Oleh: Dedet Zelthauzallam
“May Day” merupakan
harinya buruh. Pada hari ini buruh bergemuruh dalam menuntut perbaikan dibidang
profesinya. Tuntutan-tuntutan dilayangkan kepada pihak penguasa. Penguasa hanya
bisa terdiam membisu mendengarkan rautan jutaan buruh. Intinya pada hari ini,
buruh di Republik ini tidak pernah merasa puas kepada penguasa (pemerintah). Itulah
sebabnya, hari ini selalu identik dengan aksi demonstrasi.
Demonstrasi
yang dilakukan setiap tahun kadang tidak mampu memberikan solusi. Namun buruh
tetap saja melakukan aksi-aksi ini untuk memberikan hasrat kepuasan pada
mereka. Unek-unek yang disampaikan seperti tertiup angin yang tak kan pernah
menemukan wadah untuk menampungnya.
Di
Indonesia sebenarnya pemerintah sudah berusaha untuk memperbaiki kehidupan
buruh. Banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Mulai dari menjadikan
tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional. Dan juga gaji yang terus menerus
dinaikan serta jaminan kesehatan bagi buruh.
Namun
hal itu tidak bisa memuasakan pihak buruh. Buruh tetap saja merasa tidak puas
dengan kebijakan pemerintah. Pada peringatan “may day” 2014, buruh
memiliki 10 tuntutan kepada pemerintah[1], yaitu: pertama, naikkan upah minimum 2015
sebesar 30% dan revisi KHL menjadi 84 item, kedua,
tolak penangguhan upah minimum, ketiga,
jalankan jaminan pension wajib bagi buruh pada Juli 2015, keempat, jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara
cabut Permenkes 69/2013 tentang tariff, serta ganti INA CBG’s dengan Fee For Service, audit BPJS Kesehatan dn
BPJS Ketenagakerjaan, kelima, hapus outsourcing, khususnya outsourcing di BUMN dan pengangkatan
sebagai pekerja tetap seluruh pekerja outsourching.
Keenam,
sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39/2004, ketujuh, cabut UU Ormas ganti dengan RUU
Perkumpulan, kedelapan, angkat
pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 Juta per orag/per
bulan dari APBN untuk guru honorer, kesembilan,
sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh, dan kesepuluh, jalankan wajib belajar 10
tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.
Tuntutan
buruh kepada pemerintah tersebut sah-sah saja. Namun buruh juga seharusnya
mencari cara lain untuk mengisi “may day”,
supaya tidak hanya dihiasi oleh demonstrasi saja, karena akan memecahkan problem
dan tidak akan menemukan subtansi solusinya. Buruh seharusnya bergemuruh dengan
melakukan kegiatan yang berguna bagi lingkungan. Seperti, mananam pohon, bakti sosial
dan sejenisnya.
Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sofyan Wanandi, mengatakan bahwa gemuruhan
buruh dengan tuntutan kenaikan upah bukanlah solusi. Namun ada aspek lain yang
lebih urgen diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah akan terus menerus
mendengar jeritan buruh yang akan terus menerus meminta upahnya untuk selalu dinaikan
apabila formula dari pemerintah tidak mampu menjawab akar tuntutan buruh.
Sebenarnya,
buruh di Republik ini memiliki problem. Dimana buruh di Republik ini tidak
memiliki wadah khusus di bidang politik. Partai politik yang khusus menyuarakan
suara buruh tidak ada. Pernah ada, namun tidak bisa bersaing dengan partai
lainnya.
Tidak
adanya wadah inilah yang membuat buruh di Republik ini menjadi liar. Liar dalam
artian tidak pernah merasa puas dengan pemerintah, sehingga terus menerus
melakukan tuntutan yang tak akan pernah berujung. Bisa dilihat buruh di
Republik ini sering sekali mengeluh akan profesinya. Padahal profesi lainnya
pun tidak bernasib sebaik buruh.
Untuk
menyelesaikan rautan buruh, seharusnya buruh membangun kembali partai politik
yang bisa menyuarakan profesinya. Dengan adanya wadah dibidang politik, maka
buruh di Republik ini akan tidak seliar sekarang. Aspirasi buruh akan menjadi
lebih bisa terakomodir dan akan lebih paham dengan keadaan Republik ini. Tanpa partai
politik, buruh akan terus bergemuruh.
[1] “Ini
Sepuluh Tuntutan Buruh Pada May Day 2014 (1/05/2014)”, http://nasional.kompas.com , diakses
tanggal 2 Mei 2014.
No comments:
Post a Comment