Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca 1998, Indonesia sepertinya memiliki
wajah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak harapan dari adanya
reformasi untuk menuju Indonesia lebih baik. Era orde baru yang otoriter-sentralistis
berubah menjadi demokratis-desentralisasi. Sistem seperti ini diharapkan bisa
lebih bisa mempercepat pembangunan di daerah-daerah, sehingga pemerataan
pembangunan mampu tercapai.
Namun,
setelah 15 tahun demokrasi langsung dilaksanakan, masih banyak permasalahan yang
terjadi, malah menimbulkan banyak masalah. Demokrasi justru tidak efesien. Dalam
demokrasi, proses pengambilan keputusan bisa bertele-tele. Pemerintah yang
demokratis pun berpotensi tunduk atas tekanan populis untuk mendahulukan
konsumsi atas investasi atau pengendalian invlansi. Justru pemerintah yang
otoriter berkampuan untuk mengambil keputusan berorientasi jangka panjang
(Galenson 1959, Huntington 1968, atau O’Donnell 1973)[1].
Kekhawatiran
tentang demokrasi ini juga sebenarnya sudah disampaikan oleh para filsuf. Plato
menghawatirkan demokrasi menjadi mabokrasi (oleh kaum gembel). Winston
Churchill menyatakan bahwa democracy is
the worst possible form of govern ment except-all the others that have been
tried. Sepertinya apa yang dikhawatirkan tersebut sedang melanda Indonesia.
Demokrasi
langsung di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan
disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utamanya adalah tingkat pendidikan
masyarakat Indonesia masih rendah. Itulah yang menyebabkan partisipasi politik
rendah dan tidak produktif. Tidak produktif dalam artian tidak bisa menggunakan
hak suaranya dengan baik dan benar, sehingga wakil rakyat maupun pemimpinnya (presiden/wakil
presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota) yang dipilih tidak memiliki kapabilitas dan integritas dalam
memimpin.
Saat
ini rata-rata lama pendidikan orang Indonesia hanya 8,02 tahun. Itu berarti
setara dengan kelas 2 SMP[2]. Bisa
dibayangkan bagaimana tingkat pemahaman masyarakat tentang
pemerintahan,politik, ekonomi dan lainnya. Rendahnya tingat pendidikan itu
membuat demokrasi langsung Indonesia tidak sesuai dengan harapan. Money politic akan selalu menjamur dalam
setiap perhelatan pemilu. Konflik pasca pemilu pun akan rentan terjadi. Itulah sebabnya
perlu adanya peningkatan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
terkecuali.
Amanah
UUD 1945 untuk mengalokasikan 20% dari APBN dan APBD digunakan dalam bidang
pendidikan dinilai tepat. Namun dalam prakteknya, banyak anggaran tersebut
diperuntukkan untuk hal-hal yang tidak bersifat urgen, mulai dari pembangunan
gedung, gaji dan honor guru, dan lainnya. Perlu adanya suatu manajemen yang
benar supaya anggaran tersebut bisa digunakan dengan sebaik mungkin.
Tanpa
adanya peningkatan pendidikan, maka demokrasi Indonesia akan berjalan tanpa
arah yang akan menyebabkan kehancuaran bukan perbaikan. Demokrasi langsung
malah menyebabkan korupsi di negeri ini semakin menumbuh suburkan korupsi. Menurut
data dari Kementerian Dalam Negeri per Februari 2014, sudah 311 kepala daerah
yang terandung korupsi. Inilah salah satu akibat dari adanya pemilu di
Indonesia.
Berbeda
lagi kalau melihat kebijakan yang diambil, banyak yang lebih mementingkan
kepentingan individu, kelompok dan partainya. Kebijakan mengarah ke arah yang
bersifat politis, sehingga kebijakan yang ditelurkan tidak bisa menjangkau
semua kebutuhan publik. Perlu adanya perbaikan dalam pelaksanaan demokrasi
langsung di negeri tercinta ini. Demokrasi saat ini terlalu over atau kebablasan.
Banyak
ahli mengakui demokrasi Indonesia paling bebas. Amerika sebagai pioner dari
demokrasi pun tidak seperti apa yang ada di Indonesia. Jadi perlu adanya
pembenahan sistem demokrasi ke depannya. Pembenahan yang bisa dilakukan bisa
dimulai dari memperbaiki mekanisme penjaringan calon, meningkatkan pendidikan
masyarakat bisa dlakukan melalui sosialisasi berkala, diklat dan sejenisnya, pemberian
sangsi bagi yang melanggar ketetentuan baik yang menerima maupun yang memberikan.
Dalam
Pemilu 2014 ini diharapkan kemelekan dan kesadaran masyarakat meningkat,
sehingga hasilnya bisa lebih baik dari sebelumnya. Apa yang menjadi masalah,
baik itu politik uang, memilih berdasarkan like
or dislike tanpa memandang kualitas, memilih keluarga dan hal lainnya tidak
perlu dilakukan lagi, sehingga masa depan bangsa Indonesia untuk lima tahun ke
depan lebih baik dari saat ini.
No comments:
Post a Comment