Pages

Saturday, 10 May 2014

KISAH DIAKHIR JABATAN: POLITIK DI ATAS HUKUM

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Ditetapkannya ketua BPK, Hadi Poernomo dan Walikota Makasar, Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka oleh KPK pada hari terakhir masa jabatannya mengundang banyak persepsi dari publik. Bagaimana tidak kasus yang menjerat mantan ketua BPK ini dilakukan pada saat menjabat menjadi Dirjen Pajak pada tahun 2002-2004. KPK pun mengakui sudah lima tahun terakhir ini mendalami peran Hadi Poernomo dalam pengaturan pajak BCA. Begitupun Walikota Makasar dijerat atas kasus PDAM yang terjadi pada tahun 2007-2009. Yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa KPK baru menetapkan HP dan IAS pada masa akhir jabatannya?
Beragam persepsi pun lahir dari publik. Ada yang memberikan apresiasi atas keberhasilan KPK mengungkap peran dari para tersangka. Ada juga mengatakan bahwa KPK hanya berani ketika mereka sudah tidak memegang kekuasaan, sehingga pesimistis terhadap hukum di Republik ini pun semakin meningkat.
Persepsi yang ke dua dari publik ini memang bisa dikatakan sebagai gambaran para penegak hukum di Republik ini. Penegak hukum kehilangan tajinya kepada mereka yang memiliki kekuasaan. Hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Para pemegang kekuasaan seolah-olah kebal dari namanya hukum. Padahal hukumlah yang menjadi alat pengendalian sosial. Tanpa hukum suatu bangsa dan negara akan menjadi terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Dari prilaku penegak hukum tersebut bisa dikatakan bahwa hukum di Republik ini berada di bawah kendali para penguasa. Para penguasa yang ditelurkan dari sebuah proses demokrasi dan partai politik sebagai tool-nya memiliki power yang sangat kuat, sedangkan hukum amat sangat powerless.
   Seharusnya hukumlah berada di atas segalanya, termasuk politik, karena hukum memiliki fungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dan menciptakan ketertiban. Aturan hukum juga merupakan alat untuk menjamin bahwa tindakan politik didasarkan atas keinginan yang benar. Manusia yang diberikan nafsu oleh Tuhan memiliki kecenderungan untuk berbuat rakus. Kerakusan manusia itulah yang membuat hukum harus selalu hadir dalam setiap detik kehidupan sosial masyarakat.
Untuk itulah, Republik ini harus mulai mengembalikan hukum pada kedudukan yang sebenarnya demi keberlangsungan masa depan bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Masa depan bangsa ini akan sangat bergantung pada bagaimana para penegak hukum menjalankan aturan hukum yang sudah ada.
Apabila hal itu tidak dilakukan, maka Republik ini akan menjadi negara yang akan dikatagorikan gagal. Gagal dalam artian tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya akibat dari hukum yang masih melihat siapa yang melanggar dan para penegak hukum masih dipenuhi oleh para pencari rente.

Di era demokrasi langsung ini, diharapkan para penegak hukum tidak kepicut dengan para politisi. Mereka harus tetap berani menegakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Siapa yang melanggar harus tetap dihukum sesuai dengan aturan yang ada ataupun melalui hasil musyawarah para hakim. Jangan sampai seperti dewasa ini yang harus menunggu mereka turun dari jabatan. 

No comments:

Post a Comment