Oleh: Dedet Zelthauzallam
Proses demokrasi langsung selalu diwarnai
dengan berbagai macam isu. Isu yang diangkat pun kadang tidak masuk akal, hanya
bersifat semu yang tak ada muaranya. Kadang para pemainnya tidak menghargai
proses dan menghalalkan segala cara demi menuju singgasana kekuasaan. Begitulah
demokrasi yang kental dengan aroma politik.
Begitu
pun yang terjadi saat menjelang pilpres pada tanggal 9 Juli mendatang. Banyak
sekali isu yang diangkat untuk menjatuhkan lawan. Isu yang memiliki landasan data
memang boleh-boleh saja dilakukan. Namun apabila tidak ada landasan, maka
itulah yang sangat disayangkan.
Dalam
melihat isu, ada yang dikatagorikan sebagai negative
campaign dan black campaign. Negative campaign merupakan isu yang
memiliki landasan untuk menyerang lawan, sehingga konstituen mengetahui
bagaimana track record dari calon
tersebut. Sedangkan black campaign merupakan
isu yang tidak memiliki landasan, dimana tujuan utamanya untuk mempengaruhi
konstituen atau bisa disebut sebagai fitnah. Black campaign inilah yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun,
karena ini hanya akan membuat keadaan menjadi keruh.
Saat
ini, black campaign sangat sering
dikumandangkan menjelang waktu pemilihan. Ada kubu yang memilih untuk terus
menerus menyerang, dilain sisi ada kubu yang cenderung untuk bertahan. Isu yang
diangkat masih dominan mengarah ke hal-hal yang berbau SARA. Banyak kalangan
yang menilai isu seperti ini tidak efektif lagi dan malah akan menjadi
bumerang.
Konstituen
tidak boleh cepat terpengaruh oleh isu-isu yang bersifat black
campaign. Pemilih harus bisa untuk mem-filter,
mana isu yang bersifat memprovokasi, mana isu yang benar-benar memiliki
landasan. Pemilih harus bisa mengkomparasi isu yang didapatkan, khususnya isu
yang bersumber dari media, karena media dewasa ini banyak yang tidak menyajikan
berita dengan akurat dan valid.
Black campaign
juga bertebaran di jejaring sosial, seperti facebook, twitter, path maupun
sejenisnya. Kadang akun yang digunakan untuk menyebar isu pun banyak yang palsu.
Pemilik akunnya bagaikan silumanan yang tak menahu asalnya. Namun, masyarakat
banyak yang terlarut dengan isu-isu tersebut.
Untuk
itu, pemilih untuk pilpres 2014 ini diharapkan menjadi pemilih yang benar-benar
cerdas. Cerdas dalam artian bisa memilih satu diantara keduanya, karena
didasari oleh kapabalitas dan integritas calon tersebut. Jangan sampai terlena
dengan black campaign yang lebih
banyak berifat menghasut, tanpa mengarah ke subtansi.
Pemilih
cerdas juga bisa disematkan kepada pemilih yang berani mengatakan say no to money politic. Kita ketahui
bersama pileg yang dilakukan pada tanggal 9 April yang lalu masih diwarnai oleh
praktek jual beli suara. Banyak pemilih yang secara terang-terangan menerima
uang untuk memilih calon bersangkutan. Ada pemilih yang mengatakan tanpa uang tidak
mau memilih. Prilaku seperti itu harus segera ditinggalkan demi menata masa
depan bangsa ini.
Dengan
melihat kapabalitas dan integritas serta menolak money politic sudah cukup untuk bisa menghasilkan pemimpin yang akan
mampu membawa Republik ini ke arah yang lebih baik. Apakah konstituen (pemilih)
sudah siap menelurkan pemimpin seperti itu atau akan tetap memilih untuk berada
dalam lingkaran budaya lama yang hanya menyuburkan prilaku yang merugikan
rakyat. Jawabannya ada ditangan sekitar 190 juta rakyat Indonesia yang akan
menggunakan hak suaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden periode
2014-2015. Apakah rakyat akan memilih move
on atau move off? Semoga seluruh
konstituen memilih untuk move on
supaya Republik yang nan kaya ini menjadi lebih baik. Merdeka!
No comments:
Post a Comment