Oleh: Dedet Zelthauzallam
Kampanye
merupakan salah satu bagian dari pemilu. Menurut Rogers dan Storey (1987),
kampanye didefinisikan sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana
dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang
dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Tujuannya berarti untuk memperkenalkan visi, misi dan program
yang diusung oleh parpol dan caleg supaya konstituen mau memilihnya dalam
pemilu.
Kampanye
terbuka pemilu legislatif 2014 sudah dilaksanakan mulai tanggal 16 Maret – 5
April 2014. Dalam pelaksanaan kampanye, bisa disaksikan bagaimana parpol dan
para jurkamnya menyungguhkan orasi yang begitu memikat kepada konstituen.
Tempat kampanye pun selalu dipenuhi oleh masyarakat yang tidak tahu tujuannya
apa. Dikatakan demikian karena kebanyakan masyarakat hanya datang ke tempat
kampanye untuk menikmati hiburan yang disajikan parpol tertentu.
Kampanye
terbuka yang dilaksanakan di Indonesia sepertinya masih sifatnya hanya euforia
saja tanpa memperhatikan subtansi yang disampaikan. Inti dari pelaksanaan
seolah-olah dikesampingkan. Parpol dalam menghimpun masyarakat kebanyakan
menggunakan cara mobilisasi dengan memberikan uang kepada masyarakat yang akan
datang. Siapa yang berani bayar, maka tempat kampanyenya pun akan selalu penuh.
Banyak
bukti dari adanya mobilisasi massa pada saat kampanye. Mulai dari dibawanya
anak-anak, orang awam yang tidak tahu mau melakukan apa dan seterusnya.
Mobilisasi massa juga bisa dilihat dari hasil suara parpol pada pemilu.
Hasilnya sangat berbeda jauh dengan jumlah massa pada saat kampanye.
Black compaign
biasanya banyak terjadi pada saat pelaksanaan kampanye terbuka. Parpol dan
caleg bisa dikatakan banyak mengikuti ajaran Machavelli yang menghalalkan
segala cara dalam meraih kekuasaan. Ini bisa dilihat dari parpol melakukan
transaksi atau jual beli suara. Dengan memberikan sekian rupiah supaya dicoblos
dalam pemilu.
Budaya
seperti itulah yang merusak sendi-sendi berdemokrasi di negeri ini. Korupsi,
kolusi dan nepotisme bersumber dari pemilu yang curang. Mahalnya ongkos dalam
meraih kursi kekuasaan membuat mereka yang sudah duduk mencari cara
mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya. Semua akan dilakukan demi
membalikkan modal mereka.
Kampanye
yang saat ini dilakukan bisa dikatakan tidak efektif. Ke depannya, pelaksanaan
pemilu terbuka perlu dievaluasi supaya subtansi dan pelanggaran dari kampanye
bisa tercapai. Penyelenggara pemilu harus membuat formula yang kira-kira bisa
menjawab permasalahan yang terjadi sekarang ini. Jangan sampai parpol dan calon
hanya jual janji saja kepada masyarakat dan melakukan transaksi yang menjadi
biang keladi masalah.
Langkah
yang perlu dilakukan adalah membuat kampanye yang lebih bersifat dua arah.
Supaya antara calon dan konstituen bisa melakukan komunikasi, ada tanya jawab.
Dan cara selanjutnya adalah memperbanyak debat antar calon, sehingga
kapabilitas calon bisa dilihat oleh publik.
No comments:
Post a Comment