Oleh: Adisti, Dedet dan Affau
Penyelenggaraan
pemilu 2014 diwarnai dengan adanya budaya baru dalam menjaring capres dan
cawapres. Partai politik memiliki strategi yang beraneka ragam, mulai dari pelaksanaan
Konvensi Demokrat (Partai Demokrat), Pemilihan Raya/ Pemira (PKS) dan Konvensi
Rakyat (non-partai). Tujuan utama dari semuanya adalah untuk meningkatkan
perolehan suara partai dalam pemilu. Presiden PKS, Anis Matta, tidak memungkiri
tujuan dari pelaksanaan pemira juga untuk meningkatkan elektabilitas partai
paska terkena musibah atas tertangkapnya mantan presiden PKS, Luthfi Hasan
Ishaq[2].
Dalam
penyelenggaraan Pemira tersebut, PKS berhasil menjaring lima capres yang
selanjutnya dewan syuro’ sudah menetapkan tiga capres yang akan diusung, yaitu
Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan[3].
Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, menyatakan bahwa Pemira ini
bisa menjadi momentum untuk mendongkrak kembali citra positif PKS. Apalagi
figur capres yang ditetapkan sesuai dengan harapan masyarakat yang memiliki
karakter bersih dan sederhana, karena platform
bersih dan peduli berhasil mendongkrak suara PKS pada pemilu sebelumnya[4]. Langkah
yang diambil oleh PKS ini perlu diberikan apresiasi, karena ini akan bisa
menyelamatkan partai yang berhaluan Islam pada pemilu 2014.
Saat
ini ada empat partai politik yang bisa dikatagorikan sebagai parpol Islam yang
masih berada di Senayan, yaitu PKS, PAN, PPP dan PKB. PKS dan PAN merupakan dua
partai yang secara terbuka menjadikan Islam sebagai asas dan idiologi.
Sedangkan dua partai lainnya, tidak secara tegas menyebutkan Islam, tetapi
memiliki basis konstituen berasal dari
umat Islam[5].
Berdasarkan
hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tanggal 30 Mei- 14 Juni
2013, partai Islam tersebut masing-masing memperoleh suara, yaitu PKB (5,7%),
PPP (4,8), PAN (2,5%) dan PKS (2,2%)[6].
Dengan hasil survei tersebut, maka perolehan suara partai Islam kalah jauh jika
dibandingkan dengan partai yang berhaluan nasionalis. Hasil survei tersebut
menjadi alarm bagi partai Islam untuk
berbenah dan meningkatkan kinerja kepada konstituen sebelum pemilu, karena
keberadaannya di Senayan bisa saja terusir apabila tidak mampu mencapai ambang
batas parlemen (parliemantary threshold)
sebesar 3,5% pada pemilu 2014.
Dilihat
dari aspek sejarah, partai Islam sepertinya kurang bersahabat dengan
perpolitikan di negeri ini. Sejarah mencatat, dengan mayoritas penduduk
Indonesia adalah muslim, dengan total pemeluk Islam 207.176.162 jiwa dari
237.641.326 jiwa penduduk Indonesia[7],
tidak mampu berkolerasi positif terhadap jumlah perolehan suara partai Islam. Ini
bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai Islam cenderung menurun sejak
diadakannya pemilu dari tahun 1955-2009. Pada pemilu 1955, partai Islam
memperoleh suara sebesar 43,5%, yang menjadi penyumbang suara terbesar adalah
partai Masyumi (20,92%). Sedangkan suara partai Islam pada pemilu berikutnya
adalah pemilu 1999 (36,7%), pemilu 2004 (38,3%) dan pemilu 2009 (29,2%)[8].
Pada
pemilu 2009, ada empat partai Islam yang mampu memenuhi ambang batas, dengan
perolehan suara masing-masing partai, yaitu PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP
(5,32%) dan PKB (4,94%)[9]. Dengan
melihat jumlah perolehan suara partai Islam dari pemilu ke pemilu tersebut
sepertinya senada dengan apa yang pernah dirumuskan oleh Deliar Noer tentang
realitas relasi Islam dan politik di negeri ini, bahwa Islam adalah mayoritas
secara sosiologis, tetapi minoritas secara politik. Dengan kata lain, meskipun
hampir 90% jumlah penduduk Indonesia merupakan pemeluk Islam, dalam realitas
politik hampir selalu dalam posisi minoritas (Haris, 2011).
Kemerosotan
perolehan suara partai Islam merupakan hasil dari kinerja partai politik Islam.
Dikatakan demikian karena partai Islam di Indonesia tidak memiliki diferensiasi
yang jelas dengan partai yang berhaluan nasionalis, baik itu dilihat dari
prilaku kader, politik transaksi (money
politic), visi/misi partai dan lain sebagainya. Partai Islam hanya sekedar
namanya saja, tanpa ada perwujudan yang pasti mengenai ajaran Islam itu sendiri.
Dengan kata lain hanya sebagai simbol, tanpa menyentuh subtansi. Rakyat pun
menilainya secara rasional, sehingga lahirlah adagium: “mau itu partai Islam
atau nasionalis sama saja”.
Ketidakmampuan
partai Islam dalam mengakomodir mayoritas aspirasi umat Islam membuat partai
berhaluan nasionalis mengambil celah tersebut. Partai-partai nasionalis mulai
bergerak ke tengah (political centrism)
untuk menjemput pemilih muslim sambil tetap juga merawat pemilih tradisional
mereka (captive market). Caranya
adalah dengan mengakomodasi isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan umat
dengan diwujudkan melalui sayap atau organ partai yang bernuansa Islam[10].
Model seperti ini sudah banyak dilakukan oleh partai nasionalis, misalnya PDIP
membentuk Baitul Muslimin dan Partai Demokrat memiliki Majelis Zikir SBY.
Partai
Islam dewasa ini juga tidak memiliki pemimpin atau tokoh sentral yang mampu
mengakselerasi wibawa dan pengaruhnya tidak saja di lingkungan internal, namun
juga eksternal. Padahal, aspek kepemimpinan partai (leadership) menurut Less-Marshment dan Rudd (2003) menjadi salah
satu elemen produk partai yang menjadi pusat perhatian publik. K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) merupakan figur yang bisa diterima oleh semua lapisan, baik
internal maupun ekstenal. Suku Tionghoa yang sangat mengagungkan Gus Dur sudah
tidak lagi pro dengan partainya, PKB, tetapi sudah melihat sosok lain, yaitu
Jokowi. Ketidakmampuan partai Islam menghadirkan sosok seperti Gus Dur membuat
basis suaranya pun lari, karena partai nasionalis yang lebih mampu menelurkan
sosok yang bisa diterima oleh semua kalangan.
Partai
Islam seharusnya bisa menjadi tauladan bagi partai lainnya, karena pada
hakekatnya Islam itu merupakan agama rahmatanlilalamin,
rahmat bagi semesta alam. Pimpinan partai Islam juga harus memiliki sifat dasar
kepemimpinan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu siddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Namun, dalam kenyataanya
malah para pimpinan partai Islam menjadi tersangka kasus korupsi. Ini berarti
sudah melenceng dari pada ajaran Islam itu sendiri. Hal seperti itulah yang
membuat umat Islam apatis terhadap partai Islam, karena tidak memperlihatkan dan
mengaplikasikan nilai-nilai keislaman dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pemilu
2014 merupakan pemilu yang berat bagi partai politik Islam. Banyak hal yang
masih perlu dilakukan oleh partai Islam untuk meningkatkan popularitas dan
elektabilitas partai. Langkah awalnya adalah dengan memperbaiki sistem
kaderisasi/rekrutmen capres dan cawapres partai Islam, sehingga mampu memunculkan sosok yang bisa diterima oleh semua
kalangan, kedua, menerapkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, tanpa adanya diskriminasi terhadap kepercayaan
lainnya, ketiga, menjalin komunikasi
dan kerjasama dengan ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
Apabila
hal tersebut masih belum mampu mendongkrak suara partai Islam, maka dibutuhkan
adanya unifikasi partai Islam. Dalam artian, partai Islam yang berjumlah lima
partai (ditambah PBB) menyatu menjadi satu. Ini dimaksud supaya partai Islam
tersebut benar-benar bisa dinilai kinerjanya oleh publik, sehingga pada pemilu
2019 yang sudah menerapkan pemilu serentak, partai Islam bisa memunculkan
capres dan cawapres yang benar-benar mampu diterima oleh semua kalangan.
Dan
langkah terakhir yang bisa menyelamatkan partai Islam adalah dengan adanya
konsesus untuk mendukung satu pasangan capres dan cawapres. Dengan catatan, capres
dan cawapres harus memiliki track record
yang baik di mata pemeluk Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.
[1] Diajukan
dalam seleksi Debat Antar Mahasiswa Islamic Book Fair 2014
[2] “Ini
Tujuan Pemira PKS Kata Anis Matta (20/02/2014)”, Tribunnews.com, diakses
tanggal 18 Februari 2014.
[3] “3
Besar Capres PKS Hasil Musyawarah Majelis Syuro (01/02/2014)”,
kabarpemiludepok.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[4] “Pemilu
2014 Momentum PKS Dongkrak Citra Positif (24/01/2014)”, Tribunnews.com, diakses
tanggal 18 Februari 2014.
[5] “Pemilu
2014 dan Masa Depan Partai Islam (10/12/2012), sinarharapan.co, diakses tanggal
18 Februari 2014.
[6]
Tinjauan Kompas, “Menatap Indonesia 2014”, (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2014), 116.
[7]
Sumber: Data BPS, “ Sensus Penduduk 2010”.
[8] “Pemilu
2014 dan Masa Depan Partai Islam (10/12/2012), sinarharapan.co, diakses tanggal
18 Februari 2014.
[9]
Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal
Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT.
Yellow Multi Media, 2013), 122-123.
[10]
Rizal Sukma dalam Problems of Democratisation in Indonesia: Elections,
Institutions and Society (Aspinall and Mietzner, 2010).
No comments:
Post a Comment