Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca
reformasi 1998 bergulir, banyak hal yang berubah di Republik ini. Tak
terkecuali hubungan pemerintah pusat dengan daerah, yang awalnya lebih
bernuansa dekonsentrasi berubah menjadi desentralisasi yang berotonomi daerah. Perubahan
itu bisa dilihat dari bagaimana urusan-urusan pemerintah lebih banyak berada
ditangan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat hanya meninggalkan enam urusan
yang mutlak dipegang, yaitu hubungan internasional, keamanan, pertahanan,
yustisi, moneter dan agama. Sedangkan diluar itu menjadi milik pemerintah
daerah.
Tujuan
pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk mempercepat pembangunan, kesejahteraan
dan meningkatkan daya saing daerah.
Namun, pemberlakuan otonomi daerah sejak era reformasi tidak berjalan dengan
mulus. Otonomi daerah yang awalnya diyakini akan menjadi obat mujarab, nyatanya
kurang manjur dalam menjawab realita di Republik ini, khususnya pemerintahan
daerah. Di bawah rezim otonomi daerah, peningkatan kesejahteraan tetap saja
berjalan lamban bak kura-kura.
Persoalan
utama di rezim otonomi daerah diakibatkan oleh hiruk pikuk pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat. Pemilihan itu hanya menelurkan persaingan
dalam merebut kekuasaan. Persaingan kekuasaan selalu menghiasi perjalanan
otonomi daerah, sehingga elite daerah hanya disibukan untuk berpikir bagaimana
caranya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Ada
elite yang kalah mencari jalan lain, supaya kekuasaan bisa tetap dimiliki
olehnya. Jalan yang ditempuh banyak melalui pemekaran daerah baru (DOB). Dimana
mereka mengatasnamakan nama rakyat dengan iming-iming untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan mereka. Namun pemekaran tersebut bersifat politis
yang hanya akan menimbulkan permasalahan baru di rezim otonomi daerah. Setiap
daerah kini berlomba-lomba mengajukan pemekaran daerah.
Menurut
data dari Kementerian Dalam Negeri, sejak 1999-2009 sudah terbentuk 220 daerah
otonomi baru, terdiri dari 7 provinsi, 213 kabupaten dan kota[1]. Dan ada 65 DOB yang
disahkan oleh DPR pada Oktober tahun 2013[2]. Dengan banyaknya usulan
DOB ini akan memberikan keprihatinan bagi masa depan otonomi di Republik ini,
karena sampai saat ini menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengatakan
bahwa presentase keberhasilan DOB yang sudah terbentuk kecil, hanya 20%-30%
yang bisa tergolong berhasil.
Untuk
menanggapi problem tersebut, tentunya pemerintah selaku pihak ekskutif dan DPR
pihak legislatif perlu lebih memperketat lagi regulasi pemekaran daerah otonom,
supaya tidak seperti dewasa ini. Moratorium yang sudah dilakukan pemerintah
menjadi salah satu langkah yang positif, tetapi perlu ada dukungan yang lebih
dari DPR, karena pemekaran daerah bisa diajukan melalui dua pintu (Kementerian
Dalam Negeri dan DPR). DPR menjadi pintu favorit bagi mereka yang berhasrat
membentuk DOB.
Komparasi DOB Era Reformasi dan Orde
Baru
Pasca
reformasi, tata cara pembentukan daerah otonomi baru bisa dikatakan jauh lebih
longgar dibandingkan dengan masa orde baru. Kelonggaran itu bisa dilihat dari
ratusan daerah otonomi baru yang terbentuk dalam kurun waktu satu dasawarsa. Isi
UU Pemerintahan Daerah antara 22 tahun 1999 yang diamandemen menjadi UU 32 tahun
2004 dengan UU 5 tahun 1974 memang banyak perbedaan, khususnya dalam hal tata
cara pembentukan daerah otonomi baru.
Banyak
pihak menilai bahwa dalam hal penataan daerah otonomi baru, UU 5 tahun 1974
lebih baik dibandingkan UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004. Ini
disebabkan karena di dalam UU 5 tahun 1974, daerah otonomi baru harus
dipersiapkan dalam beberapa tahun untuk bisa menjadi daerah yang berotonom.
Apabila daerah yang sedang dipersiapkan dinilai tidak memenuhi syarat, maka
daerah otonomi baru tersebut akan kembali bergabung ke daerah induk. Ini bisa
dilihat dari jumlah daerah yang dimekarkan di era orde baru. Hanya ada tiga
provinsi yang dimekarkan dalam kurun waktu 32 tahun, yaitu Bengkulu, Irian
Barat dan Timur Timor.
Mayoritas
pembentukan daerah di era orde baru adalah adalah pembentukan daerah Kotamadya
(sekarang kota) sebagai konsekuensi dari proes pengkotaan sebagian wilayah
kabupaten. Proses pemekaran diawali dengan pembentukan Kota administratif
sebagai wilayah administratif, yang kemudian menjadi cikal bakal Kotamadya yang
bersifat otonom. Proses pemekaran tersebut juga harus bersifat top down dan didominasi proses
teknokratis administratif.
Di
era reformasi, pengajuan pembentukan daerah otonomi baru tidak lagi berpijak
pada UU 5 tahun 1974, tetapi berpijak pada UU 22 tahun 1999 tantang Pemerintahan Daerah jo PP 129
tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan , Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Dalam ketentuan pasal 5 ayat 1 UU 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah
dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daearah dan pertimbangan lain
yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Regulasi tersebut memang
memberi ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonomi baru.
Kelonggaran
regulasi pembentukan daerah otonomi baru di UU 22 tahun 1999 dicoba kembali
diperketat di UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo PP 78 tahun 2007
tentang Tata Cara Pembentukan , Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam UU
32 tahun 2004 sudah kembali ditegaskan bahwa daerah yang sudah dimekarkan yang
tidak mampu mecapai standar minimal bisa digabungkan kembali ke daerah induk
atau dengan daerah lainnya.
Namun
yang menjadi masalahnya adalah aturan tersebut tidak dilaksanakan. Aturan itu
hanya sebagai pajangan semata yang tak memiliki arti kegunaan. Implementasi
penggabungan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Yang terjadi justru
pertambahan daerah otonom baru. Semangat pemekaran terus menerus dikobarkan.
Di
dalam PP 78 tahun 2007 disebutkan bahwa provinsi yang akan dimekarkan harus
sudah berusia minimal 10 tahun, sedangkan kabupaten/kota minimal 7 tahun.
Ketentuan ini sangat berbeda dengan ketentuan dalam PP 129 tahun 2000 yang
menghalalkan percaraian langsung daerah otonomi baru tanpa ada persyaratan umur
provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, PP 78 tahun 2007 juga menambah
persyaratan dari segi jumlah kabupaten/kota untuk menjadi provinsi dan jumlah
kecamatan untuk menjadi kabupaten/kota, yang awalnya empat menjadi lima dan
untuk menjadi kota yang awalnya tiga menjadi empat.
Di
dalam peraturan baru ini juga memberi kewenangan pusat untuk melikuidasi daerah
baru sebagai akibat pemisahan maupun penggabungan daerah yang dinilai gagal. Namun
kembali lagi kewenangan tersebut tidak digunakan oleh pusat. Padahal sudah ada
pijakan hukum yang sah dan memiliki power
strong.
Apabila
pemerintah pusat tidak melakukan langkah yang strategis, maka otonomi daerah
yang memiliki tujuan meningkatkan pelayanan dan mensejahterakan akan semakin
jauh dari harapan. Moratorium yang dilakukan harus tetap dipertahankan, karena
mengingat 78% dari 57 daerah otonomi baru yang sudah berusia tiga tahun
ternyata gagal berkembang[3].
DESERTADA: Pembentukan Daerah Persiapan
Dalam
menunjang keberlangsungan otonomi daerah di Republik ini, perlu adanya desain
besar penataan daerah (Desartada). Desertada bertujuan untuk meminimalisir hasrat
politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan semata. Elemen pertama dari
Desertada pada dasarnya merupakan upaya untuk menata daerah secara lebih
sistematis melalui penerapan model pembentukan daerah otonom yang bertahap.
Tahapan
yang dilakukan bisa melalui pembentukan daerah persiapan (DP) terlebih dahulu.
Jangka waktu yang diberikan sampai 3 tahun, yang disebut sebagai masa transisi.
Masa transisi daerah otonomi baru ini berada di bawah kendali daerah induk.
Selama masa tersebut, pemerintah pusat menilai daerah otonomi baru ini, apakah
layak jadi daerah yang berotonom atau tidak.
Masa
transisi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi sebuah calon daerah yang
berotonom untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik. Persiapan tersebut
meliputi pemenuhan semua aspek yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan semua
urusan-urusan daerah, antara lain, sarana dan prasarana pemerintahan pengalihan
P3D (personel, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen), pembentukan kelembagaan
dan pengisian jabatan yang dapat dilakukan secara bertahap.
Pembentukan
daerah persiapan sebagai prosedur yang wajib dilalui oleh calon daerah otonomi
baru. Ada empat strategi dasar dalam pelaksanaan penataan daerah: pertama, mengembangkan parameter
pembentukan daearah persiapan berdasarkan parameter geografis, demografis dan
sistem, kedua, membentuk daerah
otonom baru melalui pembentukan daerah persiapan dengan dasar Peraturan
Pemerintah (PP) untuk jangka waktu tiga tahun, ketiga, menyediakan fasilitas dan pendampingan professional
penyelenggaraan pemerintahan bagi setiap daerah persiapan selama dalam masa
transisi, dan keempat, mengembangkan
sistem evaluasi daerah persiapan untuk dasar penetapan perubahan status menjadi
daerah otonomi defenitif.
Apabila
persiapan daerah otonomi baru dilaksanakan dengan berpedoman pada Desertada
ini, maka harapan dari tujuan otonomi daerah yang ingin dicapai akan bisa
dilihat hasilnya. Hasilnya akan tidak seperti sekarang ini yang hanya terbentuk
akibat hasrat kekuasaan belaka. Daerah otonom yang dipersiapkan akan lebih
mampu menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan dan membangun
daerah.
[1]
“Menghidupkan Kembali Samkaryanugraha Parasamya Purnakarya Nugraha
(25/04/2014)”, koran tempo, hal. 13.
[2]
“DPR Sahkan RUU Pembentukan 65 DOB (24/10/2013)”, kompas.com, diakses tanggal 1
Mei 2014.
[3]
Menurut Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum dan Hubungan Antar
Lembaga, Reydonnyzar Moenek, mengungkap hasil evaluasi yang dilakukan terhadap
daerah-daerah otonomi baru. Sebanyak 78%
dari 57 daeraah otonomi baru dinilai gagal berkembang. Sehingga
menurutnya, moratorium haru tetap dilaksanakan dan pihaknya akan merancang
Desain Besar Penataan Daerah. Lihat di http://m.tempo.co
(27 Desembar 2013).
No comments:
Post a Comment