hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Wednesday, 12 March 2014

ARAH DEMOKRASI INDONESIA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
   Pasca 1998, Indonesia sepertinya memiliki wajah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak harapan dari adanya reformasi untuk menuju Indonesia lebih baik. Era orde baru yang otoriter-sentralistis berubah menjadi demokratis-desentralisasi. Sistem seperti ini diharapkan bisa lebih bisa mempercepat pembangunan di daerah-daerah, sehingga pemerataan pembangunan mampu tercapai.
Namun, setelah 15 tahun demokrasi langsung dilaksanakan, masih banyak permasalahan yang terjadi, malah menimbulkan banyak masalah. Demokrasi justru tidak efesien. Dalam demokrasi, proses pengambilan keputusan bisa bertele-tele. Pemerintah yang demokratis pun berpotensi tunduk atas tekanan populis untuk mendahulukan konsumsi atas investasi atau pengendalian invlansi. Justru pemerintah yang otoriter berkampuan untuk mengambil keputusan berorientasi jangka panjang (Galenson 1959, Huntington 1968, atau O’Donnell 1973)[1].
Kekhawatiran tentang demokrasi ini juga sebenarnya sudah disampaikan oleh para filsuf. Plato menghawatirkan demokrasi menjadi mabokrasi (oleh kaum gembel). Winston Churchill menyatakan bahwa democracy is the worst possible form of govern ment except-all the others that have been tried. Sepertinya apa yang dikhawatirkan tersebut sedang melanda Indonesia.
Demokrasi langsung di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utamanya adalah tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih rendah. Itulah yang menyebabkan partisipasi politik rendah dan tidak produktif. Tidak produktif dalam artian tidak bisa menggunakan hak suaranya dengan baik dan benar, sehingga wakil rakyat maupun pemimpinnya (presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota) yang dipilih tidak memiliki kapabilitas dan integritas dalam memimpin.
Saat ini rata-rata lama pendidikan orang Indonesia hanya 8,02 tahun. Itu berarti setara dengan kelas 2 SMP[2]. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat pemahaman masyarakat tentang pemerintahan,politik, ekonomi dan lainnya. Rendahnya tingat pendidikan itu membuat demokrasi langsung Indonesia tidak sesuai dengan harapan. Money politic akan selalu menjamur dalam setiap perhelatan pemilu. Konflik pasca pemilu pun akan rentan terjadi. Itulah sebabnya perlu adanya peningkatan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Amanah UUD 1945 untuk mengalokasikan 20% dari APBN dan APBD digunakan dalam bidang pendidikan dinilai tepat. Namun dalam prakteknya, banyak anggaran tersebut diperuntukkan untuk hal-hal yang tidak bersifat urgen, mulai dari pembangunan gedung, gaji dan honor guru, dan lainnya. Perlu adanya suatu manajemen yang benar supaya anggaran tersebut bisa digunakan dengan sebaik mungkin.
Tanpa adanya peningkatan pendidikan, maka demokrasi Indonesia akan berjalan tanpa arah yang akan menyebabkan kehancuaran bukan perbaikan. Demokrasi langsung malah menyebabkan korupsi di negeri ini semakin menumbuh suburkan korupsi. Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri per Februari 2014, sudah 311 kepala daerah yang terandung korupsi. Inilah salah satu akibat dari adanya pemilu di Indonesia.
Berbeda lagi kalau melihat kebijakan yang diambil, banyak yang lebih mementingkan kepentingan individu, kelompok dan partainya. Kebijakan mengarah ke arah yang bersifat politis, sehingga kebijakan yang ditelurkan tidak bisa menjangkau semua kebutuhan publik. Perlu adanya perbaikan dalam pelaksanaan demokrasi langsung di negeri tercinta ini. Demokrasi saat ini terlalu over atau kebablasan.
Banyak ahli mengakui demokrasi Indonesia paling bebas. Amerika sebagai pioner dari demokrasi pun tidak seperti apa yang ada di Indonesia. Jadi perlu adanya pembenahan sistem demokrasi ke depannya. Pembenahan yang bisa dilakukan bisa dimulai dari memperbaiki mekanisme penjaringan calon, meningkatkan pendidikan masyarakat bisa dlakukan melalui sosialisasi berkala, diklat dan sejenisnya, pemberian sangsi bagi yang melanggar ketetentuan baik yang menerima maupun yang memberikan.
Dalam Pemilu 2014 ini diharapkan kemelekan dan kesadaran masyarakat meningkat, sehingga hasilnya bisa lebih baik dari sebelumnya. Apa yang menjadi masalah, baik itu politik uang, memilih berdasarkan like or dislike tanpa memandang kualitas, memilih keluarga dan hal lainnya tidak perlu dilakukan lagi, sehingga masa depan bangsa Indonesia untuk lima tahun ke depan lebih baik dari saat ini.      



[1] Hendarmin Ranadireksa. “Arsitektur Konstitusi Demokrasi”, (Bandung: Fokusmedia, Oktober 2009), hal. 13
[2] “Rata-Rata Pendidikan Orang Indonesia Setara Kelas 2 SMP (11/03/2014), poskotanews.com, diakses tanggal 12 Maret 2014.

No comments:

Post a Comment