Oleh: Dedet Zelthauzallam
Tak
terasa Pilpres 2014 sudah memasuki pada tahap kampanye terbuka. Kampanye
terbuka ini ditandai dengan adanya deklarasi kampanye damai yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pemilu. Tema yang diangkat pun sangatlah mulia, yaitu
Pilpres bertintegritas dan damai. Dimana para penyelenggara dan peserta pemilu sama-sama
dituntut untuk berjanji dan bertekad dalam mewujudkan tema tersebut.
Kedua
pasangan capres dan cawapres pun sama-sama mengajak seluruh elemen masyarakat,
khususnya para simpatisan untuk tetap berada dalam koridor yang benar dalam
melakukan kampanye. Artinya kampanye yang dilakukan harus benar-benar sesuai
dengan aturan, baik yang tertulis maupun tidak serta tidak melanggar etika dan
moral yang ada dalam lingkungan masyarakat.
Pada
deklarasi tersebut, Jokowi mengatakan bahwa demokrasi yang dilakukan harus
demokrasi yang mensejahterakan, bukan demokrasi yang mencelakan. Demokrasi
tidak boleh dilakukan dengan tindakan intimidasi, karena demokrasi seharusnya
menjadi kemenangan rakyat Indonesia. Prabowo pun mengatakan akan menghargai apa
pun yang menjadi kehendak rakyat.
Apa
yang telah disampaikan oleh kedua pasangan dalam deklarasi tersebut tentunya
perlu dibuktikan, bukan hanya dalam retorika semata., karena bisa dilihat
bagaimana isu-isu selama ini berhembus liar dalam kehidupan masyarakat. Banyak
isu-isu yang beredar tidak memiliki data yang jelas, sehingga isu tersebut bisa
dikatagorikan sebagai black campaign.
Black campaign yang
dilakukan dewasa ini sering dilakukan diranah media sosial. Medsos menjadi wadah
yang empuk dalam menyebarkan isu-isu. Apalagi para pencinta medsos terus
menerus terjebak dalam informasi yang tak jelas asalnya darimana. Isu itu ada
yang menyangkut masalah SARA. Padahal masalah ini sangat rentan mengganggu
kedaulatan Republik yang plural ini.
Black campaign
memiliki efek yang tidak baik di alam demokrasi yang hanya akan menimbulkan kerusakan
yang semakin parah bagi sendi-sendi kehidupan yang akan terus menerus
membelenggu masa depan Republik ini. Untuk
itulah, semua pihak, khususnya peserta Pilpres yang memiliki tujuan yang sama
dalam memajukan Republik ini tidak boleh terlarut dengan praktek black campaign.
Kampanye
yang dilakukan pada Pilpres 2014 ini hendaknya harus bebas dari namanya black campaign, supaya presiden dan
wakil presiden yang ditelurkan mampu menjawab tantangan yang multidemensi
yang sedang melanda Republik ini. Tentunya pemimpin seperti itu dihasilkan dari
proses yang selalu taat pada aturan main yang sudah ditetapkan, karena ada
adagium yang menyatakan bahwa lantai yang kotor tidak akan bisa dibersihkan
dengan sapu yang kotor.
Hendaknya
dalam melaksanakan kampanye lebih mengarah kepada hal-hal yang positif nan
mendidik. Dimana para peserta dan tim dalam mengambil suara rakyat lebih memberikan
formula yang jelas dalam menjawab tantangan di aras lokal, nasional, regional
maupun global. Dan yang terpenting
adalah apabila melakukan serangan pada lawan harus berdasarkan pada data yang
memang valid dan akurat, supaya tidak dikatagorikan sebagai black campaign.
Kampanye
yang dilakukan juga hendaknya tidak diwarnai dengan kegiatan
menghambur-hamburkan uang, baik untuk memobilisasi masa maupun membeli suara,
karena ini akan menjadi bumerang bagi pihak tersebut, baik terpilih maupun
tidak terpilih. Apabila terpilih ini akan menjadi bibit dalam menyuburkan
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Seharusnya
setiap perhelatan demokrasi di Republik ini harus bisa memenangkan hati rakyat.
Artinya, rakyat sebagai konstituen yang memegang kedaulatan tertinggi harus merasa
sangat bahagia ketika proses pemilu ini berjalan, berakhir maupun pada saat
proses pelaksanaan amanah selama lima tahun yang akan datang. Jangan seperti
saat ini yang lebih mengarah pada perasaan takut, cemas dan pesimis.
Kebahagian
rakyat akan bisa tumbuh apabila para penyelenggara dan peserta pemilu memiliki
komitmen dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang berlaku di Republik ini,
khususnya nilai-nilai yang ada dalam sila Pancasila, mulai dari ketuhanan
sampai keadilan sosial. Kelima sila tersebut harus menjadi pedoman dalam
melaksanakan setiap kegiatan di Republik ini, sehingga akan memberikan iklim
yang mengidupkan bagi seluruh rakyat, bukan bagi segelintir orang.
Memenangkan
hati rakyat akan sulit terealisasi ketika para calon pemimpin dan timnya masih
terbelenggu dalam budaya politik praktis dewasa ini. Politik yang menghalalkan segala
cara dalam mendapatkan kursi kekuasaan. Politik yang tidak mengedepankan
proses, hanya melihat hasil. Politik yang memutihkan yang hitam, menghitamkan
yang putih.
Proses
prilaku seperti itu akan hanya membelenggu tujuan berbangsa dan bernegara kita,
karena tidak akan mampu menyentuh hati rakyat. Rakyat hanya akan sebagai objek
yang tak diperdayakan. Hanya akan dicari dan digombalin setiap lima tahun
sekali oleh para pencari rente kekuasaan.
Apabila
seperti itu yang terjadi, maka seharusnya kampanye pilpres yang sedang menentukan
RI-1 dan RI-2 menjadi momentum untuk memperbaiki diri bagi seluruh rakyat
Indonesia, mulai dari tingkat bawah sampai atas. Lebih khusus kepada capres dan
cawapres beserta tim untuk bisa memenangkan hati rakyat Indonesia, supaya lima tahun
ke depan masa depan Republik ini lebih cerah dari sebelumnya.
Siapa
pun yang menang harus mampu memenangkan hati rakyat, bukan karena strategi
licin nan licik. Tetapi karena memang karena pilihan rakyat. Rakyat harus mampu
mengambil hati rakyat supaya rakyat memiliki rasa optimis yang tinggi dalam
membangun Republik ini menuju Indonesia lebih baik.
No comments:
Post a Comment