Oleh: Dedet Zelthauzallam
Kampanye
terbuka untuk pemilu legislatif 2014 akan dimulai tanggal 16 Maret – 5 April 2014.
Kampanye ini pastinya akan diikuti oleh para petinggi partai, baik yang ada
dalam pemerintahan maupun tidak. Berdasarkan data dari Kemendagri, sampai
tanggal 13 Maret 2014 sudah ada 22 gubernur dan wakil gubernur yang mengajukan
cuti untuk menjadi juru kampanye[1]. Dan
KPU juga sudah menerima enam pemberitahuan izin cuti dari pejabat negara, yakni
presiden dan lima menteri[2].
Cuti
pejabat negara dan kepala daerah ini memang menuai pro dan kontra. Namun ini
memang tidak bisa dihindari, karena kita ketahui bersama asal muasal dari
pejabat negara kebanyakan dari partai. Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu 2,
ada sekitar 50% lebih berasal dari partai dan mayoritas kepala daerah, baik
gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil
walikota diusung oleh partai politik, sehingga sulit apabila melarang pejabat negara
maupun daerah untuk tidak mengikuti kampanye.
Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2013, maka pejabat
negara yang berasal dari parpol mempunyai hak mengikuti kampanye pemilu.
Pejabat yang melaksanakan kampanye wajib menjamin terwujudnya misi dan
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara, serta asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Pejabat yang cuti juga dilarang untuk menggunakan
fasilitas negara dalam kegiatan kampanye.
Berdasarkan
instruksi Mendagri, untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh
melaksanakan kampanye secara bersama-sama, harus bergantian, supaya
penyelenggaraan pemerintahan tidak terganggu. Dan untuk para menteri KIB II
harus siap-siap dipanggil presiden apabila ada hal yang bersifat mendesak dan
urgen. Mentri yang bersangkutan harus meninggalkan kampanye yang sedang
dilaksanakannya dan segera kembali melaksanakan tugas dan fungsinya.
Melihat
aturan yang ada, maka cuti pejabat negara dan kepala daerah dalam pelaksanaan kampanye
memang sudah diatur sedemikian rupa supaya penyelenggaraan pemerintahan tetap
berjalan dengan baik dan lancar. Sekarang tinggal bagaimana publik memberikan
pengawasan kepada pejabat yang sedang melaksanakan kampanye supaya tidak
melanggar aturan yang sudah ada. Apabila ada, maka dilaporkan dan pihak yang
berwenang harus memberikan sangsi yang tegas.
Ke
depannya, diharapkan pengaturan tentang kampanye pejabat ini harus lebih diperketat,
sehingga para pejabat tidak secara leluasa meninggalkan amanah yang sudah
diberikan kepadanya. Hal yang paling sulit untuk ditinggalkan oleh pejabat adalah
penggunaan fasilitas negara yang melekat dalam diri pejabat. Misalnya presiden,
maka tidak akan bisa tidak menggunakan keamanan, kemana pun presiden pergi. Ini
berarti sudah menggunakan fasilitas negara. Hal seperti inilah yang perlu
diperhatikan supaya tidak terjadi abust
of power dan conflict of interest dalam
pelaksanaan kampanye oleh pejebat.
Menurut
saya, lebih baik ada aturan yang melarang pejabat negara, mulai dari presiden,
mentri dan kepala daerah untuk tidak boleh ikut dalam kampanye. Ini untuk
meminimalisir adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kerugian negara.
No comments:
Post a Comment