Pages

Thursday, 19 June 2014

PANCASILA SEBAGAI OBAT BANGSA


Oleh: Dedet Zelthauzallam 
Dewasa ini, Republik Indonesia sepertinya sedang dilanda oleh penyakit akut yang terminal. Dimana penyakit tersebut datang bertubi-tubi, mulai dari pangkal sampai ujung semuanya hampir terinfeksi. Penyakit yang dimaksud adalah kasus-kasus yang membelenggu cita-cita bangsa dan negara ini, seperti korupsi yang semakin merajalela, krisis etika moral, konflik SARA dan lainnya.
Korupsi yang semakin merajalela ini bisa dilihat dari jumlah pejabat di Republik ini, baik pusat maupun daerah yang terus menerus tersandung kasus korupsi. Korupsi yang dilakukan pun dilakukan dengan berbagai macam modus. Mulai dari penyalahgunaan kewenangan, penyelewengan dana bansos, permainan proyek sampai perijinan. Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, pejabat pusat sudah ada dua yang masuk jaring KPK, yaitu Hadi Poernomo (mantan Ketua BPK RI) dan Suryadarma Ali (Menteri Agama), sedangkan untuk pejabat daerah, lebih tepatnya kepala daerah, sudah ada empat yang tersandera oleh KPK, yaitu Rachmat Yasin (Bupati Bogor), Romi Herton (Walikota Palembang), Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makasar), Numfor Yesaya Sombuk (Bupati Biak). Ini baru tersangka korupsi yang ditetapkan oleh KPK, belum lagi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Untuk kasus etika moral ini pun semakin menyedihkan dan suram di Republik ini, khususnya di tahun 2014 ini. Banyak kasus yang sangat mendegradasi etika moral anak bangsa Republik ini, khususnya dalam masalah kekerasan seksual pada anak. Bisa dibayangkan kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak (sodomi) sangatlah parah pada tahun ini. Dimulai dari terbongkarnya kasus yang terjadi di sekolah internasional, JIS, kemudian merembet kekasus-kasus yang ada di daerah lain, seperti kasus Emon di Sukabumi. Emon melakukan tindakan yang sangatlah over yang menyebabkan lebih dari seratus anak terindikasi menjadi korbannya. Belum lagi masalah etika moral lainnya, mulai dari tidak adanya kesadaran anak bangsa untuk melaksanakan budaya warisan nenek moyang kita yang memiliki nilai-nilai yang sangat luar biasa. Belum lagi pemimpin di Republik ini yang tidak memberikan tauladan kepada yang dipimpinnya, malah mereka mempertontonkan tindakan dan prilaku yang tidak sesui dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Dan untuk masalah SARA di Republik ini cenderung masih belum terkontrol. Ada beberapa pihak yang masih menggunakan isu SARA sebagai senjata dalam memuluskan kepentingan, sehingga inilah yang memicu instabilitas di Republik yang sangat majemuk ini. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Ini merupakan sebuah tindakan yang sangat membahayakan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).   
Dengan akutnya penyakit tersebut, maka dibutuhkanlah obat yang super untuk bisa menyebuhkan masalah yang melanda Republik ini. Obat bagi Republik ini menurut saya harus dicari di alam tanah air kita, bukan di negeri orang. Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial budaya, sistem pemaknaan dan pandangan dunia sendiri dari hasil warisan nenek moyang yang hidup berjuta tahun sebelumnya.
Tentunya obat yang dimaksud adalah Pancasila, karena Pancasila-lah yang menjadi dasar negara kita. Yang namanya dasar berarti merupakan pedoman dari segala bentuk kehidupan di Republik ini. Itu artinya semua masalah akan bermuara pada dasar negara kita, yaitu Pancasila, sehingga usaha penyembuhan yang dilakukan perlu dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa yang berlandasakan dasar falsafah dan pandangan bangsa Indonesia sendiri yang terpatri dalam kelima sila Pancasila. Pancasila juga merupakan hasil rumusan dari para pendiri bangsa yang telah mempertimbangkan aspek-aspek yang urgen melalui usaha penggalian, penyerapan, kontekstualitas, rasionalitas dan aktualisasi.  
Pancasila sebagai Obat
 Pancasila menurut sang penggagas, yaitu Ir. Soekarno, merupakan gagasan yang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia. Beliau mengatakan bahwa kita dalam mengadakan Negara Indonesia merdeka itu harus dapat meletakkan negara itu di atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, namun juga harus mempunyai tuntutan dinamis ke arah mana kita akan gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini (Yudi Latif, 2012).
Dari pernyataan Soekarno tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa Pancasila tidak disiapkan dalam kurun waktu tertentu, tetapi disiapkan untuk jangka waktu yang tak terbatas (bersifat abadi), dengan kata lain sampai Republik Indonesia hancur lebur baru Pancasila tidak menjadi landasan dasar. Itulah sebabnya, kita sebagai penerus bangsa sangatlah salah besar ketika perubahan rezim kekuasaan juga ikut mempengaruhi ketaatan kita terhadap Pancasila. Para pemegang tampuk kekuasaan seharusnya taat kepada Pancasila tanpa ada kata kompromi, bukan malah sebaliknya.
Sifat dinamis dari Pancasila hendaknya selalu diadaptasikan oleh setiap rezim maupun seluruh rakyat Indonesia untuk menghadapi  berbagai bentuk perubahan nilai-nilai, baik dalam skala nasional, regional dan global, bukan malah kita meninggalkan Pancasila sepenuhnya. Pancasila akan menjadi pembawa angin segar bagi kehidupan di era globalisasi ini, karena akan menjadi tameng kita dalam mem-filter nilai-nilai yang berasal dari luar.
Seharusnya kita semua patut bersyukur memiliki Bapak bangsa yang luar biasa jeniusnya, karena diwariskan sebuah dasar negara, Pancasila, yang mampu mengakomodir perbedaan yang bisa dipersatukan di Republik ini, dimana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak memiliki batas kadawarsa. Tidak seperti mayoritas negara-negara di dunia yang tidak memiliki dasar yang kokoh, sehingga menyebabkan mereka terbelengu dengan masalah-masalah dasar yang cenderung menjadi katalis konflik yang berujung pada pertumpahan darah antar sesama warga negara maupun kelompok masyarakat. Sebagai contoh, negara-negara Timur Tengah yang saat ini terus menerus berkonflik tanpa ujung.
Banyak pihak menilai Pancasila yang disahkan sehari pasca kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, merupakan bentuk yang paling sempurna. Dimana tujuh kata yang ada dalam sila pertama (Piagam Jakarta) akhirnya dihapus (dihilangkan). Sebelumnya tujuh kata tersebut menjadi perdebatan yang alot, antara golongan kebangsaan dan Islam. Bisa dibayangkan bagaimana tambah terpuruknya Republik tercinta kita ini apabila tidak memiliki dasar yang kuat nan sempurna. Dalam keadaan memiliki dasar negara yang luar biasa saja, Republik ini sudah terombang-ambing dengan permasalahan multidimensi yang terus menerus melanda.
Sekarang tugas kita tinggal bagaimana nilai-nilai yang ada di dalam kelima sila diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan harus tetap mematri dalam jiwa raga anak bangsa Republik ini. Nilai-nilai yang terkandung tersebut harus senantiasa diamalkan selama nafas masih berhembus. Hembusan nafas tidak boleh menjauhi kelima sila, mulai dari ke-Tuhanan sampai keadilan sosial, karena tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menompang peradaban besar (John Gardner, 1992).  Jadi kita harus percaya kepada warisan Bapak bangsa kita, yaitu Pancasila, supaya Republik Indonesia ini mampu menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara lainnya, seperti Amerika, Republik Tiongkok, Jepang, Inggris dan lainnya.
Pemimpin sebagai Dokter
Telah saya katakan sebelumnya bahwa seluruh anak bangsa harus selalu bernafas dengan nilai-nilai Pancasila dalam setiap prilaku dan tindakannya. Itu berarti yang harus diberikan obat Pancasila adalah seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tentunya dalam pemberian obat Pancasila tidak bisa serta merta langsung kepada seluruh rakyat Indonesia, tetapi harus diberikan secara berkala dan berkelanjutan. Cara pemberian obat ini pun tidak mudah, tidak seperti yang dilakukan oleh para dokter yang hanya menuliskan resep kemudian pasien langsung bisa membelinya ke apotek.  Tetapi untuk obat Pancasila dilakukan melalui suatu proses, yaitu pendidikan dan ketauladanan dari pemimpin (Presiden sampai tingkat terbawah, anggota legislatif maupun ekskutif) di Republik ini.
Pemimpin disini memiliki peran yang sangat strategis dalam mengeluarkan bangsa ini dari jeratan masalah yang multidemensi nan akut. Dimana pemimpin  di Republik ini harus menjadi pioner dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, mulai dari ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan perwakilan sampai keadilan sosial. Kelima sila tersebut hendaknya terus menerus diamalkan dalam setiap tindakan mereka, baik yang bersifat pribadi maupun publik, karena merekalah menjadi cermin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya kebijakan yang ditelurkan harus tetap memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Artinya, bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dan bebas dari intervensi siapa pun, singkat kata kebijakan tanpa KKN. Apabila hal ini bisa dilakukan, maka saya yakin dan percaya Republik yang kaya nan subur ini akan menjadi kekuatan baru di dunia. Tetapi apabila pemimpin kita tidak bisa menjadi pioner, maka bangsa ini akan tetap terebelenggu seperti dewasa ini.
Untuk itulah, kita memiliki harapan yang besar kepada pemimpin Republik ini yang akan datang, baik pemimpin politis maupun pemimpin karir harus senantiasa menjadi contoh utama. Pemimpin politis yang notabenenya dilahirkan dari partai politik yang dipilih setiap lima tahun sekali oleh rakyat hendaknya diisi oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki jiwa Pancasila, supaya tidak seperti dewasa ini yang hanya dipenuhi oleh mereka yang populer dan memiliki banyak rupiah.  
Begitu pun untuk pemimpin karir, hendaknya selalu menjadi contoh utama dalam setiap tindakan dan perbuatannya. Salah satu wadah yang bisa dikatakan sebagai pabrik pemimpin karir di Republik ini adalah lembaga pendidikan tempat kita ditempa, yaitu IPDN. IPDN sebagai salah satu wadah yang bisa diharapkan untuk memproduksi calon pemimpin (pamong praja) yang berjiwa Pancasila, karena kita ketahui bersama bahwa alumni-alumni IPDN akan menyebar ke seluruh pelosok nusantara. Diharapkan dari alumni-alumni inilah nilai-nilai Pancasila mulai digelorakan di tengah-tengah kehidupan sosial-masyarakat. Dengan begitu, maka alumni IPDN akan mendapatkan predikat sang pencerah, karena kemampuannya mematri nilai-nilai Pancasila pada dirinya dan orang lain (masyarakat).
  

No comments:

Post a Comment