cukup besar, ada di kisaran 17%. Tetapi ada yang menarik dari hasil lembaga survei tersebut, yaitu pasangan Jokowi-JK suaranya bisa dikatakan stagnan dan memiliki kecenderungan turun, sedangkan Prabowo-Hatta meranjak naik. Dan dalam survei-survei tersebut juga menunjukkan bahwa masih banyak rakyat yang masih menentukan pilihan, sehingga bisa dikatakan ke dua pasang ini memiliki peluang untuk menang.
Namun apabila melihat dari segi basis suara, dengan lebih melihat suku, maka pasangan Jokowi-JK akan unggul dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Hatta. Pasangan Jokowi-JK dinilai sebagai pasangan yang bisa merangkul dan masuk ke semua kalangan dan suku dari Jokowi-JK merupakan suku besar di Republik ini, yaitu suku Jawa dan Bugis.
Dalam pertarungan pilpres 2014 ini juga, ada hal yang menarik, dimana ke dua capres sama-sama berasal dari suku Jawa, sedangkan cawapres berasal dari luar Jawa, sehingga banyak pengamat mengatakan ini pertarungan yang hampir sama kuat. Berbicara masalah Jawa, maka berdasarkan pengalaman pada pemilu sebelumnya, bisa dikatakan bahwa siapa yang menguasai Jawa dialah akan menjadi pemenang. Kita ketahui bersama bahwa Jawa terdiri dari dua suku terbesar di Indonesia, yaitu suku Jawa (41,7% dari penduduk Indonesia) dan Sunda 15,4% dari penduduk Indonesia).  
Namun menurut pandangan saya, Jokowi akan lebih mampu untuk menarik suara suku Jawa. Saya katakan demikian, karena beberapa alasan. Pertama, Jokowi lebih memperlihatkan kejawaannya dari pada Prabowo. Itu bisa dilihat dari bagaimana sikap dan tutur katanya seperti orang Jawa tulen. Kedua, Jokowi didukug oleh PDIP yang merupakan partai trahnya Soekarno. Kita ketahui bersama bahwa mayoritas orang Jawa masih yakin dan percaya kepada trahnya Soekarno, sehingga dengan adanya sosok Megawati, Buruh dan Puan akan mampu meraup suara pemilih dari suku Jawa.
Sedangkan kalau kita melihat bagaimana basis suara pasangan capres dan cawapres di luar Jawa, maka bisa dikatakan akan berimbang. Namun sekali lagi saya lebih condong mengatakan bahwa Jokowi-JK akan kembali unggul. Ini disebabkan oleh sosok Jokowi-JK bisa diterima di semua kalangan maupun suku bangsa. Dan terlebih lagi, JK merupakan tokoh yang yang berasal dari Indonesia timur dan memiliki track record yang sudah terbukti. JK pada saat menjabat sebagai wakil presiden 2004-2009 sudah membuktikan kapabalitas yang ada dalam dirinya, khususnya penyelesaian konflik di Aceh dan Poso.
Dari pendapat saya itulah, saya memprediksikan pasangan Jokowi-JK akan menang dalam pilpres 2014 dengan meraup suara di atas 60%. Namun hal itu akan bisa berubah, tergantung dari bagaimana strategi politik yang akan dilaksanakan oleh ke dua pasang capres dan cawapres ini dalam waktu yang tersisa, khususnya dalam menangkal black campaign, karena akhir-akhir ini banyak isu yang dihembuskan.

Dan akhirnya saya mengatakan bahwa pemenang pilpres 2014 akan ditentukan oleh rakyat pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang, apakah Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta? Jawaban realnya akan kita ketahui bersama setelah pencoblosan. Pastinya harapakan kita seluruh rakyat Indonesia adalah melalui pilpres ini akan menelurkan pemimpin yang akan mampu membawa angina perubahan untuk Republik ini.

Monday, 19 May 2014

KOALISI DIAKHIR FINISH

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Menjelang penutupan pendaftaran capres dan cawapres di KPU, arah koalisi masih belum rampung. Ada dua partai yang masih belum menentukan sikap, yaitu Golkar dan Demokrat. Sedangkan sisanya sudah menentukan arah dukungannya. Poros Jokowi dan Prabowo sama-sama didukung oleh empat partai, sehingga kekuatan dua partai ini bisa dikatakan berimbang.
Sikap partai Golkar dan Demokrat memang menjadi tanda tanya besar kemana mereka akan berlabuh, apakah akan membentuk poros baru atau bergabung ke poros yang sudah terbentuk. Tentunya itu akan terjawab paling lambat pada tanggal 20 Mei 2014. Sikap dua partai ini memang akan bisa mempengaruhi peta kekuatan capres dan cawapres, karena basis suarannya bisa dikatakan besar. Apa pun sikap partai Golkar dan Demokrat harus tetap didasari oleh suatu proses koalisi yang tidak bagi-bagi kekuasaan. Tetapi sikapnya memang murni karena memiliki kesamaan cara dalam mencapai tujuan.
Rakyat pun sebagai konstituen akan sabar menunggu bagaimana sikap partai menjeleng pemilu. Rakyat sebagai pemegang amanah tertinggi juga harus lebih rasional melihat bagaimana latar belakang terbentuknya koalisi. Jangan sampai koalisi yang dibangun hanya bagi-bagi kekuasaan atau dalam istilah politik dagang sapi.
Budaya politik dagang sapi tidak boleh terus menerus dilakukan, karena akan menjadi penghambat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Budaya politik dewasa ini harus dibangun karena disebabkan oleh kesamaan platform dan idiologi. Apabila hal ini dilakukan, maka koalisi yang dibangun akan tidak seperti pemerintah sebelumnya yang didominsasi oleh urusan politik.
Republik yang kaya ini akan menjadi hebat ketika para pemegang kekuasaannya memiliki satu hati dan satu sikap, yaitu mencapai cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Rakyat pun memiliki andil yang besar untuk bisa menentukan siapa penguasa Republik ini untuk lima tahun ke depan. Apakah akan memilih penguasa yang mempertahankan budaya lama atau budaya baru?



Wednesday, 14 May 2014

KOALISI TANPA SYARAT

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Menjelang pemilihan presiden pada 9 Juli 2014 mendatang, peta perpolitikan semakin bergerak dinamis. Artinya setiap partai politik tidak henti-hentinya mencari kawan untuk menyamakan platform. Koalisi parpol pun tidak bisa terealisasi dengan cepat, meskipun real count dari KPU sudah diumumkan. Memang ada beberapa parpol yang sudah memastikan arah koalisi. Namun masih banyak juga parpol, khususnya parpol besar belum menentukan arah.
Sampai saat ini, tanggal 13 Mei 2014, baru tiga partai yang secara resmi sudah menentukan siapa teman koalisinya, yaitu Nasdem, PKB dan PPP. Selebihnya masih belum pasti kemana arahnya. Kalau melihat dari waktu pendaftaraan capres dan cawapres, maka masih ada sisa satu pekan lagi untuk memustuskan arah koalisinya.
Melihat deal-deal politik yang terjadi, maka yang membuatnya menjadi lamban adalah ketidaksingkronan kemauan antara partai yang satu dengan lainnya. Tawar menawar mengenai apa yang didapatkan dari koalisi masih tidak mampu ditinggalkan.
Bagi-bagi kekuasaan masih menghiasi munculnya koalisi. Meskipun ada capres yang mengatakan bahwa koalisi yang akan dibangun tidak untuk membagi-bagi kekuasaan, tetapi koalisi yang disebutnya sebagai koalisi tanpa syarat. Capres tersebut adalah Jokowi. Publik pun menanti apa yang telah dikatakan oleh capres yang diusung oleh PDIP ini.
Tentunya apa yang dikatakan oleh Jokowi menjadi terobosan baru dalam demokrasi di Republik ini. Mengingat apa yang telah dilakukan oleh para pemegang kekuasaan dewasa ini selalu dihiasi dengan pembagian jatah, maka harapan publik pun tertuju pada Jokowi. Apakah akan bisa meninggalkan budaya lama atau ini hanya slogan belaka, karena kita ketahui bersama bahwa budaya pembagian kursi menteri menjadi hambatan dalam menelurkan kebijakan-kebijakan yang startegis. Kebijakan yang diambil lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik belaka, sehingga rakyatlah yang menjadi korban.

Koalisi yang dibangun tanpa syarat ini pun dipandang banyak pihak dengan pesimis. Tentunya pandangan ini bermuara dari prilaku yang dipertontonkan para politisi yang haus dengan kekuasaan. Politisi di negeri ini masih seperti serigala yang tidak tahu mana yang hak dan bathil. Namun sebagai bangsa yang dibangun dari semangat optimisme, maka kita seharusnya mendorong upaya-upaya yang akan dilakukan oleh para capres.    

Saturday, 10 May 2014

KISAH DIAKHIR JABATAN: POLITIK DI ATAS HUKUM

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Ditetapkannya ketua BPK, Hadi Poernomo dan Walikota Makasar, Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka oleh KPK pada hari terakhir masa jabatannya mengundang banyak persepsi dari publik. Bagaimana tidak kasus yang menjerat mantan ketua BPK ini dilakukan pada saat menjabat menjadi Dirjen Pajak pada tahun 2002-2004. KPK pun mengakui sudah lima tahun terakhir ini mendalami peran Hadi Poernomo dalam pengaturan pajak BCA. Begitupun Walikota Makasar dijerat atas kasus PDAM yang terjadi pada tahun 2007-2009. Yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa KPK baru menetapkan HP dan IAS pada masa akhir jabatannya?
Beragam persepsi pun lahir dari publik. Ada yang memberikan apresiasi atas keberhasilan KPK mengungkap peran dari para tersangka. Ada juga mengatakan bahwa KPK hanya berani ketika mereka sudah tidak memegang kekuasaan, sehingga pesimistis terhadap hukum di Republik ini pun semakin meningkat.
Persepsi yang ke dua dari publik ini memang bisa dikatakan sebagai gambaran para penegak hukum di Republik ini. Penegak hukum kehilangan tajinya kepada mereka yang memiliki kekuasaan. Hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Para pemegang kekuasaan seolah-olah kebal dari namanya hukum. Padahal hukumlah yang menjadi alat pengendalian sosial. Tanpa hukum suatu bangsa dan negara akan menjadi terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Dari prilaku penegak hukum tersebut bisa dikatakan bahwa hukum di Republik ini berada di bawah kendali para penguasa. Para penguasa yang ditelurkan dari sebuah proses demokrasi dan partai politik sebagai tool-nya memiliki power yang sangat kuat, sedangkan hukum amat sangat powerless.
   Seharusnya hukumlah berada di atas segalanya, termasuk politik, karena hukum memiliki fungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dan menciptakan ketertiban. Aturan hukum juga merupakan alat untuk menjamin bahwa tindakan politik didasarkan atas keinginan yang benar. Manusia yang diberikan nafsu oleh Tuhan memiliki kecenderungan untuk berbuat rakus. Kerakusan manusia itulah yang membuat hukum harus selalu hadir dalam setiap detik kehidupan sosial masyarakat.
Untuk itulah, Republik ini harus mulai mengembalikan hukum pada kedudukan yang sebenarnya demi keberlangsungan masa depan bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Masa depan bangsa ini akan sangat bergantung pada bagaimana para penegak hukum menjalankan aturan hukum yang sudah ada.
Apabila hal itu tidak dilakukan, maka Republik ini akan menjadi negara yang akan dikatagorikan gagal. Gagal dalam artian tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya akibat dari hukum yang masih melihat siapa yang melanggar dan para penegak hukum masih dipenuhi oleh para pencari rente.

Di era demokrasi langsung ini, diharapkan para penegak hukum tidak kepicut dengan para politisi. Mereka harus tetap berani menegakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Siapa yang melanggar harus tetap dihukum sesuai dengan aturan yang ada ataupun melalui hasil musyawarah para hakim. Jangan sampai seperti dewasa ini yang harus menunggu mereka turun dari jabatan. 

Wednesday, 7 May 2014

SISTEM PENGAWASAN PEMERINTAHAN DESA


Desa merupakan garda terdepan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah sangat bergantung dari bagaiamana aparat pememerintah desa melaksanakannya. Baik dan buruknya sangat bergantung dari bagaimana kinerja aparat desa, sehingga dibutuhkanlah suatu pendidikan dan pelatihan serta pengawasan bagi pemerintah desa, supaya mereka bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan maksimal.
Namun pengalaman di lapangan selama praktek lapangan banyak hal yang harus dibenahi dari sistem pemerintah desa, khususnya sistem pengawasannya. Pengawasan di desa hampir tidak kita temukan, khususnya di Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang. Saya katakan demikian, karena pengawasan internal dan eksternal hampir tidak pernah dilakukan.
Misalnya, alokasi dana desa (ADD), hampir tidak pernah disentuh oleh namanya pemerikasaan dari para pengawas, apalagi hasil retribusi desa. Sehingga peluang disalahgunakan jauh lebih besar. Pengawas untuk pemerintah desa sepertinya tidak  pernah turun dan tidak tahu kemana larinya. Apalagi pengawasan dari lembaga sosial masyarakat (LSM) juga tidak dilakukan, karena masyarakat desa yang notabenenya memiliki tingkat pendidikan yang rendah tidak tahu menahu cara memlakukan pengawasan.
Sebenarnya, pengawasan tentang desa telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Desa berjalan secara efesien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ruang lingkup pengawasan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi: a) administrasi pemerintahan desa dan b) urusan pemerintahan desa. Pengawasan yang dimaksud meliputi: 1) Kebijakan desa, 2) kelembagaan desa, 3) keuangan desa dan 4) kekayaan desa. Pengawasan terhadap pemerintah desa dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah pada Inspektorat kabupaten/kota.
Seharusnya pejabat yang diberikan tanggungjawab untuk melakukan tugas pengawasan melaksanakan amanah dengan baik, apalagi pasca UU 6 tahun 2014 tentang Desa disahkan. Dengan disahkan UU desa yang baru ini, maka pemerintah desa semakin lebih leluasa menjalankan otonominya. Ditambah lagi undang-undang terbaru ini mengamanahkan pemerintah pusat (APBN) diberikan kepada desa. Dengan masing-masing desa mendapatkan suntikan dana dikisaran 700 juta- 1 miliar.
Dana yang besar diberikan kepada pemerintah desa bertujuan untuk bisa menambah daya gedor pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat desa. Namun bisa jadi tujuan tersebut tidak tercapai dan malah melenceng, dengan kata lain gagal. Kegagalan tersebut bisa jadi disebabkan oleh penyalahgunaan anggaran yang diberikan dan ketidakmampuan aparat desa untuk mengelolanya.

Untuk itu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menyiapkan formula untuk mengawal pengampilkasian pemerintah desa yang terbaru, khususnya sistem pengawasannya. Sistem pengawasan yang diharapkan kedepannya lebih baik dari dewasa ini. Jangan sampai anggaran yang besar yang digelontorkan ke pemerintah desa akan menjadi sia-sia saja.

Saturday, 3 May 2014

PEMBENTUKAN DAERAH PERSIAPAN: KOMPARASI ANTARA REFORMASI DAN ORDE BARU

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca reformasi 1998 bergulir, banyak hal yang berubah di Republik ini. Tak terkecuali hubungan pemerintah pusat dengan daerah, yang awalnya lebih bernuansa dekonsentrasi berubah menjadi desentralisasi yang berotonomi daerah. Perubahan itu bisa dilihat dari bagaimana urusan-urusan pemerintah lebih banyak berada ditangan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat hanya meninggalkan enam urusan yang mutlak dipegang, yaitu hubungan internasional, keamanan, pertahanan, yustisi, moneter dan agama. Sedangkan diluar itu menjadi milik pemerintah daerah.
Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk mempercepat pembangunan, kesejahteraan dan meningkatkan daya saing  daerah. Namun, pemberlakuan otonomi daerah sejak era reformasi tidak berjalan dengan mulus. Otonomi daerah yang awalnya diyakini akan menjadi obat mujarab, nyatanya kurang manjur dalam menjawab realita di Republik ini, khususnya pemerintahan daerah. Di bawah rezim otonomi daerah, peningkatan kesejahteraan tetap saja berjalan lamban bak kura-kura.
Persoalan utama di rezim otonomi daerah diakibatkan oleh hiruk pikuk pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemilihan itu hanya menelurkan persaingan dalam merebut kekuasaan. Persaingan kekuasaan selalu menghiasi perjalanan otonomi daerah, sehingga elite daerah hanya disibukan untuk berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Ada elite yang kalah mencari jalan lain, supaya kekuasaan bisa tetap dimiliki olehnya. Jalan yang ditempuh banyak melalui pemekaran daerah baru (DOB). Dimana mereka mengatasnamakan nama rakyat dengan iming-iming untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan mereka. Namun pemekaran tersebut bersifat politis yang hanya akan menimbulkan permasalahan baru di rezim otonomi daerah. Setiap daerah kini berlomba-lomba mengajukan pemekaran daerah.
Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri, sejak 1999-2009 sudah terbentuk 220 daerah otonomi baru, terdiri dari 7 provinsi, 213 kabupaten dan kota[1]. Dan ada 65 DOB yang disahkan oleh DPR pada Oktober tahun 2013[2]. Dengan banyaknya usulan DOB ini akan memberikan keprihatinan bagi masa depan otonomi di Republik ini, karena sampai saat ini menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengatakan bahwa presentase keberhasilan DOB yang sudah terbentuk kecil, hanya 20%-30% yang bisa tergolong berhasil.
Untuk menanggapi problem tersebut, tentunya pemerintah selaku pihak ekskutif dan DPR pihak legislatif perlu lebih memperketat lagi regulasi pemekaran daerah otonom, supaya tidak seperti dewasa ini. Moratorium yang sudah dilakukan pemerintah menjadi salah satu langkah yang positif, tetapi perlu ada dukungan yang lebih dari DPR, karena pemekaran daerah bisa diajukan melalui dua pintu (Kementerian Dalam Negeri dan DPR). DPR menjadi pintu favorit bagi mereka yang berhasrat membentuk DOB.
Komparasi DOB Era Reformasi dan Orde Baru
     Pasca reformasi, tata cara pembentukan daerah otonomi baru bisa dikatakan jauh lebih longgar dibandingkan dengan masa orde baru. Kelonggaran itu bisa dilihat dari ratusan daerah otonomi baru yang terbentuk dalam kurun waktu satu dasawarsa. Isi UU Pemerintahan Daerah antara 22 tahun 1999 yang diamandemen menjadi UU 32 tahun 2004 dengan UU 5 tahun 1974 memang banyak perbedaan, khususnya dalam hal tata cara pembentukan daerah otonomi baru.
Banyak pihak menilai bahwa dalam hal penataan daerah otonomi baru, UU 5 tahun 1974 lebih baik dibandingkan UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004. Ini disebabkan karena di dalam UU 5 tahun 1974, daerah otonomi baru harus dipersiapkan dalam beberapa tahun untuk bisa menjadi daerah yang berotonom. Apabila daerah yang sedang dipersiapkan dinilai tidak memenuhi syarat, maka daerah otonomi baru tersebut akan kembali bergabung ke daerah induk. Ini bisa dilihat dari jumlah daerah yang dimekarkan di era orde baru. Hanya ada tiga provinsi yang dimekarkan dalam kurun waktu 32 tahun, yaitu Bengkulu, Irian Barat dan Timur Timor.
Mayoritas pembentukan daerah di era orde baru adalah adalah pembentukan daerah Kotamadya (sekarang kota) sebagai konsekuensi dari proes pengkotaan sebagian wilayah kabupaten. Proses pemekaran diawali dengan pembentukan Kota administratif sebagai wilayah administratif, yang kemudian menjadi cikal bakal Kotamadya yang bersifat otonom. Proses pemekaran tersebut juga harus bersifat top down dan didominasi proses teknokratis administratif.
Di era reformasi, pengajuan pembentukan daerah otonomi baru tidak lagi berpijak pada UU 5 tahun 1974, tetapi berpijak pada UU 22 tahun  1999 tantang Pemerintahan Daerah jo PP 129 tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan , Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam ketentuan pasal 5 ayat 1 UU 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daearah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Regulasi tersebut memang memberi ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonomi baru.
Kelonggaran regulasi pembentukan daerah otonomi baru di UU 22 tahun 1999 dicoba kembali diperketat di UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan , Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam UU 32 tahun 2004 sudah kembali ditegaskan bahwa daerah yang sudah dimekarkan yang tidak mampu mecapai standar minimal bisa digabungkan kembali ke daerah induk atau dengan daerah lainnya.
Namun yang menjadi masalahnya adalah aturan tersebut tidak dilaksanakan. Aturan itu hanya sebagai pajangan semata yang tak memiliki arti kegunaan. Implementasi penggabungan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Yang terjadi justru pertambahan daerah otonom baru. Semangat pemekaran terus menerus dikobarkan.
Di dalam PP 78 tahun 2007 disebutkan bahwa provinsi yang akan dimekarkan harus sudah berusia minimal 10 tahun, sedangkan kabupaten/kota minimal 7 tahun. Ketentuan ini sangat berbeda dengan ketentuan dalam PP 129 tahun 2000 yang menghalalkan percaraian langsung daerah otonomi baru tanpa ada persyaratan umur provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, PP 78 tahun 2007 juga menambah persyaratan dari segi jumlah kabupaten/kota untuk menjadi provinsi dan jumlah kecamatan untuk menjadi kabupaten/kota, yang awalnya empat menjadi lima dan untuk menjadi kota yang awalnya tiga menjadi empat.
Di dalam peraturan baru ini juga memberi kewenangan pusat untuk melikuidasi daerah baru sebagai akibat pemisahan maupun penggabungan daerah yang dinilai gagal. Namun kembali lagi kewenangan tersebut tidak digunakan oleh pusat. Padahal sudah ada pijakan hukum yang sah dan memiliki power strong.
Apabila pemerintah pusat tidak melakukan langkah yang strategis, maka otonomi daerah yang memiliki tujuan meningkatkan pelayanan dan mensejahterakan akan semakin jauh dari harapan. Moratorium yang dilakukan harus tetap dipertahankan, karena mengingat 78% dari 57 daerah otonomi baru yang sudah berusia tiga tahun ternyata gagal berkembang[3]
DESERTADA: Pembentukan Daerah Persiapan
Dalam menunjang keberlangsungan otonomi daerah di Republik ini, perlu adanya desain besar penataan daerah (Desartada). Desertada bertujuan untuk meminimalisir hasrat politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan semata. Elemen pertama dari Desertada pada dasarnya merupakan upaya untuk menata daerah secara lebih sistematis melalui penerapan model pembentukan daerah otonom yang bertahap.
Tahapan yang dilakukan bisa melalui pembentukan daerah persiapan (DP) terlebih dahulu. Jangka waktu yang diberikan sampai 3 tahun, yang disebut sebagai masa transisi. Masa transisi daerah otonomi baru ini berada di bawah kendali daerah induk. Selama masa tersebut, pemerintah pusat menilai daerah otonomi baru ini, apakah layak jadi daerah yang berotonom atau tidak.
Masa transisi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi sebuah calon daerah yang berotonom untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik. Persiapan tersebut meliputi pemenuhan semua aspek yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan semua urusan-urusan daerah, antara lain, sarana dan prasarana pemerintahan pengalihan P3D (personel, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen), pembentukan kelembagaan dan pengisian jabatan yang dapat dilakukan secara bertahap.
Pembentukan daerah persiapan sebagai prosedur yang wajib dilalui oleh calon daerah otonomi baru. Ada empat strategi dasar dalam pelaksanaan penataan daerah: pertama, mengembangkan parameter pembentukan daearah persiapan berdasarkan parameter geografis, demografis dan sistem, kedua, membentuk daerah otonom baru melalui pembentukan daerah persiapan dengan dasar Peraturan Pemerintah (PP) untuk jangka waktu tiga tahun, ketiga, menyediakan fasilitas dan pendampingan professional penyelenggaraan pemerintahan bagi setiap daerah persiapan selama dalam masa transisi, dan keempat, mengembangkan sistem evaluasi daerah persiapan untuk dasar penetapan perubahan status menjadi daerah otonomi defenitif.
     Apabila persiapan daerah otonomi baru dilaksanakan dengan berpedoman pada Desertada ini, maka harapan dari tujuan otonomi daerah yang ingin dicapai akan bisa dilihat hasilnya. Hasilnya akan tidak seperti sekarang ini yang hanya terbentuk akibat hasrat kekuasaan belaka. Daerah otonom yang dipersiapkan akan lebih mampu menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan dan membangun daerah.




[1] “Menghidupkan Kembali Samkaryanugraha Parasamya Purnakarya Nugraha (25/04/2014)”, koran tempo, hal. 13.
[2] “DPR Sahkan RUU Pembentukan 65 DOB (24/10/2013)”, kompas.com, diakses tanggal 1 Mei 2014.
[3] Menurut Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum dan Hubungan Antar Lembaga, Reydonnyzar Moenek, mengungkap hasil evaluasi yang dilakukan terhadap daerah-daerah otonomi baru. Sebanyak 78%  dari 57 daeraah otonomi baru dinilai gagal berkembang. Sehingga menurutnya, moratorium haru tetap dilaksanakan dan pihaknya akan merancang Desain Besar Penataan Daerah. Lihat di http://m.tempo.co (27 Desembar 2013).

Friday, 2 May 2014

BURUH BERGEMURUH

Oleh: Dedet Zelthauzallam
“May Day” merupakan harinya buruh. Pada hari ini buruh bergemuruh dalam menuntut perbaikan dibidang profesinya. Tuntutan-tuntutan dilayangkan kepada pihak penguasa. Penguasa hanya bisa terdiam membisu mendengarkan rautan jutaan buruh. Intinya pada hari ini, buruh di Republik ini tidak pernah merasa puas kepada penguasa (pemerintah). Itulah sebabnya, hari ini selalu identik dengan aksi demonstrasi.
Demonstrasi yang dilakukan setiap tahun kadang tidak mampu memberikan solusi. Namun buruh tetap saja melakukan aksi-aksi ini untuk memberikan hasrat kepuasan pada mereka. Unek-unek yang disampaikan seperti tertiup angin yang tak kan pernah menemukan wadah untuk menampungnya.
Di Indonesia sebenarnya pemerintah sudah berusaha untuk memperbaiki kehidupan buruh. Banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Mulai dari menjadikan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional. Dan juga gaji yang terus menerus dinaikan serta jaminan kesehatan bagi buruh.
Namun hal itu tidak bisa memuasakan pihak buruh. Buruh tetap saja merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Pada peringatan “may day” 2014, buruh memiliki 10 tuntutan kepada pemerintah[1], yaitu: pertama, naikkan upah minimum 2015 sebesar 30% dan revisi KHL menjadi 84 item, kedua, tolak penangguhan upah minimum, ketiga, jalankan jaminan pension wajib bagi buruh pada Juli 2015, keempat, jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut Permenkes 69/2013 tentang tariff, serta ganti INA CBG’s dengan Fee For Service, audit BPJS Kesehatan dn BPJS Ketenagakerjaan, kelima, hapus outsourcing, khususnya outsourcing di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja outsourching.
Keenam, sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39/2004, ketujuh, cabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan, kedelapan, angkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 Juta per orag/per bulan dari APBN untuk guru honorer, kesembilan, sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh, dan kesepuluh, jalankan wajib belajar 10 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.
  Tuntutan buruh kepada pemerintah tersebut sah-sah saja. Namun buruh juga seharusnya mencari cara lain untuk mengisi “may day”, supaya tidak hanya dihiasi oleh demonstrasi saja, karena akan memecahkan problem dan tidak akan menemukan subtansi solusinya. Buruh seharusnya bergemuruh dengan melakukan kegiatan yang berguna bagi lingkungan. Seperti, mananam pohon, bakti sosial dan sejenisnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sofyan Wanandi, mengatakan bahwa gemuruhan buruh dengan tuntutan kenaikan upah bukanlah solusi. Namun ada aspek lain yang lebih urgen diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah akan terus menerus mendengar jeritan buruh yang akan terus menerus meminta upahnya untuk selalu dinaikan apabila formula dari pemerintah tidak mampu menjawab akar tuntutan buruh.
Sebenarnya, buruh di Republik ini memiliki problem. Dimana buruh di Republik ini tidak memiliki wadah khusus di bidang politik. Partai politik yang khusus menyuarakan suara buruh tidak ada. Pernah ada, namun tidak bisa bersaing dengan partai lainnya.
Tidak adanya wadah inilah yang membuat buruh di Republik ini menjadi liar. Liar dalam artian tidak pernah merasa puas dengan pemerintah, sehingga terus menerus melakukan tuntutan yang tak akan pernah berujung. Bisa dilihat buruh di Republik ini sering sekali mengeluh akan profesinya. Padahal profesi lainnya pun tidak bernasib sebaik buruh.   
Untuk menyelesaikan rautan buruh, seharusnya buruh membangun kembali partai politik yang bisa menyuarakan profesinya. Dengan adanya wadah dibidang politik, maka buruh di Republik ini akan tidak seliar sekarang. Aspirasi buruh akan menjadi lebih bisa terakomodir dan akan lebih paham dengan keadaan Republik ini. Tanpa partai politik, buruh akan terus bergemuruh.



[1] “Ini Sepuluh Tuntutan Buruh Pada May Day 2014 (1/05/2014)”, http://nasional.kompas.com , diakses tanggal 2 Mei 2014.