Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu
merupakan suatu kegiatan besar yang melibatkan banyak orang. Apalagi pemilu legislatif
dan presiden yang hampir melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pemilu
legilatif misalnya akan ada perebutan 560 + 136 kursi tingkat pusat (DPR + DPD),
2.112 kursi tingkat povinsi dan 16.895 kursi tingkat kabupaten/kota. Apabila dijumlahkan,
maka akan ada sekitar 19.703 kursi yang akan diperebutkan. Itu baru jumlah
kursi yang diperebutkan, belum lagi jumlah calon yang akan berpartisipasi dalam
pemilu jumlahnya jauh lebih banyak.
Dengan
banyaknya yang berpartisipasi, maka potensi konflik dalam pemilu menjadi lebih
besar. Akan banyak kepentingan yang bisa saling kontras satu sama lain. Hal sepele
pun akan bisa menjadi konflik yang lebih besar. Tentunya dengan potensi konflik
yang rentan tejadi dibutuhkan suatu manajemen konflik dalam menghadapi pemilu. Dana
pengamanan Pemilu 2014 yang diusulkan Polri sekitar 3,5 triliun, tetapi yang disetujui
oleh DPR hanya sebesar 1,6 triliun[1]. Melihat
jumlah dana kampanye tersebut, bisa dikatakan bahwa jumlahnya pas-pasan, karena
melihat luas dan jumlah tempat yang akan diamankan sangat banyak, ditambah
potensi konflik sangat rentan terjadi.
Namun
apabila melihat sejarah, konflik besar dalam pemilu skala nasional hampir tidak
pernah terjadi, mulai dari pemilu 1955 – 2009. Runtuhnya pemerintahan Suharto
pun tidak terjadi ditahun pemilu, tetapi tahun setelahnya. Harapan kita
tentunya tren positif itu bisa terjadi dan tetap dijaga di Pemilu 2014 ini.
Pluralitas
yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia tentunya menjadi sumbu konflik
utama. Degradasi jiwa nasionalisme masyarakat di era saat ini memberikan celah
untuk menyalakan sumbu tersebut. Dengan mudahnya, pihak tertentu mengangkat isu
untuk mengadu-domba pihak yang satu dengan lainnya (menang vs kalah). Masyarakat
pun akan mudah terpancing. Itulah perlu adanya suatu penanaman jiwa
nasionalisme kepada masyarakat Indonesia, supaya kita semua paham dan sadar
bahwa Indonesia itu lahir dari kebhinnekaan.
Konflik
skala kecil memang tidak bisa dihindarkan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014
ini. Bisa dilihat bagaimana banyak gesekan-gesekan yang tejadi antar partai
dengan partai, kader partai dengan kader partai lainnya dan penyelenggara
pemilu dengan partai maupun partai dengan masyarakat. Awal konflik itu terjadi ketika
KPU sudah menetapkan jumlah partai peserta pemilu dan berlanjut ketika penetapan
DPT. Menurut Harry Budianto, ada tiga institusi sebagai tempat munculnya
konflik, yaitu KPU, MK dan Partai Politik. Partai politik merupakan institusi
yang dituntut kedewasaannya untuk bisa menerima hasil dari pemilu, baik menang
maupun kalah. Sedangkan MK harus mampu adil dalam menyelesaikan sengketa pemilu
dan KPU harus tetap bisa menjaga keindepedenannya, sehingga hasil pemilu tidak
hasil rekayasa.
Jadi,
cara merendam konflik dalam Pemilu 2014 adalah perlu adanya kerjasama dan
komunikasi yang baik antar lembaga, baik secara vertikal maupun horizontal, serta
perlu adanya kesadaran dan penanaman jiwa nasionalisme pada masyarakat.
[1] “Dana
Pemilu Polri Kuang, Pengamanan TPS dilepas (03/02/2014)”, gresnews.com, diakses
tanggal 1 Maret 2014.
No comments:
Post a Comment