Pages

Tuesday, 25 March 2014

PEMIMPIN BERNURANI RAKYAT

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemimpin merupakan seorang nahkoda yang paling menentukan arah organisasi. Baik dan buruknya sebuah organisasi ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang paling memiliki tanggung jawab penuh. Pemimpin menurut Ki Hajar Dewantara harus mampu memposisikan dirinya ke tiga posisi, yaitu ing ngarso sing tulodha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Pemimpin tidak hanya harus bisa memimpin, tetapi juga dipimpin.
Pasca reformasi, peluang rakyat Indonesia untuk menjadi pemimpin sama rata. Siapa pun bisa menjadi pemimpin dengan catatan harus ikut bertarung dalam pemilu. Pemilu sebagai wahana untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas, professional dan kapabel dalam memimpin bangsa Indonesia, sehingga mampu untuk membawa ke arah cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat.
Namun pemilu yang sudah berlangsung di negeri ini belum mampu menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Ini bisa dilihat dari bagaimana prilaku para pemimpin yang dihasilkan dari pemilu masih jauh dari harapan. Ego individual, partai dan kelompok masih mendominasi dalam pengambilan keputusan. Padahal mereka merupakan pemegang kedaulatan tertinggi yang berasal dari rakyat. Rakyatlah pemegang kekuasaan yang sebenarnya, bukan mereka yang duduk manis di istana, senayan dan kantor-kantor pemerintahan/perwakilan.
Pemilu juga disinyalir sumber dari semua masalah saat ini, khususnya korupsi. Korupsi yang melanda wakil rakyat, baik di daerah maupun pusat berawal dari pemilu. Pemilu yang ongkosnya terlalu mahal membuat para pemimpin terpilih mencari sumber lain di luar gaji dan tunjangannya. Proyek menjadi jalan utama mereka. Mereka juga membuat rancangan anggaran yang semu, tidak tahu kemana arahnya.
Perilaku amoral juga masih menghiasi para pemimpin negeri ini. Banyak dari mereka masih suka jajan sana-sini dengan wanita yang bukan muhrimnya. Mereka juga masih asyik melihat atraksi-atraksi dewasa di-hp super canggih yang dimilikinya.
Masalah di atas perlu dijawab dan diselesaikan. Caranya adalah rakyat menghukum mereka dengan cara tidak memilihnya kembali. Jangan sampai pemimpin dalam pemilu kali ini menghasilkan pemimpin yang berwajah lama yang notabenenya memiliki rekam jejak yang mengecewakan. Rakyat dalam pemilu kali ini harus bisa memilih yang terbaik, bukan memilih uangnya.
Money politic yang selalu menghiasi perhelatan dua pemilu sebelumnya (2004 dan 2009) harus bisa diminimalisir. Mau tidak mau, suka tidak suka harus. Kalau hal ini masih dilakukan dan diterima oleh rakyat, maka hal yang sama yang sudah terjadi akan terjadi kembali dan akan malah lebih parah lagi, sehingga masa depan bangsa kita akan semakin tidak jelas.
Pemimpin yang diharapkan dalam pemilu kali ini adalah pemimpin yang bernurani rakyat, bukan pemimpin yang haus dengan kekuasaan. Pemimpin bernurani rakyat akan menampilkan segala bentuk pikiran, sikap dan perbuatan yang pro dengan rakyat yang sudah memberikan amanah kepadanya. Kepentingan partai dan kroninya akan dikesampingkan demi melaksanakan amanah. Pemimpin yang amanah adalah salah satu kriteria pemimpin yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.
Pemimpin bernurani rakyat sebenarnya sudah ditunjukkan oleh para pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka melawan penjajah dengan ketulusan dan keihlasan tanpa mengharapkan imbalan sedikit pun. Bapak proklamator bangsa, Soekarno, menyatakan bahwa kami berjuang bukan mengharapkan jabatan dan harta, tetapi demi kemerdekaan anak cucu bangsa dikemudian hari. Cita-cita luhur mereka bisa dilihat dari bagaimana isi dari dasar dan konstitusi bangsa kita. Para pahlawan juga banyak dari mereka tidak meninggalkan harta benda kepada keluarga mereka. Ini bisa dilihat dari Soekarno. Ini sangat afirmatif dari para pejabat bangsa ini yang hidup dengan kemewahan.
   Saat ini, ada sekitar 240 juta penduduk Indonesia. Saya yakin diantara mereka masih ada yang memiliki jiwa seperti pahlawan pendiri bangsa ini. Tinggal bagaimana cara mereka diberikan kesempatan. Tentunya ini kembali ke partai politik, karena partailah wadah menelurkan pemimpin. Kaderisasi partai yang saat ini masih jauh dari namanya berhasil. Bentuknya hanya sebatas siapa yang berduit dan siapa yang dikenal, tanpa melihat bagaimana kualitas dan kemampuan yang dimiliki olehnya. Itulah sebabnya partai politik dan wakil-wakil rakyat dibanjiri oleh pengusaha. Pengusaha yang hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri.

Pemimpin pemilu 2014 harus yang bernurani rakyat, supaya apa yang terjadi periode sebelumnya tidak terulang kembali. Dan cita-cita luhur pahlawan negeri ini bisa tercapai. Semua itu ada ditangan rakyat. Rakyat harus membuktikan bahwa mereka muak dengan mereka yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Rakyat harus mencoblos orang yang benar-benar benar pada pemilu kali ini. “INDONESIA JAYA”

RAKYAT: MUKA BARU ATAU LAMA?

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menganut sistem demokrasi yang meletakkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.  Ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Pemilu sebagai bentuk pengaplikasian dari pasal tersebut. Setiap sekali dalam lima tahun, rakyat diberikan haknya untuk menentukan nasib bangsa dan negara ini.
Pemilu seharusnya dijadikan sebagai momentum seluruh rakyat Indonesia untuk menyatakan bahwa mereka sudah muak dengan kelakuan para pejabat dan wakil rakyat. Caranya adalah dengan memberikan hak suaranya kepada para calon yang memang benar-benar kompeten dan memiliki integritas. Tetapi apabila rakyat masih terus menerus memilih orang-orang itu saja, maka bisa dikatakan bahwa kita senang dipimpin oleh mereka yang tidak kapabel.
Pemilu legislatif 2014 bisa menjadi patokan, apakah rakyat memang benar muak atau hanya bersandiwara. Apabila rakyat masih memilih wakil rakyat yang 4L (lho lagi lho lagi), maka itu membuktikan bahwa rakyat senang dengan kelakuan para wakilnya saat ini. Berdasarkan data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) dari 560 anggota DPR RI saat ini, ada 507 anggota DPR yang mencalonkan kembali. Ini berarti ada 90,5% maju kembali dalam pemilu legislatif 2014 dan hanya ada 53 incumbent yang tidak maju lagi.
Melihat data FORMAPPI tersebut, maka peluang incumbent untuk mempertahankan kursi di Senayan terbuka lebar, karena rata-rata partai memberikan mereka nomar urut 1 dan 2. Selain itu juga, dengan kewenangan yang dimilikinya saat ini sebagai anggota dewan yang masih aktif, mereka bisa saja menggunakan dana reses atau sejenisnya untuk menambah dana kampanye mereka. Inilah yang menjadi problem yang menghantui para konstituen yang buta dengan hasil dan terhipnotis dengan pemberian semu.
Terpilihnya incumbent berarti rakyat secara langsung setuju dengan tingkah laku para anggota dewan selama lima tahun kebelakang ini. Kinerja yang penuh dengan inproduktifitas dan penuh masalah. Kemampuan membuat undang-undang jauh dari harapan. Dalam lima tahun menjabat hanya bisa menelurkan sekian  persen dari proglegnas yang ditetapkan sebanyak 247 RUU.
Selain itu, bisa dilihat bagaimana etika para anggota dewan yang dalam rapat mereka saling caci maki sampai hampir baku hantam. Ada juga yang tertidur di saat merancang dan membicarakan undang-undang yang sangat vital bagi masa depan bangsa ini. Dan ada juga yang tertangkap kamera asik sedang menonton film dewasa (porno). Ada pula anggota dewan yang main perempuan. Sepertinya kehidupan anggota dewan ini penuh dengan problem yang amoral.
Dengan kehidupan seperti itulah, banyak anggota dewan yang tersandung kasus korupsi. Gaji dan tunjangan yang tinggi tidak bisa memenuhi kebutuhannya mereka. Kebutuhanlah salah satu penyebab korupsi menurut teori Gon. Seharusnya wakil rakyat ini perlu memahami dan mengingat lagi, dari mana asalnya dan siapa yang memberikan mandat kepada mereka. Rakyatlah yang memberikan kursi kepada mereka, sehingga seharusnya mereka menyuarakan aspirasi rakyat, bukan menyuarakan aspirasi diri, keluarga, kelompok dan partainya.

Dengan banyaknya incumbent yang maju, rakyat harus bisa lebih selektif dalam memilih. Jangan sampai incumbent yang korup atau amoral terpilih kembali untuk mengisi kursi di Senayan. Di tangan rakyatlah nasib lima tahun bangsa ini. Apakah rakyat akan memilih muka baru atau muka lama? Jawabannya akan bisa dilihat pada saat KPU mengumumkan hasil pemilu legislatif.  

Thursday, 20 March 2014

KAMPANYE TERBUKA: EUFORIA TANPA SUBTANSI

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Kampanye merupakan salah satu bagian dari pemilu. Menurut Rogers dan Storey (1987), kampanye didefinisikan sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Tujuannya berarti  untuk memperkenalkan visi, misi dan program yang diusung oleh parpol dan caleg supaya konstituen mau memilihnya dalam pemilu.
Kampanye terbuka pemilu legislatif 2014 sudah dilaksanakan mulai tanggal 16 Maret – 5 April 2014. Dalam pelaksanaan kampanye, bisa disaksikan bagaimana parpol dan para jurkamnya menyungguhkan orasi yang begitu memikat kepada konstituen. Tempat kampanye pun selalu dipenuhi oleh masyarakat yang tidak tahu tujuannya apa. Dikatakan demikian karena kebanyakan masyarakat hanya datang ke tempat kampanye untuk menikmati hiburan yang disajikan parpol tertentu.
Kampanye terbuka yang dilaksanakan di Indonesia sepertinya masih sifatnya hanya euforia saja tanpa memperhatikan subtansi yang disampaikan. Inti dari pelaksanaan seolah-olah dikesampingkan. Parpol dalam menghimpun masyarakat kebanyakan menggunakan cara mobilisasi dengan memberikan uang kepada masyarakat yang akan datang. Siapa yang berani bayar, maka tempat kampanyenya pun akan selalu penuh.
Banyak bukti dari adanya mobilisasi massa pada saat kampanye. Mulai dari dibawanya anak-anak, orang awam yang tidak tahu mau melakukan apa dan seterusnya. Mobilisasi massa juga bisa dilihat dari hasil suara parpol pada pemilu. Hasilnya sangat berbeda jauh dengan jumlah massa pada saat kampanye. 
Black compaign biasanya banyak terjadi pada saat pelaksanaan kampanye terbuka. Parpol dan caleg bisa dikatakan banyak mengikuti ajaran Machavelli yang menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan. Ini bisa dilihat dari parpol melakukan transaksi atau jual beli suara. Dengan memberikan sekian rupiah supaya dicoblos dalam pemilu.
Budaya seperti itulah yang merusak sendi-sendi berdemokrasi di negeri ini. Korupsi, kolusi dan nepotisme bersumber dari pemilu yang curang. Mahalnya ongkos dalam meraih kursi kekuasaan membuat mereka yang sudah duduk mencari cara mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya. Semua akan dilakukan demi membalikkan modal mereka.
Kampanye yang saat ini dilakukan bisa dikatakan tidak efektif. Ke depannya, pelaksanaan pemilu terbuka perlu dievaluasi supaya subtansi dan pelanggaran dari kampanye bisa tercapai. Penyelenggara pemilu harus membuat formula yang kira-kira bisa menjawab permasalahan yang terjadi sekarang ini. Jangan sampai parpol dan calon hanya jual janji saja kepada masyarakat dan melakukan transaksi yang menjadi biang keladi masalah.

Langkah yang perlu dilakukan adalah membuat kampanye yang lebih bersifat dua arah. Supaya antara calon dan konstituen bisa melakukan komunikasi, ada tanya jawab. Dan cara selanjutnya adalah memperbanyak debat antar calon, sehingga kapabilitas calon bisa dilihat oleh publik.  

Saturday, 15 March 2014

MANDAT MEGA DAN PILEG 2014

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu 2014 diwarnai dengan berbagai strategi dari parpol peserta pemilu untuk mampu memenangkannya. Antara partai yang satu dengan lainnya tentunya caranya berbeda-beda. Ada yang menentukan capres dan cawapres dengan cara konvensi, pemira dan lainnya. Ada juga yang menentukan capres dan cawapresnya sebelum pemilihan legislatif. Adapun yang belum memikirkan siapa capres dan cawapres yang akan diusungnya.
PDI-P yang diunggulkan menjadi pemenang dalam berbagai lembaga survei menyatakan tidak akan menentukan capres dan cawapres yang akan diusungnya sebelum pemilu legislatif. Padahal publik sangat menunggu siapa yang akan diusungnya, apakah Megawati atau Jokowi. Apa yang dilakukan PDIP membuat rakyat bisa dikatakan galau, karena melihat hasil survei, Jokowi selalu menempati urutan teratas sebagai pengganti SBY.
Kegalauan publik akhirnya berakhir pada hari Jum’at tanggal 14 Maret 2014 sekitar pukul 14.45 WIB. Megawati selaku Ketua Umum PDIP secara mengejutkan mendeklarasikan Jokowi sebagai capres yang akan diusung partai berlambang banteng ini. Mandat tersebut ditulis tangan langsung oleh Megawati. Teka-teki pun berakhir mengenai siapa capres PDIP.
Keputusan Megawati ini patut diberikan jempol, karena ini menjadi pendidikan yang sangat berharga bagi politisi Indonesia. Sikap seperti ini sangat langka dimiliki oleh politisi kita. Adigium yang menyatakan bahwa mau jadi capres terlebih dahulu harus menjadi ketua partai dipatahkann di negeri ini. Megawati sudah membuktikannya dengan legowo memberikan mandat kepada sosok Jokowi yang notabenenya adalah pengurus partai tingkat daerah.
Penunjukan Jokowi sebelum pemilu legislatif akan memberikan efek yang besar. Efek langsungnya bisa dilihat dari nilai rupiah terhadap dolar semakin menguat dan IHSG pun melonjak ke arah positif. IHSG melejit sekitar 152 poin. Ini berarti pasar merespon positif pencalonan mantan Walikota Surakarta ini.
Direktur Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda , memprediksi ada pergeseran peta politik paska PDIP mengumumkan Jokowi secara resmi menjadi capres. Majunya Jokowi disebutnya akan mengurangi jumlah capres yang akan bertarung pada tanggal 9 Juli 2014. Hanta memperkirakan hanya akan ada sekitar 3-4 pasangan yang akan maju dalam pilpres.
Banyak survei menyatakan bahwa dengan penunjukan sarjana kehutanan UGM ini sebelum pemilu legislatif akan melambungkan suara PDIP. Diyakini PDIP akan bisa meraup suara di atas 20% atau mampu mencapai targetnya yaitu 27%. Dengan kata lain penunjukan Jokowi memiliki korelasi positif dengan perolehan suara PDIP.
Caleg PDIP di seluruh Indonesia tentunya sangat senang mendengar pengusungan Jokowi, karena akan berdampak langsung terhadap mereka. Kita ketahui bersama, saat ini Jokowi sangat dielu-elukan publik di seluruh Indonesia, sehingga konstituen akan terpengaruh dan berpeluang mengubah pilihannya kepada PDIP.
Pendeklarasian Jokowi itu tentunya memberikan warning bagi parpol lainnya untuk lebih bekerja keras. Dikatakan demikian karena suami Iriana ini memiliki tingkat elektabilitas yang melambung jauh di atas lainnya dan diyakini akan mampu menarik suara pemilih, sehingga suara parpol lainnya akan bisa tertarik ke PDIP. Parpol lainnya harus menyiapkan strategi yang bisa membendung Jokowi efek. Paling tidak bisa mempertahankan basis suaranya supaya tidak beralih ke PDIP.  

Efek Jokowi ini akan kita lihat pada tanggal 9 April 2014. Apakah akan ada korelasi dengan suara PDIP atau tidak. Tetapi saya yakin, PDIP akan menjadi pemenang dan bisa memperoleh suara di atas 20%. 

Friday, 14 March 2014

MUSIM KAMPANYE, CUTINYA PEJABAT

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Kampanye terbuka untuk pemilu legislatif 2014 akan dimulai tanggal 16 Maret – 5 April 2014. Kampanye ini pastinya akan diikuti oleh para petinggi partai, baik yang ada dalam pemerintahan maupun tidak. Berdasarkan data dari Kemendagri, sampai tanggal 13 Maret 2014 sudah ada 22 gubernur dan wakil gubernur yang mengajukan cuti untuk menjadi juru kampanye[1]. Dan KPU juga sudah menerima enam pemberitahuan izin cuti dari pejabat negara, yakni presiden dan lima menteri[2].
Cuti pejabat negara dan kepala daerah ini memang menuai pro dan kontra. Namun ini memang tidak bisa dihindari, karena kita ketahui bersama asal muasal dari pejabat negara kebanyakan dari partai. Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu 2, ada sekitar 50% lebih berasal dari partai dan mayoritas kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota diusung oleh partai politik, sehingga sulit apabila melarang pejabat negara maupun daerah untuk tidak mengikuti kampanye.
 Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2013, maka pejabat negara yang berasal dari parpol mempunyai hak mengikuti kampanye pemilu. Pejabat yang melaksanakan kampanye wajib menjamin terwujudnya misi dan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara, serta asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Pejabat yang cuti juga dilarang untuk menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye.
Berdasarkan instruksi Mendagri, untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh melaksanakan kampanye secara bersama-sama, harus bergantian, supaya penyelenggaraan pemerintahan tidak terganggu. Dan untuk para menteri KIB II harus siap-siap dipanggil presiden apabila ada hal yang bersifat mendesak dan urgen. Mentri yang bersangkutan harus meninggalkan kampanye yang sedang dilaksanakannya dan segera kembali melaksanakan tugas dan fungsinya.
Melihat aturan yang ada, maka cuti pejabat negara dan kepala daerah dalam pelaksanaan kampanye memang sudah diatur sedemikian rupa supaya penyelenggaraan pemerintahan tetap berjalan dengan baik dan lancar. Sekarang tinggal bagaimana publik memberikan pengawasan kepada pejabat yang sedang melaksanakan kampanye supaya tidak melanggar aturan yang sudah ada. Apabila ada, maka dilaporkan dan pihak yang berwenang harus memberikan sangsi yang tegas.
Ke depannya, diharapkan pengaturan tentang kampanye pejabat ini harus lebih diperketat, sehingga para pejabat tidak secara leluasa meninggalkan amanah yang sudah diberikan kepadanya. Hal yang paling sulit untuk ditinggalkan oleh pejabat adalah penggunaan fasilitas negara yang melekat dalam diri pejabat. Misalnya presiden, maka tidak akan bisa tidak menggunakan keamanan, kemana pun presiden pergi. Ini berarti sudah menggunakan fasilitas negara. Hal seperti inilah yang perlu diperhatikan supaya tidak terjadi abust of power dan conflict of interest dalam pelaksanaan kampanye oleh pejebat.
Menurut saya, lebih baik ada aturan yang melarang pejabat negara, mulai dari presiden, mentri dan kepala daerah untuk tidak boleh ikut dalam kampanye. Ini untuk meminimalisir adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kerugian negara.




[1] “Ini 22 Kepala Daerah yang Ajukan Cuti Kampanye (13/03/2014)”, nasionalkompas.com, diakses tanggal 14 Maret 2014.
[2] “KPU: 6 Pejabat Negara Sudah Ajukan Izin Cuti Kampanye (13/03/2014)”, republika.co.id, diakses tanggal 14 Maret 2014.

Wednesday, 12 March 2014

ARAH DEMOKRASI INDONESIA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
   Pasca 1998, Indonesia sepertinya memiliki wajah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak harapan dari adanya reformasi untuk menuju Indonesia lebih baik. Era orde baru yang otoriter-sentralistis berubah menjadi demokratis-desentralisasi. Sistem seperti ini diharapkan bisa lebih bisa mempercepat pembangunan di daerah-daerah, sehingga pemerataan pembangunan mampu tercapai.
Namun, setelah 15 tahun demokrasi langsung dilaksanakan, masih banyak permasalahan yang terjadi, malah menimbulkan banyak masalah. Demokrasi justru tidak efesien. Dalam demokrasi, proses pengambilan keputusan bisa bertele-tele. Pemerintah yang demokratis pun berpotensi tunduk atas tekanan populis untuk mendahulukan konsumsi atas investasi atau pengendalian invlansi. Justru pemerintah yang otoriter berkampuan untuk mengambil keputusan berorientasi jangka panjang (Galenson 1959, Huntington 1968, atau O’Donnell 1973)[1].
Kekhawatiran tentang demokrasi ini juga sebenarnya sudah disampaikan oleh para filsuf. Plato menghawatirkan demokrasi menjadi mabokrasi (oleh kaum gembel). Winston Churchill menyatakan bahwa democracy is the worst possible form of govern ment except-all the others that have been tried. Sepertinya apa yang dikhawatirkan tersebut sedang melanda Indonesia.
Demokrasi langsung di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utamanya adalah tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih rendah. Itulah yang menyebabkan partisipasi politik rendah dan tidak produktif. Tidak produktif dalam artian tidak bisa menggunakan hak suaranya dengan baik dan benar, sehingga wakil rakyat maupun pemimpinnya (presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota) yang dipilih tidak memiliki kapabilitas dan integritas dalam memimpin.
Saat ini rata-rata lama pendidikan orang Indonesia hanya 8,02 tahun. Itu berarti setara dengan kelas 2 SMP[2]. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat pemahaman masyarakat tentang pemerintahan,politik, ekonomi dan lainnya. Rendahnya tingat pendidikan itu membuat demokrasi langsung Indonesia tidak sesuai dengan harapan. Money politic akan selalu menjamur dalam setiap perhelatan pemilu. Konflik pasca pemilu pun akan rentan terjadi. Itulah sebabnya perlu adanya peningkatan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Amanah UUD 1945 untuk mengalokasikan 20% dari APBN dan APBD digunakan dalam bidang pendidikan dinilai tepat. Namun dalam prakteknya, banyak anggaran tersebut diperuntukkan untuk hal-hal yang tidak bersifat urgen, mulai dari pembangunan gedung, gaji dan honor guru, dan lainnya. Perlu adanya suatu manajemen yang benar supaya anggaran tersebut bisa digunakan dengan sebaik mungkin.
Tanpa adanya peningkatan pendidikan, maka demokrasi Indonesia akan berjalan tanpa arah yang akan menyebabkan kehancuaran bukan perbaikan. Demokrasi langsung malah menyebabkan korupsi di negeri ini semakin menumbuh suburkan korupsi. Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri per Februari 2014, sudah 311 kepala daerah yang terandung korupsi. Inilah salah satu akibat dari adanya pemilu di Indonesia.
Berbeda lagi kalau melihat kebijakan yang diambil, banyak yang lebih mementingkan kepentingan individu, kelompok dan partainya. Kebijakan mengarah ke arah yang bersifat politis, sehingga kebijakan yang ditelurkan tidak bisa menjangkau semua kebutuhan publik. Perlu adanya perbaikan dalam pelaksanaan demokrasi langsung di negeri tercinta ini. Demokrasi saat ini terlalu over atau kebablasan.
Banyak ahli mengakui demokrasi Indonesia paling bebas. Amerika sebagai pioner dari demokrasi pun tidak seperti apa yang ada di Indonesia. Jadi perlu adanya pembenahan sistem demokrasi ke depannya. Pembenahan yang bisa dilakukan bisa dimulai dari memperbaiki mekanisme penjaringan calon, meningkatkan pendidikan masyarakat bisa dlakukan melalui sosialisasi berkala, diklat dan sejenisnya, pemberian sangsi bagi yang melanggar ketetentuan baik yang menerima maupun yang memberikan.
Dalam Pemilu 2014 ini diharapkan kemelekan dan kesadaran masyarakat meningkat, sehingga hasilnya bisa lebih baik dari sebelumnya. Apa yang menjadi masalah, baik itu politik uang, memilih berdasarkan like or dislike tanpa memandang kualitas, memilih keluarga dan hal lainnya tidak perlu dilakukan lagi, sehingga masa depan bangsa Indonesia untuk lima tahun ke depan lebih baik dari saat ini.      



[1] Hendarmin Ranadireksa. “Arsitektur Konstitusi Demokrasi”, (Bandung: Fokusmedia, Oktober 2009), hal. 13
[2] “Rata-Rata Pendidikan Orang Indonesia Setara Kelas 2 SMP (11/03/2014), poskotanews.com, diakses tanggal 12 Maret 2014.

Monday, 10 March 2014

BERINGIN DAN BANTENG BERSAING

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Menjelang Pemilu 2014, kekuatan parpol semakin tidak bisa dibaca. Namun dalamberbagai survei ada dua parpol yang selalu berada di atas dan memiliki suara yang signifikan. Dua parpol itu adalah PDIP dan Golkar. Parpol orde baru ini sepertinya akan kembali menguasai pemerintahan apabila melihat hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Survei SMRC membagi persaingan parpol ke dalam tiga lapisan, yaitu lapisan pertama (PDIP dan Golkar), lapisan kedua (Partai Demokrat, Gerindra dan PKB) dan lapisan ketiga (PPP, PAN, PKS, Hanura dan Nasdem). Dalam survei terebut PDIP memimpin dengan perolehan suara 16,4 %, Golkar (15,0%), Demokrat (10,4%), Gerindra (8,6%), PKB (7,7%), PPP (5,5%), PAN (4,8%), PKS (4,5%), Hanura (4,1%), Nasdem (3,8%), PBB (1,2%) dan PKPI (0,3%)[1].
Melihat hasil survei tersebut, maka beringin dan banteng akan bersaing ketat untuk Pemilu 2014. Berdasarkan presentase hasil yang diperoleh, maka akan terjadi koalisi dalam mengusung capres dan cawapres. Deal politik antar partai pun akan memuluskan jalan koalisi antar partai, baik yang berhaluan nasional maupun islam.
Menurut saya, PDIP memperoleh suara tertinggi disebabkan oleh adanya trust publik terhadap pemerintah menurun. Inilah yang menyebabkan partai di luar pemerintah diuntungkan, karena rakyat akan beralih haluan ke arah partai oposisi. Selain itu juga, PDIP dinilai berhasil menelurkan generasi emasnya. Sebut saja, mulai dari Jokowi, Risma, dan Ganjar Pranomo. Ketokohan yang dimiliki oleh PDIP inilah yang menyebabkan konstituen menaruh kepercayaan pada partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri ini.
Sedangkan Golkar mampu meraup suara tinggi, disebabkan oleh adanya struktur pengurus yang mengakar sampai ke bawah dan caleg dari Golkar lebih banyak mantan pejabat dan tokoh di suatu daerah pemilihan/dapil. Ini merupakan warisan yang diperoleh Golkar dari masa keemasannya pada saat orde baru.
Menurut saya, Golkar akan kembali menjadi pemenang dalam pemilu 2014. Ini mengingat Golkar lebih memiliki para caleg yang memiliki pengaruh yang besar di daerah. PDIP saya nilai akan bisa menyalip Golkar dengan catatan Jokowi dideklarasikan menjadi capres sebelum Pemilu 2014. Memang akan terjadi persaingan yang ketat untuk Pemilu 2014 ini. Kursi yang akan diperoleh dua partai ini akan tidak jauh berbeda. Kemungkinan besar perolehan suara dua partai atau salah satu darinya akan bisa mencapai 20%, sehingga tidak perlu koalisi.
Untuk urutan ketiga, saya melihat Gerindra lebih memiliki peluang yang besar dibandingkan dengan Demokrat. Ini disebabkan oleh keretakan internal Demokrat dengan berbagai isu negatif, sehingga masyarakat tidak terlalu percaya pada partai yang dipimpin oleh SBY ini. Kejayaan partai Demokrat sepertinya akan runtuh pada Pemilu 2014 ini. Sedangkan Gerindra diuntungkan oleh ketokohan Prabowo Subianto. Mengingat publik saat ini sedang merindukan pemimpin yang memiliki sikap yang tegas dan berani. Sikap itulah yang tertuju pada sosok mantan Danjen Kopasus ini.
Pemilu 2014 ini juga akan menjadi ajang yang berat bagi PBB dan PKPI, karena dalam berbagai survei perolehan suara dua partai ini di bawah ambang batas parlemen. Ini menjadi warning bagi pengurus partai untuk terus bisa meningkatkan keoercayaan publik terhadap visi dan misi yang diusung untuk lima tahun ke depan.



[1] “Survei Jelang Pemilu, PDIP dan Golkar Bersaing Ketat (09/03/2014)”, vivanews.com, diakses tanggal 10 Maret 2014.  

Sunday, 9 March 2014

DANA KAMPANYE DAN JUAL BELI SUARA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Parpol peserta pemilu 2014 sudah melaporkan dana kampanye tahap ke dua ke KPU. Alhasil dana kampanye parpol meningkat jika dibandingkan dengan pemilu 2009. Partai pimpinan Prabowo Subianto (Gerindra) memiliki dana kampanye tertinggi yang mencapai Rp 306 miliar, disusul Partai Demokrat dengan Rp 268 miliar, PAN dengan Rp 256 miliar, Rp 241 miliar dan PDIP dengan 220 miliar. Sedangkan PKPI memiliki dana kampanye paling sedikit yang hanya mencapai Rp 36 miliar[1].
Dana kampanye ini berasal dari berbagai sumber yang diperbolehkan oleh KPU, diantaranya partai, caleg dan perusahaan. Meningkatnya dana kampanye partai politik 2014 menjadi menarik mengingat pada tahun 2009, Partai Gerindra juga memiliki dana kampanye terbesar, namun tidak mampu masuk 5 besar. Apakah dengan dana yang besar ini, Partai Gerindra mampu menebus 3 besar. Ini akan bisa kita lihat pasca pemilu legislatif 2014.
Memang kalau dilihat, banyak parpol masih belum mau terlalu terbuka dengan dana kampanyenya. Sehingga apa yang dilaporkan ke KPU hanya sebatas formalitas saja. Inilah yang masih menjadi masalah dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Besarnya dana kampanye merupakan salah satu amunisi bagi parpol dalam bertarung pada pemilu. Mengingat banyak kebutuhan parpol dalam memperkenalkan visi, misi dan program kepada masyarakat. Dana kampanye ini juga sering digunakan untuk membeli suara atau yang dikenal dengan money politic. Jadi perlu ada pengawasan yang lebih intens dari Bawaslu dan badan terkait untuk bisa meminimalisir terjadinya praktek jual beli suara.
Money politic yang terjadi selama ini menjadi sumber dari korupsi, sehingga perlu adanya langkah preventif untuk bisa memangkal dan membendungnya. Saya yakin, apabila pemilu 2014 tidak ada praktek jual beli, maka korupsi akan tidak seperti sekarang ini dan kebijakan yang akan diambil lebih mementingkan kepentingan rakyat banyak bukan partai atau kelompoknya.
Dana kampanye yang besar diharapkan bisa dikelola dan digunakan oleh parpol dan caleg untuk hal-hal yang memang benar-benar positif dan anggaran itu benar-benar halal, sehingga ke depannya tidak ada tuntutan dari pihak ke tiga atas sumbangannya pada partai tertentu. Jangan sampai dana parpol saat ini diberikan oleh pihak ke tiga dengan mengharapkan imbalan yang lebih. Memang politik balas budi tidak akan bisa diputuskan, tetapi paling tidak dikurangi, sehingga kepentingan publik tidak terbelangkai.
Rakyat Indonesia pastinya berharap supaya pemilu 2014 ini bisa menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar memiliki intergritas dan kapabilitas dalam memimpin, sehingga harapan dan tujuan bisa tercapai. Wakil rakyat yang terpilih pun harus bisa menjaga trust yang diberikan oleh rakyat.
   



[1] “Dana Kampanye Parpol, Gerindra Termahal-PKPI termurah (03/03/2014)”, liputan6.com, diakses tanggal 9 Maret 2014.

Thursday, 6 March 2014

QUO VADIS PARTAI POLITIK ISLAM[1]

Oleh: Adisti, Dedet dan Affau
Penyelenggaraan pemilu 2014 diwarnai dengan adanya budaya baru dalam menjaring capres dan cawapres. Partai politik memiliki strategi yang beraneka ragam, mulai dari pelaksanaan Konvensi Demokrat (Partai Demokrat), Pemilihan Raya/ Pemira (PKS) dan Konvensi Rakyat (non-partai). Tujuan utama dari semuanya adalah untuk meningkatkan perolehan suara partai dalam pemilu. Presiden PKS, Anis Matta, tidak memungkiri tujuan dari pelaksanaan pemira juga untuk meningkatkan elektabilitas partai paska terkena musibah atas tertangkapnya mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq[2].
Dalam penyelenggaraan Pemira tersebut, PKS berhasil menjaring lima capres yang selanjutnya dewan syuro’ sudah menetapkan tiga capres yang akan diusung, yaitu Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan[3]. Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, menyatakan bahwa Pemira ini bisa menjadi momentum untuk mendongkrak kembali citra positif PKS. Apalagi figur capres yang ditetapkan sesuai dengan harapan masyarakat yang memiliki karakter bersih dan sederhana, karena platform bersih dan peduli berhasil mendongkrak suara PKS pada pemilu sebelumnya[4]. Langkah yang diambil oleh PKS ini perlu diberikan apresiasi, karena ini akan bisa menyelamatkan partai yang berhaluan Islam pada pemilu 2014.
Saat ini ada empat partai politik yang bisa dikatagorikan sebagai parpol Islam yang masih berada di Senayan, yaitu PKS, PAN, PPP dan PKB. PKS dan PAN merupakan dua partai yang secara terbuka menjadikan Islam sebagai asas dan idiologi. Sedangkan dua partai lainnya, tidak secara tegas menyebutkan Islam, tetapi memiliki basis konstituen  berasal dari umat Islam[5].
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tanggal 30 Mei- 14 Juni 2013, partai Islam tersebut masing-masing memperoleh suara, yaitu PKB (5,7%), PPP (4,8), PAN (2,5%) dan PKS (2,2%)[6]. Dengan hasil survei tersebut, maka perolehan suara partai Islam kalah jauh jika dibandingkan dengan partai yang berhaluan nasionalis. Hasil survei tersebut menjadi alarm bagi partai Islam untuk berbenah dan meningkatkan kinerja kepada konstituen sebelum pemilu, karena keberadaannya di Senayan bisa saja terusir apabila tidak mampu mencapai ambang batas parlemen (parliemantary threshold) sebesar 3,5% pada pemilu 2014.
Dilihat dari aspek sejarah, partai Islam sepertinya kurang bersahabat dengan perpolitikan di negeri ini. Sejarah mencatat, dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dengan total pemeluk Islam 207.176.162 jiwa dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia[7], tidak mampu berkolerasi positif terhadap jumlah perolehan suara partai Islam. Ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai Islam cenderung menurun sejak diadakannya pemilu dari tahun 1955-2009. Pada pemilu 1955, partai Islam memperoleh suara sebesar 43,5%, yang menjadi penyumbang suara terbesar adalah partai Masyumi (20,92%). Sedangkan suara partai Islam pada pemilu berikutnya adalah pemilu 1999 (36,7%), pemilu 2004 (38,3%) dan pemilu 2009 (29,2%)[8].
Pada pemilu 2009, ada empat partai Islam yang mampu memenuhi ambang batas, dengan perolehan suara masing-masing partai, yaitu PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP (5,32%) dan PKB (4,94%)[9]. Dengan melihat jumlah perolehan suara partai Islam dari pemilu ke pemilu tersebut sepertinya senada dengan apa yang pernah dirumuskan oleh Deliar Noer tentang realitas relasi Islam dan politik di negeri ini, bahwa Islam adalah mayoritas secara sosiologis, tetapi minoritas secara politik. Dengan kata lain, meskipun hampir 90% jumlah penduduk Indonesia merupakan pemeluk Islam, dalam realitas politik hampir selalu dalam posisi minoritas (Haris, 2011).
Kemerosotan perolehan suara partai Islam merupakan hasil dari kinerja partai politik Islam. Dikatakan demikian karena partai Islam di Indonesia tidak memiliki diferensiasi yang jelas dengan partai yang berhaluan nasionalis, baik itu dilihat dari prilaku kader, politik transaksi (money politic), visi/misi partai dan lain sebagainya. Partai Islam hanya sekedar namanya saja, tanpa ada perwujudan yang pasti mengenai ajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain hanya sebagai simbol, tanpa menyentuh subtansi. Rakyat pun menilainya secara rasional, sehingga lahirlah adagium: “mau itu partai Islam atau nasionalis sama saja”.
Ketidakmampuan partai Islam dalam mengakomodir mayoritas aspirasi umat Islam membuat partai berhaluan nasionalis mengambil celah tersebut. Partai-partai nasionalis mulai bergerak ke tengah (political centrism) untuk menjemput pemilih muslim sambil tetap juga merawat pemilih tradisional mereka (captive market). Caranya adalah dengan mengakomodasi isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan umat dengan diwujudkan melalui sayap atau organ partai yang bernuansa Islam[10]. Model seperti ini sudah banyak dilakukan oleh partai nasionalis, misalnya PDIP membentuk Baitul Muslimin dan Partai Demokrat memiliki Majelis Zikir SBY.
Partai Islam dewasa ini juga tidak memiliki pemimpin atau tokoh sentral yang mampu mengakselerasi wibawa dan pengaruhnya tidak saja di lingkungan internal, namun juga eksternal. Padahal, aspek kepemimpinan partai (leadership) menurut Less-Marshment dan Rudd (2003) menjadi salah satu elemen produk partai yang menjadi pusat perhatian publik. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan figur yang bisa diterima oleh semua lapisan, baik internal maupun ekstenal. Suku Tionghoa yang sangat mengagungkan Gus Dur sudah tidak lagi pro dengan partainya, PKB, tetapi sudah melihat sosok lain, yaitu Jokowi. Ketidakmampuan partai Islam menghadirkan sosok seperti Gus Dur membuat basis suaranya pun lari, karena partai nasionalis yang lebih mampu menelurkan sosok yang bisa diterima oleh semua kalangan.
Partai Islam seharusnya bisa menjadi tauladan bagi partai lainnya, karena pada hakekatnya Islam itu merupakan agama rahmatanlilalamin, rahmat bagi semesta alam. Pimpinan partai Islam juga harus memiliki sifat dasar kepemimpinan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu siddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Namun, dalam kenyataanya malah para pimpinan partai Islam menjadi tersangka kasus korupsi. Ini berarti sudah melenceng dari pada ajaran Islam itu sendiri. Hal seperti itulah yang membuat umat Islam apatis terhadap partai Islam, karena tidak memperlihatkan dan mengaplikasikan nilai-nilai keislaman dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pemilu 2014 merupakan pemilu yang berat bagi partai politik Islam. Banyak hal yang masih perlu dilakukan oleh partai Islam untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas partai. Langkah awalnya adalah dengan memperbaiki sistem kaderisasi/rekrutmen capres dan cawapres partai Islam, sehingga mampu memunculkan sosok yang bisa diterima oleh semua kalangan, kedua, menerapkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, tanpa adanya diskriminasi terhadap kepercayaan lainnya, ketiga, menjalin komunikasi dan kerjasama dengan ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
Apabila hal tersebut masih belum mampu mendongkrak suara partai Islam, maka dibutuhkan adanya unifikasi partai Islam. Dalam artian, partai Islam yang berjumlah lima partai (ditambah PBB) menyatu menjadi satu. Ini dimaksud supaya partai Islam tersebut benar-benar bisa dinilai kinerjanya oleh publik, sehingga pada pemilu 2019 yang sudah menerapkan pemilu serentak, partai Islam bisa memunculkan capres dan cawapres yang benar-benar mampu diterima oleh semua kalangan.
Dan langkah terakhir yang bisa menyelamatkan partai Islam adalah dengan adanya konsesus untuk mendukung satu pasangan capres dan cawapres. Dengan catatan, capres dan cawapres harus memiliki track record yang baik di mata pemeluk Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.


[1] Diajukan dalam seleksi Debat Antar Mahasiswa Islamic Book Fair 2014
[2] “Ini Tujuan Pemira PKS Kata Anis Matta (20/02/2014)”, Tribunnews.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[3] “3 Besar Capres PKS Hasil Musyawarah Majelis Syuro (01/02/2014)”, kabarpemiludepok.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[4] “Pemilu 2014 Momentum PKS Dongkrak Citra Positif (24/01/2014)”, Tribunnews.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[5] “Pemilu 2014 dan Masa Depan Partai Islam (10/12/2012), sinarharapan.co, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[6] Tinjauan Kompas, “Menatap Indonesia 2014”, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2014), 116.
[7] Sumber: Data BPS, “ Sensus Penduduk 2010”.
[8] “Pemilu 2014 dan Masa Depan Partai Islam (10/12/2012), sinarharapan.co, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[9] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 122-123.
[10] Rizal Sukma dalam Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (Aspinall and Mietzner, 2010).

Saturday, 1 March 2014

MEREDAM KONFLIK PEMILU 2014

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu merupakan suatu kegiatan besar yang melibatkan banyak orang. Apalagi pemilu legislatif dan presiden yang hampir melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pemilu legilatif misalnya akan ada perebutan 560 + 136 kursi tingkat pusat (DPR + DPD), 2.112 kursi tingkat povinsi dan 16.895 kursi tingkat kabupaten/kota. Apabila dijumlahkan, maka akan ada sekitar 19.703 kursi yang akan diperebutkan. Itu baru jumlah kursi yang diperebutkan, belum lagi jumlah calon yang akan berpartisipasi dalam pemilu jumlahnya jauh lebih banyak.
Dengan banyaknya yang berpartisipasi, maka potensi konflik dalam pemilu menjadi lebih besar. Akan banyak kepentingan yang bisa saling kontras satu sama lain. Hal sepele pun akan bisa menjadi konflik yang lebih besar. Tentunya dengan potensi konflik yang rentan tejadi dibutuhkan suatu manajemen konflik dalam menghadapi pemilu. Dana pengamanan Pemilu 2014 yang diusulkan Polri sekitar 3,5 triliun, tetapi yang disetujui oleh DPR hanya sebesar 1,6 triliun[1]. Melihat jumlah dana kampanye tersebut, bisa dikatakan bahwa jumlahnya pas-pasan, karena melihat luas dan jumlah tempat yang akan diamankan sangat banyak, ditambah potensi konflik sangat rentan terjadi.
Namun apabila melihat sejarah, konflik besar dalam pemilu skala nasional hampir tidak pernah terjadi, mulai dari pemilu 1955 – 2009. Runtuhnya pemerintahan Suharto pun tidak terjadi ditahun pemilu, tetapi tahun setelahnya. Harapan kita tentunya tren positif itu bisa terjadi dan tetap dijaga di Pemilu 2014 ini.
Pluralitas yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia tentunya menjadi sumbu konflik utama. Degradasi jiwa nasionalisme masyarakat di era saat ini memberikan celah untuk menyalakan sumbu tersebut. Dengan mudahnya, pihak tertentu mengangkat isu untuk mengadu-domba pihak yang satu dengan lainnya (menang vs kalah). Masyarakat pun akan mudah terpancing. Itulah perlu adanya suatu penanaman jiwa nasionalisme kepada masyarakat Indonesia, supaya kita semua paham dan sadar bahwa Indonesia itu lahir dari kebhinnekaan.
Konflik skala kecil memang tidak bisa dihindarkan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 ini. Bisa dilihat bagaimana banyak gesekan-gesekan yang tejadi antar partai dengan partai, kader partai dengan kader partai lainnya dan penyelenggara pemilu dengan partai maupun partai dengan masyarakat. Awal konflik itu terjadi ketika KPU sudah menetapkan jumlah partai peserta pemilu dan berlanjut ketika penetapan DPT. Menurut Harry Budianto, ada tiga institusi sebagai tempat munculnya konflik, yaitu KPU, MK dan Partai Politik. Partai politik merupakan institusi yang dituntut kedewasaannya untuk bisa menerima hasil dari pemilu, baik menang maupun kalah. Sedangkan MK harus mampu adil dalam menyelesaikan sengketa pemilu dan KPU harus tetap bisa menjaga keindepedenannya, sehingga hasil pemilu tidak hasil rekayasa.
Jadi, cara merendam konflik dalam Pemilu 2014 adalah perlu adanya kerjasama dan komunikasi yang baik antar lembaga, baik secara vertikal maupun horizontal, serta perlu adanya kesadaran dan penanaman jiwa nasionalisme pada masyarakat.  



[1] “Dana Pemilu Polri Kuang, Pengamanan TPS dilepas (03/02/2014)”, gresnews.com, diakses tanggal 1 Maret 2014.