Pages

Thursday 6 March 2014

QUO VADIS PARTAI POLITIK ISLAM[1]

Oleh: Adisti, Dedet dan Affau
Penyelenggaraan pemilu 2014 diwarnai dengan adanya budaya baru dalam menjaring capres dan cawapres. Partai politik memiliki strategi yang beraneka ragam, mulai dari pelaksanaan Konvensi Demokrat (Partai Demokrat), Pemilihan Raya/ Pemira (PKS) dan Konvensi Rakyat (non-partai). Tujuan utama dari semuanya adalah untuk meningkatkan perolehan suara partai dalam pemilu. Presiden PKS, Anis Matta, tidak memungkiri tujuan dari pelaksanaan pemira juga untuk meningkatkan elektabilitas partai paska terkena musibah atas tertangkapnya mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq[2].
Dalam penyelenggaraan Pemira tersebut, PKS berhasil menjaring lima capres yang selanjutnya dewan syuro’ sudah menetapkan tiga capres yang akan diusung, yaitu Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan[3]. Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, menyatakan bahwa Pemira ini bisa menjadi momentum untuk mendongkrak kembali citra positif PKS. Apalagi figur capres yang ditetapkan sesuai dengan harapan masyarakat yang memiliki karakter bersih dan sederhana, karena platform bersih dan peduli berhasil mendongkrak suara PKS pada pemilu sebelumnya[4]. Langkah yang diambil oleh PKS ini perlu diberikan apresiasi, karena ini akan bisa menyelamatkan partai yang berhaluan Islam pada pemilu 2014.
Saat ini ada empat partai politik yang bisa dikatagorikan sebagai parpol Islam yang masih berada di Senayan, yaitu PKS, PAN, PPP dan PKB. PKS dan PAN merupakan dua partai yang secara terbuka menjadikan Islam sebagai asas dan idiologi. Sedangkan dua partai lainnya, tidak secara tegas menyebutkan Islam, tetapi memiliki basis konstituen  berasal dari umat Islam[5].
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tanggal 30 Mei- 14 Juni 2013, partai Islam tersebut masing-masing memperoleh suara, yaitu PKB (5,7%), PPP (4,8), PAN (2,5%) dan PKS (2,2%)[6]. Dengan hasil survei tersebut, maka perolehan suara partai Islam kalah jauh jika dibandingkan dengan partai yang berhaluan nasionalis. Hasil survei tersebut menjadi alarm bagi partai Islam untuk berbenah dan meningkatkan kinerja kepada konstituen sebelum pemilu, karena keberadaannya di Senayan bisa saja terusir apabila tidak mampu mencapai ambang batas parlemen (parliemantary threshold) sebesar 3,5% pada pemilu 2014.
Dilihat dari aspek sejarah, partai Islam sepertinya kurang bersahabat dengan perpolitikan di negeri ini. Sejarah mencatat, dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dengan total pemeluk Islam 207.176.162 jiwa dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia[7], tidak mampu berkolerasi positif terhadap jumlah perolehan suara partai Islam. Ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai Islam cenderung menurun sejak diadakannya pemilu dari tahun 1955-2009. Pada pemilu 1955, partai Islam memperoleh suara sebesar 43,5%, yang menjadi penyumbang suara terbesar adalah partai Masyumi (20,92%). Sedangkan suara partai Islam pada pemilu berikutnya adalah pemilu 1999 (36,7%), pemilu 2004 (38,3%) dan pemilu 2009 (29,2%)[8].
Pada pemilu 2009, ada empat partai Islam yang mampu memenuhi ambang batas, dengan perolehan suara masing-masing partai, yaitu PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP (5,32%) dan PKB (4,94%)[9]. Dengan melihat jumlah perolehan suara partai Islam dari pemilu ke pemilu tersebut sepertinya senada dengan apa yang pernah dirumuskan oleh Deliar Noer tentang realitas relasi Islam dan politik di negeri ini, bahwa Islam adalah mayoritas secara sosiologis, tetapi minoritas secara politik. Dengan kata lain, meskipun hampir 90% jumlah penduduk Indonesia merupakan pemeluk Islam, dalam realitas politik hampir selalu dalam posisi minoritas (Haris, 2011).
Kemerosotan perolehan suara partai Islam merupakan hasil dari kinerja partai politik Islam. Dikatakan demikian karena partai Islam di Indonesia tidak memiliki diferensiasi yang jelas dengan partai yang berhaluan nasionalis, baik itu dilihat dari prilaku kader, politik transaksi (money politic), visi/misi partai dan lain sebagainya. Partai Islam hanya sekedar namanya saja, tanpa ada perwujudan yang pasti mengenai ajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain hanya sebagai simbol, tanpa menyentuh subtansi. Rakyat pun menilainya secara rasional, sehingga lahirlah adagium: “mau itu partai Islam atau nasionalis sama saja”.
Ketidakmampuan partai Islam dalam mengakomodir mayoritas aspirasi umat Islam membuat partai berhaluan nasionalis mengambil celah tersebut. Partai-partai nasionalis mulai bergerak ke tengah (political centrism) untuk menjemput pemilih muslim sambil tetap juga merawat pemilih tradisional mereka (captive market). Caranya adalah dengan mengakomodasi isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan umat dengan diwujudkan melalui sayap atau organ partai yang bernuansa Islam[10]. Model seperti ini sudah banyak dilakukan oleh partai nasionalis, misalnya PDIP membentuk Baitul Muslimin dan Partai Demokrat memiliki Majelis Zikir SBY.
Partai Islam dewasa ini juga tidak memiliki pemimpin atau tokoh sentral yang mampu mengakselerasi wibawa dan pengaruhnya tidak saja di lingkungan internal, namun juga eksternal. Padahal, aspek kepemimpinan partai (leadership) menurut Less-Marshment dan Rudd (2003) menjadi salah satu elemen produk partai yang menjadi pusat perhatian publik. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan figur yang bisa diterima oleh semua lapisan, baik internal maupun ekstenal. Suku Tionghoa yang sangat mengagungkan Gus Dur sudah tidak lagi pro dengan partainya, PKB, tetapi sudah melihat sosok lain, yaitu Jokowi. Ketidakmampuan partai Islam menghadirkan sosok seperti Gus Dur membuat basis suaranya pun lari, karena partai nasionalis yang lebih mampu menelurkan sosok yang bisa diterima oleh semua kalangan.
Partai Islam seharusnya bisa menjadi tauladan bagi partai lainnya, karena pada hakekatnya Islam itu merupakan agama rahmatanlilalamin, rahmat bagi semesta alam. Pimpinan partai Islam juga harus memiliki sifat dasar kepemimpinan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu siddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Namun, dalam kenyataanya malah para pimpinan partai Islam menjadi tersangka kasus korupsi. Ini berarti sudah melenceng dari pada ajaran Islam itu sendiri. Hal seperti itulah yang membuat umat Islam apatis terhadap partai Islam, karena tidak memperlihatkan dan mengaplikasikan nilai-nilai keislaman dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pemilu 2014 merupakan pemilu yang berat bagi partai politik Islam. Banyak hal yang masih perlu dilakukan oleh partai Islam untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas partai. Langkah awalnya adalah dengan memperbaiki sistem kaderisasi/rekrutmen capres dan cawapres partai Islam, sehingga mampu memunculkan sosok yang bisa diterima oleh semua kalangan, kedua, menerapkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, tanpa adanya diskriminasi terhadap kepercayaan lainnya, ketiga, menjalin komunikasi dan kerjasama dengan ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
Apabila hal tersebut masih belum mampu mendongkrak suara partai Islam, maka dibutuhkan adanya unifikasi partai Islam. Dalam artian, partai Islam yang berjumlah lima partai (ditambah PBB) menyatu menjadi satu. Ini dimaksud supaya partai Islam tersebut benar-benar bisa dinilai kinerjanya oleh publik, sehingga pada pemilu 2019 yang sudah menerapkan pemilu serentak, partai Islam bisa memunculkan capres dan cawapres yang benar-benar mampu diterima oleh semua kalangan.
Dan langkah terakhir yang bisa menyelamatkan partai Islam adalah dengan adanya konsesus untuk mendukung satu pasangan capres dan cawapres. Dengan catatan, capres dan cawapres harus memiliki track record yang baik di mata pemeluk Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.


[1] Diajukan dalam seleksi Debat Antar Mahasiswa Islamic Book Fair 2014
[2] “Ini Tujuan Pemira PKS Kata Anis Matta (20/02/2014)”, Tribunnews.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[3] “3 Besar Capres PKS Hasil Musyawarah Majelis Syuro (01/02/2014)”, kabarpemiludepok.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[4] “Pemilu 2014 Momentum PKS Dongkrak Citra Positif (24/01/2014)”, Tribunnews.com, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[5] “Pemilu 2014 dan Masa Depan Partai Islam (10/12/2012), sinarharapan.co, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[6] Tinjauan Kompas, “Menatap Indonesia 2014”, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2014), 116.
[7] Sumber: Data BPS, “ Sensus Penduduk 2010”.
[8] “Pemilu 2014 dan Masa Depan Partai Islam (10/12/2012), sinarharapan.co, diakses tanggal 18 Februari 2014.
[9] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 122-123.
[10] Rizal Sukma dalam Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (Aspinall and Mietzner, 2010).

No comments:

Post a Comment