Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada
tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyampaikan idenya
mengenai dasar Negara Republik Indonesia. Bung Karno menyatakan bahwa perlu adanya
sebuah dasar negara yang kokoh yang bersumber dari nilai-nilai asli yang ada
dalam bangsa kita. Untuk itulah, Bung Karno memperkenalkan lima dasar yang disebut
sebagai Pancasila yang meliputi, 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme
atau Peri Kemanusiaan, 3) Musyawarah Mufakat, 4) Kesejahteraan Sosial, dan 5)
Ke-Tuhanan. Lima dasar tesebut bisa diperas menjadi tiga dasar (Trisula) yaitu,
1) Socio-Nationalisme, 2) Socio-Demokratis, dan 3) Ke-Tuhanan. Dan yang tiga itu
pun bisa menjadi satu yang disebut sebagai Ekasila, yaitu gotong royong.
Pancasila
versi Soekarno tersebut direvisi Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI
yang diketuai oleh Bung Karno sendiri. Tujuannya adalah untuk menyelaraskan
semua usulan anggota-anggotanya. Dan akhirnya setelah melewati perdebatan yang
cukup alot, khususnya mengenai sila pertama yang menyatakan ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menemukan titik
temu. Dimana kata-kata kewajiban menjalankan syariat Islam tidak digunakan,
karena dinilai tidak relavan dengan keadaan bangsa Indonesia yang plural.
Dan
setelah satu hari kita merdeka, Pancasila secara resmi dijadikan sebagai dasar
negara dengan susunan, yaitu 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5) Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila ini diharapkan akan bisa menjadi
pondasi yang kuat bagi masyarat Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dimana Pancasila menjadi ideologi bangsa, falsafah hidup dan pedoman
hidup serta sebagai kepribadian bangsa.
Namun
setelah 69 tahun Pacasila disampaikan oleh Soekarno, sepertinya nilai-nilai
yang terkandung didalamnya semakin menipis. Pancasila semakin langka dalam diri
anak bangsa. Anak bangsa mulai tidak mengenal apa itu Pancasila. Dan dengan
kata lain Pancasila bisa dikatakan akan menjadi barang antik di masa depan
apabila tidak ada formula untuk menanamkan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Di
era globalisasi yang menyajikan pola hubungan antar bangsa dan negara seolah-olah
tanpa batas (borderless), saling
bergantung (interdependency) dan
saling terhubung (interconnected) menuntut
setiap bangsa dan negara di dunia untuk memiliki budaya yang tangguh dan
pedoman hidup supaya tidak mudah terombang-ambing oleh budaya lain, maka
Indonesia harus mengembalikan dan menjadikan serta mematri nilai-nilai Pancasila
di dalam diri anak bangsa, sehingga Republik tercinta ini menjadi bangsa yang
berdikari dan memiliki kepribadian.
Pemimpin Menjadi Pioner
Dalam mematri nilai-nilai Pancasila dalam
masyarakat, yang memiliki peran yang sangat urgen
adalah pemimpin. Pemimpin di Republik ini, mulai dari tingkat atas sampai bawah
harus menjadi pioner dalam mengaplikasikan nilai-nilai yag terkandung dalam
Pancasila, mulai dari sila Ketuhanan sampai keadilan sosial. Pengaplikasiannya bisa
dilakukan melalui sikap dan prilaku maupun kebijakan-kebijakan yang diambil
olehnya. Apakah sudah sesuai dengan amanah Pancasila atau tidak.
Inilah
hal yang lumayan sulit, karena mayoritas pemimpin kita dewasa ini
mempertontonkan sikap yang jauh dari nilai-nilai dalam Pancasila. Baik itu
penyimpangan dari nilai-nilai agama maupun mengambil kebijakan yang tidak berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak pemimpin di Republik ini melakukan
tindakan-tindakan inmoral, korupsi, kolusi dan nepotisme maupun
kegiatan-kegiatan yang memecah persatuan dan kesatuan.
Kalau
sudah seperti itu, lalu siapa yang diharapkan sebagai pioner? Jawabannya adalah
presiden dan wakil presiden yang akan terpilih nantinya dalam Pilpres pada
tanggal 9 Juli mendatang. Diharapkan mereka yang terpilih akan mampu menjadi pioner
bagi pengembalian nilai-nilai Pancasila.
Memang
secercah harapan datang dari para capres dan cawapres yang mengumandangkan
nilai-nilai Pancasila dalam setiap visi dan misi serta retorika politiknya. Namun
dilain sisi, kita melihat sangat miris dan menyedihkan. Dimana banyak sekali
sikap dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang
dilakukan oleh capres dan cawapres beserta tim suksesnya. Tak tanggung-tanggung
segala cara dihalalkan demi menuai simpati dari rakyat. Ada yang membawa isu
SARA, ada juga mengungkapkan kasus masa lalu yang kebenarannya masih semu. Ada pun
yang melontarkan argumen yang sangat bersifat mengadu domba.
Kalau
seperti itu prilaku calon pemimpin kita, siapa lagi yang diharapkan untuk menpertahankan
nilai-nilai Pancasila. Harapan terakhir adalah dari diri kita sendiri. Setiap
anak bangsa, minimal harus mampu menjadi pemimpin untuk diri sendiri. Artinya,
harus bisa mematri benar-benar nilai-nilai Pancasila di dalam dirinya. Harus ada
komitmen dan konsisten supaya dalam tindak tanduk kehidupan berbangsa dan
bernegara di Republik ini bersandar pada Pancasila. Apabila kita bisa, maka
saya yakin dan percaya Republik yang kaya nan subur ini akan mampu menjadi
kiblat dari bangsa lain.
No comments:
Post a Comment