Oleh: Dedet Zelthauzallam
Indonesia
adalah salah satu negara di dunia yang menganut sistem demokrasi yang
meletakkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3.
Pemilu sebagai bentuk pengaplikasian dari pasal tersebut. Setiap sekali dalam
lima tahun, rakyat diberikan haknya untuk menentukan nasib bangsa dan negara
ini.
Pemilu
seharusnya dijadikan sebagai momentum seluruh rakyat Indonesia untuk menyatakan
bahwa mereka sudah muak dengan kelakuan para pejabat dan wakil rakyat. Caranya
adalah dengan memberikan hak suaranya kepada para calon yang memang benar-benar
kompeten dan memiliki integritas. Tetapi apabila rakyat masih terus menerus
memilih orang-orang itu saja, maka bisa dikatakan bahwa kita senang dipimpin oleh
mereka yang tidak kapabel.
Pemilu
legislatif 2014 bisa menjadi patokan, apakah rakyat memang benar muak atau
hanya bersandiwara. Apabila rakyat masih memilih wakil rakyat yang 4L (lho lagi
lho lagi), maka itu membuktikan bahwa rakyat senang dengan kelakuan para
wakilnya saat ini. Berdasarkan data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(FORMAPPI) dari 560 anggota DPR RI saat ini, ada 507 anggota DPR yang
mencalonkan kembali. Ini berarti ada 90,5% maju kembali dalam pemilu legislatif
2014 dan hanya ada 53 incumbent yang tidak maju lagi.
Melihat
data FORMAPPI tersebut, maka peluang incumbent untuk mempertahankan kursi di
Senayan terbuka lebar, karena rata-rata partai memberikan mereka nomar urut 1
dan 2. Selain itu juga, dengan kewenangan yang dimilikinya saat ini sebagai
anggota dewan yang masih aktif, mereka bisa saja menggunakan dana reses atau
sejenisnya untuk menambah dana kampanye mereka. Inilah yang menjadi problem
yang menghantui para konstituen yang buta dengan hasil dan terhipnotis dengan
pemberian semu.
Terpilihnya
incumbent berarti rakyat secara langsung setuju dengan tingkah laku para
anggota dewan selama lima tahun kebelakang ini. Kinerja yang penuh dengan
inproduktifitas dan penuh masalah. Kemampuan membuat undang-undang jauh dari
harapan. Dalam lima tahun menjabat hanya bisa menelurkan sekian persen dari proglegnas yang ditetapkan
sebanyak 247 RUU.
Selain
itu, bisa dilihat bagaimana etika para anggota dewan yang dalam rapat mereka
saling caci maki sampai hampir baku hantam. Ada juga yang tertidur di saat
merancang dan membicarakan undang-undang yang sangat vital bagi masa depan
bangsa ini. Dan ada juga yang tertangkap kamera asik sedang menonton film
dewasa (porno). Ada pula anggota dewan yang main perempuan. Sepertinya
kehidupan anggota dewan ini penuh dengan problem yang amoral.
Dengan
kehidupan seperti itulah, banyak anggota dewan yang tersandung kasus korupsi.
Gaji dan tunjangan yang tinggi tidak bisa memenuhi kebutuhannya mereka.
Kebutuhanlah salah satu penyebab korupsi menurut teori Gon. Seharusnya wakil
rakyat ini perlu memahami dan mengingat lagi, dari mana asalnya dan siapa yang
memberikan mandat kepada mereka. Rakyatlah yang memberikan kursi kepada mereka,
sehingga seharusnya mereka menyuarakan aspirasi rakyat, bukan menyuarakan aspirasi
diri, keluarga, kelompok dan partainya.
Dengan
banyaknya incumbent yang maju, rakyat harus bisa lebih selektif dalam memilih.
Jangan sampai incumbent yang korup atau amoral terpilih kembali untuk mengisi
kursi di Senayan. Di tangan rakyatlah nasib lima tahun bangsa ini. Apakah
rakyat akan memilih muka baru atau muka lama? Jawabannya akan bisa dilihat pada
saat KPU mengumumkan hasil pemilu legislatif.
No comments:
Post a Comment