Pages

Friday, 29 March 2013

LOMBOK TENGAH: GOLKAR ITU BUPATI


Oleh : Dedet Zelthauzallam
Tahun 2004 adalah babak baru bagi daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Dimana dengan adanya UU 32/2004, pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur daerahnya secara luas. Dan di tahun 2005, pemilihan langsung pertama kali dilaksanakan di daerah untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota.
Dalam pemilihan langsung ini tidak lepas dari peran dari partai politik. Partai politik (parpol) memiliki peran sangat penting dan bisa dikatakan sangat strategis. Parpol sebagai kendaraan untuk bisa menjadi Gubernur, Bupati/Walikota ataupun anggota DPRD. Hal ini membuat elit masyarakat untuk berlomba-lomba masuk dan menjadi pimpinan parpol.
Di Kabupaten Lombok Tengah, ada hal yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, yaitu hubungan antara partai penguasa dan bupati. Di Lombok Tengah partai yang berkuasa adalah Partai Golkar. Partai Golkar sebagai penguasa di legislative/DPRD Lombok Tengah selalu dipimpin oleh Bupati Lombok Tengah. Bayangkan saja, DPD tingkat II PG Loteng selalu bupati. Pada tahun 2005-2010, Bupati Lombok Tengah adalah  H.L. Wiratmaja (Mamiq Ngoh) maka beliaulah yang menjadi Ketua DPD II PG Loteng. Saat Mamiq Ngoh tidak lagi menjadi bupati, maka beliau tidak lagi menjadi Ketua DPD II PG. Beliau diganti oleh bupati terpilih untuk periode 2010-2015, H. Suhaili, S.T.
Bayangkan saja pada Pemilihan Bupati Lombok Tengah 2010, Partai Golkar mengusung incumbent, Mamiq Ngoh, untuk maju sebagai bupati. Mamiq Ngoh kalah bersaing dengan Suhaili, hanya bisa berada diurutan ke tiga. Pada putaran ke-2, Suhaili memenangkan pemilihan untuk periode 2010-2015 mengalahkan Gde Sakti. Dengan terpilihnya menjadi bupati, maka Suhaili menjadi Ketua DPD II PG menggantikan Mamiq Ngoh.
Dari hal tersebut, Penulis berpendapat bahwa DPRD Lombok Tengah dikuasai oleh bupati. Jadi apa pun kemauan dan kebijakan bupati, maskipun itu salah atau kurang tepat akan diamini oleh DPRD. Check n blance antara ekskutif dan legislatif akan sangat minim di Lombok Tengah. Partai pohon beringin yang mendominasi di legislatif/DPRD Lombok Tengah akan dengan gampangnya mempengaruhi fraksi lainnya untuk menggolkan kebijakan bupati, kerena bupati adalah atasannya di partainya. Hal inilah sebagai salah satu faktor yang menyebabkan Kabupaten Lombok Tengah kurang bisa bersaing dengan kabupaten lainnya di NTB.
Apabila hal ini dibiarkan, maka di Kabupaten Lombok Tengah tidak akan dikenal lagi namanya pemisahan kekuasaan, trias politica. Bupati akan menguasai DPRD. Praktek kongkalikong akan makin kental dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan yang dihasilkan bukan untuk kepentingan publik, namun lebih cenderung ke partainya. Praktek korupsi berjemaah akan makin mudah dilakukan.
Jadi budaya politik seperti di atas harus bisa dicarikan solusi agar ekskutif dan legislatif ada check n blance dalam mengambil kebijakan. Kebijakan untuk kepentingan masyarakat Lombok Tengah, bukan untuk partai dan golongannya saja. 

Thursday, 28 March 2013

PILGUB 2013: MILIKNYA INCUMBENT, NTB?


Oleh : Dedet Zelthauzallam
Pada awal tahun 2013, ada beberapa pemilihan gubernur yang dilakukan. Dibalik pilgub itu ada hal-hal yang menarik perhatian. Baik dilihat dari segi calon, partai pengusung, kegiatan kampanye, partisipasi masyarakat (golput) ataupun sampai pemenang pilgub. Misalnya, Pilgub Jabar didominasi oleh para artis sebagai cagub/cawagubnya. Pokoknya banyak hal yang menarik dari pesta demokrasi terbesar di daerah ini.
Kalau dilihat dari segi pemenang pilgub di awal tahun 2013 ini, pemenangnya didominasi oleh calon petahana (incumbent). Incumbent bisa dikatakan sangat hoki di awal tahun ini. Hebatnya lagi, incumbent selalu bisa menang dalam 1 putaran saja. Berarti calon incumbent ini meraih suara lebih dari 30%. Luar biasa memang calon incumbent di awal tahun ini.
 Pilgub yang dilaksanakan di awal tahun ini yang memenangkan incumbent, antara lain:
1.    Pilgub Sulawesi Selatan
2.    Pilgub Jawa Barat
3.    Pilgub Sumatera Utara
Dari ketiga pilgub tersebut, sang incumbent menang dalam satu putaran. Pilgub Sulsel dimenangkan oleh Pak Yasin Limpo, Jabar dimenangkan oleh Pak Ahmad Heryawan dan Sumut dimenangkan oleh Pak Gatot.
Bagaimana dengan Pilgub NTB?
Pilgub NTB akan dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013. Ada empat pasangan calon yang akan bertarung, salah satunya adalah calon incumbent, DR. KH. M. Zainul Madjdi, MA alias Tuan Guru Bajang. Sang incumbent diusung oleh tujuh partai besar, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PDI Perjuangan, dan Partai Gerindra.
Dengan melihat partai pengusung sang incumbent, maka bisa diprediksikan bahwa TGB akan memenangkan Pilgub NTB 2013. Ditambah lagi dengan kepopuleran TGB di NTB sebagai seorang ulama yang cerdas dan memiliki kapabalitas, kredibelitas dan integritas.
Akankah Pilgub NTB menambah rentetan panjang dari kesuksesan calon incumbent di awal tahun 2013? Kita tunggu saja jawaban dari masyarakat NTB pada tanggal 13 Mei 2013. Kalau calon incumbent pada Pilgub NTB bisa menang, berarti bisa dikatakan bahwa 2013 adalah tahunnya incumbent.

Wednesday, 27 March 2013

ANALISA PILGUB NTB 2013


Oleh : Dedet Zelthauzallam
Pilgub NTB akan dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013. NTB yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kota memiliki Daftar Penduduk Pontensial Pemilih Pemilu (DP4) berjumlah 3.917.954. Sedangkan yang sudah terdaftar pada Daftar Pemiih Sementara (DPS) sebanyak 3.452.628. KPU NTB sudah menyiapkan 8.924 TPS untuk Pilgub NTB.
Pada pilgub NTB 2013, ada lima bakal calon yang mendaftarkan diri. Salah satu bakal calon yang mendaftar melalui jalur independen, Lalu Ranggalawe dan Ahmad Mukhlis (LARIS). Sedangkan 4 pasangan lainnya didukung oleh partai politik.
Pada tanggal 25 Maret 2013, KPU menetapkan 4 pasangan cagub/cawagub untuk pilgub NTB. Pasangan LARIS tidak diloloskan karena tidak memenuhi syarat.  Jadi yang bertarung dalam pilgub adalah:
·         TGH. M. Zainul Majdi dan Muhammad Amin (TGB-Amin) yang diusung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PDI Perjuangan, dan Partai Gerindra.
·         Harun Al Rasyid dan TGH. L. Muhyi Abidin (Harum) yang diusung oleh Partai Hanura, PNBK Indonesia, PPDI, Partai Buruh, PNIM, PDP, PSI, PPNUI, PPN, PPI, PKP, partai Patriot, Partai Merdeka, PMB, PIS, Partra Barnas, Partai kedaulatan dan PKPI.
·         DR. K.H. Zulkifli Muhadli dan Prof. DR. H. Muhammad Ichasn (Zul-Ichsan) diusung oleh Partai Bulan Bintang, PKNU, PKPB dan PPPI
·         H. Suryadi Jaya Purnama dan Johan Rosihin (SJP-Jo) diusung oleh PKS, PBR dan PPRN.
Empat pasangan calon ini akan memperebut kursi NTB-1 dan NTB-2. Sang incumbent, Tuan Guru Bajang (TGB) akan siap bertarung dengan kandidat lainnya.
Analisa Faktor Menuju Kemenangan Cagub/Cawagub
Secara teoritis terdapat beberapa faktor yang diasumsikan dapat berpengaruh terhadap suara yang akan diperoleh oleh kepala daerah. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut:
1.    Pengaruh Figur Cagub dan Cawagub
Banyak survey membutikan bahwa pemilih di Indonesia lebih memperhatikan figur dari pada visi, misi serta partainya. Partai seolah-olah hanya menjadi jembatan oleh cagub/cawagub untuk bisa menjadi calon/kandidat. Partai kurang bisa memberikan dampak yang besar kepada cagub/cawagub, karena saat ini masyarakat sudah tidak terlalu percaya kepada partai. Apa pun partainya kalau calonnya atau figurnya oke maka akan dipilih oleh rakyat.
Dari figur kandidat paling tidak ada dua hal yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu performance (penampilan) calon dan track record (rekam jejak) calon. Performance ini lebih mengarah kepada bagaimana cagub/cawagub mencitrakan diri kepada masyarakat. Masyarakat akan lebih memilih calon pemimpinnya memiliki kredibelitas, kapabalitas dan integritas. Ketampanan dan attitude juga masuk dalam performance. Sedangkan track record/rekam jejak calon memiliki pengaruh yang sangat besar. Masa lalu atau pengalaman kerja dari calon akan berpengaruh utuk diterima oleh masyarakat.
Melihat cagub/cawagub NTB tahun 2013, maka bisa dilihat berbagai figur yang memiliki peformence dan track record yang mumpuni. Calon incumbent, TGB, merupakan kandidat yang bisa dikatagorikan lebih dari calon lainnya. Bagaimana tidak sang incumbent mempunyai latar belakang keluarga yang bisa dikatakan sudah sangat berjasa bagi NTB, khususnya di Lombok. Kakek dari TGB merupakan pendiri dari NW, yang merupakan organisasi besar di Pulau Seribu Masjid. Hal ini akan sangat membantu untuk menarik suara masyarakat untuk memilihnya.
Selain incumbent, bisa dilihat mantan Gubernur NTB, Harun Al Rasyid juga menjadi calon. Harun merupakan tokoh yang memiliki pengalaman yang sangat banyak dalam dunia pemerintahan, baik di ekskutif maupun legislative. Saat ini Harun sebagai anggota DPR RI. Selain itu juga bisa dilihat bagaimana Bupati Sumbawa Barat, Kyai Zul, menjadi calon. Dan yang tidak kalah lagi adalah mantan aktifis yang memiliki semangat yang luar biasa, SJP.
Ke empat pasangan calon gubernur tersebut memiliki pendamping/cawagub yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang politisi dan akademisi. Hal ini akan menambah magnet suara terhadap pasangan tersebut.
Dalam hal figur, Penulis menaruh pasangan TGB-Amin di atas calon lainnya. TGB, penulis rasa sebagai seorang figur yang sangat dikenal oleh masyarakat NTB.
2.    Isu Politik dari Pasangan Cagub/Cawagub
Dalam pemilihan gubernur langsung, dimana masyarakat memiliki peran yang sangat penting harus bisa dipengaruhi oleh cagub/cawagub. Isu-isu politik yang akan diangkat oleh cagub/cawagub akan memberikan dampak yang sangat besar dalam maraih suara rakyat. Isu politik yang sering dipakai oleh calon adalah mengenai agama, suku, daerah dan partai.
Kalau kita melihat cagub/cawagub NTB tahun 2013 mungkin bisa dikatakan dari segi agama homogen. Cagub/cawagub NTB semuanya beragama Islam. Tetapi kalau dilihat dari suku, maka semua suku di NTB terwakili. Harun berasal dari suku Mbojo, Kyai zul dari suku Samawa dan dua pasangan lainnya, TGB dan SJP berasal dari suku sasak. Isu politik yang akan diangkat oleh masing-masing kandidat juga tidak terlepas dari pengaruh partainya.
Dari ke empat pasangan cagub/cawagub NTB harus bisa memberikan isu politik yang kira-kira sangat berpengaruh besar dan dibutuhkan oleh masyarakat NTB. Sampai saat ini, penulis melihat bahwa isu yang diambil oleh cagub/cawagub belum ada yang bisa dikatakan frontal dan memiliki pengaruh yang besar bagi pemilih.
3.    Platform dari Cagub/Cawagub
Platform yang dimaksud dalam hal ini adalah mengenai bagaimana Cagub/Cawagub mengenai visi dan misi yang ditawarkan selama kampanye. Meskipun masyarakat saat ini sudah tidak terlalu tergiur dengan janji-janji melalui kampanye, tetapi paling tidak akn bisa membantu. Kampanye akan bermakna ketika cagub/cawagub menawarkan program yang berkaitan langsung dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.
Dari ke empat pasangan Cagub/Cawagub NTB belum memberikan suatu visi dan misi yang jelas. Tetapi ada beberapa calon sudah menawarkan visinya. Ada yang melalui iming-iming pendidikan dan kesehatan gratis. Masyarakat NTB masih menunggu visi yang akan ditawarkan oleh cagub/cawagub.
Dari ketiga faktor tersebut, cagub/cawagub NTB 2013 masih memiliki peluang yang terbuka untuk memenangkan kursi NTB-1 dan NTB-2. Tetapi, penulis melihat pasangan TGB-Amin memiliki peluang yang lebih besar dari pada calon lainnya. Ini disebabkan oleh sang incumbent adalah figur yang masih dinilai oleh masyarakat memiliki kapabalitas dan integritas untuk membangun NTB.
Suara TGB Pada Pilgub NTB 2008 untuk Pilgub 2013?
Pada pemilihan gubernur NTB 2008 diikuti juga oleh empat pasangan cagub/cawagub. Pasangan BARU (TGB-Munir) memenangkan pilkada NTB. Pada tahun 2008 dari 9 kabupaten/kota (KLU masih LOBAR), TGB hanya mampu meraih suara terbanyak di 5 Kabupaten/Kota, yaitu Lombok Timur, KSB, Sumbawa, Kota Bima dan Kabupaten Bima. Tetapi kalau melihat peta politik saat ini, maka TGB akan sulit mempertahankan daerah atau basis kemenangannya pada pilgub 2008 itu. Ini disebabkan oleh ada cagub/cawagub dari daerah tersebut.
Misalnya, di Kabupaten Sumbawa Barat akan sulit untuk TGB mmepertahankannya, karena Bupati KSB juga ikut sebagai cagub. Di wilayah Bima juga bisa dikatakan sulit kerena Harun berasal dari Kota Bima dan sukunya Mbojo. Dan kalau kita melihat daerah atau kabupaten kelahirannya, Lombok Timur, maka disini juga bisa dikatakan sulit bagi TGB, karena cagub dari Lotim ada 2 (TGB dan SJP) dan Cawagub ada 2 (Ichsan, Muhyi). Otomatis masyarakat Lotim akan terbagi ke empat pasangan calon yang ada. Kalau di Kabupaten Sumbawa mungkin akan masih TGB unggul karena Cawagub, Amin, berasal dari daerah ini.
Tetapi kalau melihat Kabupaten lainnya, baik Lombok Barat, Lombok Tengah, Kota Mataram, KLU dan Dompu maka suara untuk masing-masing calon masih sama kuat. Khususnya untuk pasangan TGB-Amin mungkin akan meraih kemenangan di Lombok Barat, karena Bupati Lombok Barat, Zaini Aroni, selaku ketua DPP Golkar memiliki pengaruh yang sangat besar di kabupaten ini.
Dari ke empat pasangan cagub/cawagub, penulis masih menjagokan pasangan TGB-Amin untuk merebut kursi NTB-1 dan NTB-2. Ini disebabkan oleh faktor figur yang dimiliki oleh TGB. TGB sebagai cucu dari pendiri NW adalah tokoh muda yang memiliki kapabalitas, baik dari knowledge, skill dan attitude. Track record dari TGB selama memimpin juga akan menjadi pertimbangan bagi pemilih. NTB selama kepemimpinan TGB bisa lebih baik dari sebelumnya dan banyak prestasi yang diraih. Hal ini akan menjadi magnet bagi masyarakat untuk memilihnya. Penulis juga memprediksikan, pilgub NTB akan berlangsung satu putaran.

Saturday, 23 March 2013

POLITIK DINASTI MEWARNAI OTONOMI DAERAH


Oleh : Dedet Zelthauzallam
Dinasti merupakan kata yang sering digunakan untuk menggambarkan bagaimana kekuatan para penguasa/raja di zaman kerajaan. Penguasa terdahulu menyebut masa kekuasaan sebagai dinasti, misalnya dinasti ayyubiyah, dinasti ming, dinasti han dan masih banyak lagi dinasti lainnya lagi. Dinasti ini merupakan kekuasaan politik yang mengutamakan kekeluargaan, kekerabatan dan golongannya. Rakyat hanya sebagai penonton kekusaan. Pemimpin memiliki otoritas yang sangat besar, powerfull dalam memimpin.
Di zaman modern ini, dinasti itu sudah dikatakan basi. Apalagi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi seharusnya sudah jauh-jauh ditinggalkan, karena prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat memegang kendali melalui hak pilih yang dimilikinya. UUD 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Jadi dinasti itu lawannya dari demokrasi.
 Namun di era demokrasi sekarang ini, dinasti juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun pemilihan langsung. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut sebagai politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme. Para pejabat politik di negeri ini sedang memperaktekkan kebiasaan para raja terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan orang-orang dekat mereka  untuk mengisi jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya. Kalau seperti ini apa bedanya demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang oleh elite tertentu.
Politik dinasti di internal partai politik sangat terlihat menonjol. Para penguasa, pendiri dan elite partai berlomba-lomba mengkaderkan anak, kerabat dan sahabatnya sebagai penerusnya. PDIP merupakan partai yang bisa dikatakan sebagai salah satu yang mengadopsi dinasti politik. Megawati sebagai ketua umum partai mengkaderkan anaknya sebagai penerusnya, Puhan Maharani. Di kubu Partai Demokrat juga tidak lepas dari dinasti ini. SBY sebagai pioner PD dan memiliki otoritas yag sangat urgen mengkaderkan anaknya, Ibas sebagai penerusnya. Saat ini, Ibas sebagai Sekjen DPP Demokrat.
Dinasti Politik di Era Otda
 Dengan dikeluarkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota. Apalagi di tahun 2005 dilaksanakan pemilihan kepala daerah langsung, yang pertama kali dilaksanakan di Sulawesi Utara, pemilihan Gubernur Sulut 2005.
Dengan adanya otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra daerah untuk membangun daerahnya. Otda, partisipasi masyarakat diharapkan lebih banyak dalam membantu pembangunan. Namun dalam prakteknya ternyata otonomi daerah ini bukan seperti itu. Malah otda ini memberikan keluasan kepada elite untuk menguasai daerah.
Provinsi Banten merupakan salah satu dinasti politik yang sangat menonjol. Dimana di Banten dikuasai oleh kelurganya Ratu Atut/Gubernur Banten. Bayangkan saja, setengah dari jumlah kabupaten/kota di Banten dikuasai oleh kelurga Ratu Atut. Dari 8 kabupaten/kota, ada 4 daerah yang dikuasai oleh keluarga gubernur. Selain di Banten, Sulawesi Utara sebagai provinsi pertama menyelenggarakan pemilukada langsung tidak terlepas dari namanya dinasti politik ini. Anaknya Surandajang/Gubernur Sulut terpilih menjadi wakil bupati Minahasa. Banten dan Sulut merupakan sampel dari dinasti politik di zaman otonomi daerah tingkat provinsi.
Di tingkat Kabupaten/Kota juga sudah terkontaminasi dengan politik dinasti. Misalnya, di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang dikuasai oleh keluarganya Yance (Cagub Jabar 2013). Yance merupakan Bupati Indramayu selama 2 periode. Setelah itu istrinya menjadi Bupati Indramayu setelahnya. Di Kota Mataram, NTB juga bisa dilihat politik dinasti. Dimana anaknya Ruslan (Wali Kota 2 periode) menjadi wakil walikota setelahnya.   
Masih banyak lagi politik dinasti yang dipraktekkan di daerah-daerah. Baik itu sebagai pimpinan tertinggi (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wali Kota/Wawali) ataupun hanya ditempatkan sebagai pimpinan SKPD. Bisa dikatakan politik dinasti sudah menjamur di daerah-daerah otonom.
 Politik dinasti ini sebagai cambuk bagi berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan pusat bukannya untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite masyarakat. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang tersandera oleh demokrasi modern, yang disebut politik dinasti.
Politik dinasti ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan, keturunan dan keluarganya saja.
Saat ini, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri sedang merancang UU untuk meminimalkan  politik dinasti ini. Di dalam RUU tersebut menyebutkan bahwa kepala daerah yang menjabat saat ini (2 x periode jabatan) tidak boleh mencalonkan istri, anak dan keluarganya untuk satu kali pemilihan. Ini dimaksud untuk membatasi adanya kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia.
Politik dinasti harus dilawan oleh semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang ada di daerah itu. Seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang memiliki akuntaabilitas, kapabalitas dan integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap ditegakkan.



Wednesday, 20 March 2013

KETIKA ENTREPREANERSHIP DIBIROKRASIKAN


Oleh : Dedet Zelthauzallam
Dewasa ini, kata entrepreanership mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Kata ini mungkin sudah sangat familiar di kalangan masyarakat, baik itu di kalangan muda maupun tua, apalagi bagi pengusaha. Banyak yang telah menggunakan kata entrepreanership sebagai kosa kata dalam kehidupan sehari-hari, baik secara formal maupun informal. Entrepreanership itu arti sederhananya adalah berwirausaha.
Jiwa entrepreanership dinilai memiliki kelebihan yang perlu diikuti dan dilaksanakan oleh setiap orang maupun instansi/lembaga/unit. Jiwa entrepreanership memberikan sebuah paradigma berpikir yang inovatif, sehingga mampu melihat dan mengolah peluang dengan cepat. Jiwa entrepreanership juga bekerja sesuai dengan prinsip manajemen (efektif, efesien, ekonomis dan equality). Seorang pengusaha harus memiliki kemampuan untuk menarik pelanggan. Kemampuan yang paling penting adalah bagaimana caranya seorang pengusaha berkomunikasi dengan pelanggannya. Komunikasi yang baik akan membuat pelanggan akan selalu mencari pengusaha tersebut.
Apabila kita bandingkan entrepreanership dengan birokrasi, maka sangat bertolak belakang. Bisa dilihat bagaimana birokrasi di Indonesia itu sangat berbelit-belit. Birokrasi itu memberikan prosedur yang sangat panjang dalam memberikan pelayanan. Bisa dilihat juga, bagaimana sikap dari aparat birokrasi itu sendiri. Aparat birokrasi tidak memiliki sikap/attitude yang baik untuk bisa membuat masyarakat senang untuk datang. Malah dengan sikap apatis aparat birokrasi masyarakat malas untuk datang ke kantor Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dan sebagainya.
Birokrasi seharusnya mengambil nilai yang ada di entrepreanership. Ketika birokrasi mengadopsinya maka kekurangan atau kelemahan dari birokrasi itu bisa untuk diminimalisir. Birokrasi akan bisa menjawab persoalan ketika birokrasi mau untuk keluar dari yang namanya prosedur. Prosedur itu harus tetapi jangan terlalu memakan waktu yang lama.
Jadi bisa dikatakan bahwa birokrasi perlu untuk dientrepreanership. Harapan kita adalah birokrasi di Indonesia makin baik untuk bisa meningkatkan pelayanan untuk masyarakat. Masyarakat sudah muak dengan model birokrasi saat ini. Masyarakat menunggu birokrasi yang seperti entrepreanership.
   

Saturday, 16 March 2013

PILKADA: CALON OKE, GOLPUT NO


Oleh :  Dedet zelthauzallam
Pilkada sebagai pesta demokrasi terbesar di daerah, seharusnya disambut antusias oleh masyarakat. Namun, dalam kenyataannya masyarakat sangat kurang antusias dalam menyambut pilkada. Bisa dilihat bagaimana tingkat  partisipasi pemilih untuk menyalurkan suara dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota sangat memprihatinkan. Ini merupakan masalah yang sangat memprihatinkan dan harus cepat dicari solusi untuk penyelesaiannya.
Bayangkan saja, tingkat golput di pilkada tidak pernah kurang dari 30%. Misalnya, pemilihan gubernur Sumatera Utara 2013 tingkat golputnya mencapai 63,38% suara, pemilhan gubernur Jabar 2013 golputnya 37,85%, dan pemilihan gubernur DKI 2012 golputnya mencapai 32,23% . Ini berarti, masyarakat yang tidak memberikan suara sangat banyak, sekitar 1/3 dari jumlah pemilih. Apalagi di pilgub Sumut lebih banyak yang tidak memilih dari pada yang memilih.
Tingkat golput yang tinggi merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi di Indonesia, khususnya di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bagaimana tidak pilkada langsung yang dilaksanakan dari tahun 2005 tidak mampu menjawab masalah golput ini, malah tingkat golput ini makin lama makin meningkat. Mungkin pada awalnya, banyak yang mengklaim bahwa golput itu dilakukan karena kurang meleknya masyarakat dengan namanya pilkada langsung atau disebut masyarakat Indonesia masih mengadopsi budaya politik prokhial dan kaula. Jadi masyarakat dinilai kurang mampu, sadar dan peduli akan pentingnya pilkada itu. Tetapi ternyata pendapat tersebut apabila dikaji setelah dilakukannya pemilu langsung sejak tahun 2004 (pemilihan legislatife dan presiden) dan 2005 (Pilkada) maka itu bisa dikatakan tidak benar.
 Golput sebenarnya bukan karena kurang meleknya masyarakat tentang politik, tetapi karena lebih kepada masyarakat merasa pilkada tidak bisa menjawab persoalan mendasar dari masyarakat itu sendiri. Slogan yang menyatakan  “suara anda menetukan nasib daerah ini selama 5 tahun ke depan”, dianggap hanya omong kosong belaka. Bagaimana tidak, kepala daerah yang sudah terpilih bukan memperjuangkan kepentingan masyarakat umum, tetapi lebih cenderung untuk kepentingan krononi, kelompok dan partainya. Banyak kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
 Dalam pilkada ini, masyarakat hanya diingat pada waktu menjelang penycontrengan atau pencoblosan. Tetapi setelah terpilih seorang kepala daerah seolah-olah hilang ditelan bumi. Kepala daerah terpilih melupakan semua janji-janji manis yang dilontarkan pada masa kampanye. Kepala daerah lupa dengan fakta yang ada di daerahnya. Masyarakat hanya bisa melihat bagaimana kepala daerah terpilih duduk sebagai orang nomor satu di daerahnya yang hidup dengan kemewahan. Bagaikan seorang penguasa di zaman kerajaan, yang dikelilingi oleh selir-selir cantik dan dikawal oleh pengawal (vorjaider) yang tangguh di setiap langkahnya. Sikap seperti inilah penyebab dari makin tingginya golput di pilkada langsung.
Jadi golput bisa diminimalisir dengan cara pemerintah di bawah komando kepala daerah terpilih harus mampu memberikan bukti perubahan bagi masyarakat ke arah lebih baik. Kepala daerah terpilih harus konsisten dalam mencapai dan melaksanakan visi dan misi selama kempanye. Apabila kepala daerah terpilih bisa memberikan bukti, maka masyarakat sebagai pemilih akan merasa tidak sia-sia dalam meluangkan waktu pergi ke TPS.
Selain itu juga, dalam pilkada partai politik memiliki peran sangat penting dalam menekan tingkat golput. Parpol harus bisa mengusung calon kepala daerah setelah difilter sebaik mungkin, yang pro rakyat. Calon kepala daerah yang diusung harus memiliki kapabilitas dan integritas untuk membangun daerah tersebut. Partai politik jangan mengusung tokoh yang memiliki banyak uang saja, tetapi lebih memilih tokoh yang disukai oleh masyarakat. Hal ini untuk bisa mempengaruhi masyarakat untuk lebih antusias lagi ke TPS.
Jadi bisa disimpulkan bahwa golput akan tetap merajalela apabila calon kepala daerah tetap seperti saat ini (KKN). Golput akan mampu ditekan ketika kepala daerah bisa memberikan bukti nyata kepada masyarakat dalam memperbaiki keadaan sosial masyarakat. Masyarakat akan menyatakan calon oke, maka golput no.


Thursday, 14 March 2013

Jenis-Jenis Pengawasan



1.    Pengawasan Ekstern dan Intern
1)    Pengawasan Ekstern (external control)
Pengasan ektern atau pengawasan dari luar, yakni pengawasan yang menjadi subyek pengawas adalah pihak luar dari organisasi obyek yang diawasi, misalnya, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah perangkat pengawasan ekstern terhadap Pemerintah, karena ia berada di luar susunan organisasi Pemerintah (dalam arti yang sempit). Ia tidak mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Pemerintah (Presiden) tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (Sujamto, 1986 : 81-82)
2)    Pengawasan Intern
Pengawasan intern merupakan pengawasan yang dilakukan dari dalam organisasi yang bersangkutan, misalnya; Inspektur Wilayah Kabupaten/Kota yang mengawasi pelaksanaan Pemerintahan di Kabupaten/Kota tersebut. (Sujamto, 1986 : 81-82)
Di dalam pasal  218  UU No 32 Tahun 2004  tentang  Pemerintahan Daerah diatur :
(1)  Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakakan oleh Pemerintah yang meliputi  :
a.    Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah;
b.    Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
(2)  Pengawasan sebagaiaman didmakksud pada ayat (1) buruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan
2.    Pengawasan Preventif, Represif dan Umum
1)    Pengawasan Preventif
Pengawsan Preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan, yakni pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat rencana. (Sujamto, 1986 : 85).  
2)    Pengawasan Represif
Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa pengawasan represif  sebagai salah satu bentuk pengawasan atas jalannya pemerintahan (Sujamto, 1986 : 87).   
Ø  misalnya  : penangguhan dan atau pembatalan PERDA, PERBW, KEPBW yang bertentangan dengan kepentingan umum.
3)    Pengawasan Umum
Ø  Pengawasan umum adalah jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap segala kegiatan pmemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum dilakukan oleh MENDAGRI terhadap pemerintahan daerah.
Ø  Pengawasan umum adalah pengawasan terhadap seluruh aspek pelaksanaan tugas pokok organisasi.
Ø  Fungsi pengawasan umum dapat pula dilakukan melalui WASKAT yang hakekatnya sama dengan WASNAL.
Ø  Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melakukan pengawasan umum terhadap pelaksanaan tugas pokok KEMDAGRI. Tetapi juga IRJEN merupakan aparat pengawasan fungsional (APF) (Sujamto, 1986 : 73-74).   

3.    Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung
1)    Pengawasan Langsung
Pengawasan Langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi dan melakukan pemeriksaan di tempat (on the spot) terhadap obyek yang diawasi. Jika pengawasan langsung ini dilakukan terhadap proyek pembangunan fisik maka yang dimaksud dengan pemeeriksaan ditempat atau pemeriksaan setermpat itu dapat berupa pemeriksaan administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan.
2)    Pengawasan tidak langsung
Pengawasan Tidak Langsung merupakan pengawasan yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau obyek yang diawasi atau pengawasan yang dilakukan dari jarak jauh yaitu dari belakang meja. Dokumen yang diperlukan dalam pengawasan tidak langsung antara lain :
a.    Laporan pelaksanaan pekerjaan baik laporan berkala maupun laporan insidentil;
b.    Laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari pengawan lain;
c.    Surat-surat pengaduan;
d.    Berita atau artikel di mass media;
e.    Dokumen lain yang terkait.
3)      Pengawasan Formal dan Informal
1)    Pengawasan Formal
Pengawasan Formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang (resmi) baik yang berifat intern dan ekstern; Misal : pengawasan yang dilakukan oleh BPK, BPKP dan ITJEN
2)    Pengawasan Informal
Pengawasan Informal yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat atau social control, misalnya surat pengaduan masyarakat melalui media massa atau melalui badan perwakilan rakyat.

Wednesday, 13 March 2013

PILKADA, HARUSKAH PNS NETRAL


Oleh : Dedet  Zelthauzallam
Pilkada merupakan pesta demokrasi terbesar di daerah. Pilkada memberikan kewenangan yang sangat besar kepada masyarakat di daerah untuk memilih kepala daerah. Tetapi lain cerita dengan PNS di daerah. PNS sebagai aparatur pemerintahan dituntut untuk tidak memihak kepada calon kepala daerah atau dengan kata lain harus bersikap netral. Kenetralan PNS ini untuk menjaga agar pemerintahan daerah tetap berlangsung kodusif untuk bisa memberikan pelayanan, tidak terpengaruh oleh pilkada.
Tetapi dalam kenyataannya, PNS di daerah dijadikan sebagai tumbal pilkada. PNS akan merasakan dampak yang sangat besar ketika ada pilkada. Dikatakan demikian karena setiap selesainya pilkada akan dilakukan mutasi besar-besaran di SKPD. Dari jabatan Sekda sampai jabatan Lurah akan diisi oleh PNS yang dekat dengan kepala daerah terpilih. Mutasi yang dilakukan kepala daerah terpilih akan membuat PNS daerah was-was mengenai jabatan kedepannya. Hal ini akan memberikan peluang kepada PNS untuk tidak bisa menjaga kenetralannya dalam pilkada. Mutasi merupakan pemicu utama ketidaknetralan PNS di daerah.   
Dalam pelaksanaan Pilkada, banyak model PNS, ada yang bersikap mendukung salah satu pasangan calon, ada yang bersikap netral ( sudah kesana kesini atau carmuk ke semua pasangan calon) dan ada juga tertutup dalam melihat proses pilkada. Tetapi saat ini, PNS kebanyakan memilih untuk mendukung salah satu pasangan calon. Ini disebabkan karena kebanyakan PNS menginginkan jabatan yang praktis. Jadi bisa dikatakan dalam pilkada, PNS sangat sulit untuk netral.
Dalam pilkada seharusnya pemerintah pusat harus membuat kebijakan agar kepala daerah terpilih tidak  bisa melakukan mutasi semau-maunya. Mutasilah akar masalah ketidaknetralan PNS. Bayangkan saja, kepala daerah terpilih dengan otoritas yang dimiliki mengacak tantanan SKPD, tanpa memandang kapabalitas individu. Prinsip the right man on the right place diabaikan sama sekali oleh kepala daerah terpilih. Bisa dilihat bagaimana seorang yang memiliki kemampuan di bidang kesehatan diberikan jabatan sebagai camat, orang yang kompeten di pemerintahan ditaruh sebagai kepala puskesmas, seorang guru sebagai kepala dinas kebersihan, dan lainnya. Ini sebagai bukti bahwa pilkada akan memberikan dampak yang sangat memperihatinkan melalui kebijakan mutasi.
Andaikan budaya mutasi setelah pilkada ini terus dilakukan, maka PNS tidak akan bisa netral. Aturan yang melarang PNS untuk mendukung satu pasangan calon  akan percuma, karena tidak akan dipatuhi. Untuk membuat PNS bisa netral, maka pemerintah harus membuat aturan agar kepala daerah tidak bisa melakukan mutasi semele-melenya (semau-maunya).  Ketidaknetralan PNS bukan disebabkan oleh kesalahan PNS, tetapi disebabkan oleh tidak ada aturan yang membatasi kepala daerah terpilih untuk melakukan mutasi.

PILKADA LANGSUNG PENUH POLEMIK, MASIH PERLUKAH?


Oleh : Dedet zelthauzallam
Pemilihan langsung di Indonesia dilakukan sejak tahun 2004. Tetapi untuk pemilihan langsung kepala daerah pertama dilakukan pada bulan Juni 2005. Dengan berlakunya UU 32 tahun 2004 maka pemilukada dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan lagi DPRD. Hal ini dilakukan untuk memberikan peluang kepada rakyat untuk bebas memilih kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Selain itu juga, pemilihan langsung ini dilakukan untuk menghindari praktek kongkalingkong DPRD dengan calon kepala daerah. Dengan pemilukada langsung ini diharapkan mampu menghasilkan kepala daerah baik Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup dan Walikota/Wawali yang memiliki kapabalitas dan integritas untuk membangun daerah.
Sudah sekitar 8 tahun pemilukada dilaksanakan secara langsung, tetapi banyak menimbulkan polemik. Pemilukada langsung tidak bisa menjawab masalah-masalah malah memperumit masalah. Masalah pemilukada sebenarnya berawal dari proses perekrutan bakal calon/balon oleh partai politik sampai proses terpilihnya kepala daerah. Money politic adalah masalah yang fundamental dari pemilukada. Ongkos dari pencalonan sampai memenangkan pemilu merupakan pemicu utama masalah lainnya.
Dewasa ini, bisa dilihat bagaimana banyaknya jumlah kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Korupsinya kepala daerah ini menimbulkan kesan tidak baik mengenai pemilihan langsung. Rakyat seolah-olah tidak bisa memilih kepala daerah yang memiliki kapabalitas dan integritas. Lalu banyak kalangan mempertanyakan bahwa masih perlukah dilakukan pemilihan langsung? Apakah pemilukada ini memberikan dampak positif kepada daerah dan masyarakat?
Masalah yang ditimbulkan oleh pemilukada ini juga terkait dengan mahalnya biaya dari penyelenggaraan pemilu. Biaya dari pemilukada langsung ini dibebankan langsung dalam APBD. Anggaranya bukan main, bayangkan saja bisa mencapai trilaunan rupiah. Ini berarti sangat memperberat daerah yang menyelenggarakan pemilihan langsung. Jadi bisa dikatakan daerah sangat rugi apabila kepala daerah yang dipilih tidak memiliki kapabalitas.
Banyaknya masalah yang ditimbulkan dalam proses pemilukada menimbulkan pertanyaan besar, apakah pemilukada ini masih perlu dilaksanakan? Apabila pertanyaan tersebut dilontarkan ke publik maka akan ada dua jawaban, ada yang pro dan kontra. Yang pro akan memiliki pandangan bahwa pemilukada langsung dibutuhkan untuk mengaplikasikan system demokrasi di Indonesia khususnya daerah-daerah otonom demi memperkuat partisipasi masyarakat bawah. Sedangkan yang kontra mengatakan pemilukada langsung tidak penting karena dengan melihat banyaknya masalah yang ditimbulkan di atas.
Apabila dikaji mengenai masalah yang ada, seharusnya pemerintah pusat mengambil solusi untuk memecahkannya. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesan positif bagi Pemilukada langsung di 33 Provinsi dan 496 Kabupaten/Kota. Pemerintah pusat melalui Kemendagri bekerjasama dengan KPU harus menyiapkan solusi-solusi mengenai pemilukada.
Salah satu wacana yang akan diambil oleh pemerintah pusat adalah melaksanakan pemilihan serentak, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ini dilakukan untuk menghemat anggaran yang dibutuhkan. Memang wacana ini perlu didukung dan dilaksanakan.
Selain itu, banyak juga memberikan saran agar dalam pemilihan kepala daerah memperhatikan kapabalitas dan akuntabilitas dari calon kepala daerah. Ini dipandang sangat perlu mengingat banyaknya kepala daerah tidak memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan, menentukan kebijakan, memenej potensi SDM dan SDA daerah dan sebagainya. Pengambilan keputusan yang salah oleh kepala daerah akan berakibat vatal bagi daerah bersangkutan. Syarat untuk menjadi seorang kepala daerah dianggap terlalu mudah, tidak ada sebuah syarat keahlian atau kapabalitas yang harus dimiliki untuk bisa menjadi kepala daerah. Ini memberikan peluang yang besar kepada kepala daerah diisi oleh orang yang memiliki banyak uang dan kerabat.
Masih banyak yang perlu dievaluasi mengenai pemilukada. Pemilukada harus tetap dilaksanakan untuk memperkuat peran dari masyarakat. Masyarakat harus bisa lebih dewasa dalam memilih kepala daerah. Kedewasaan masyarakat akan mampu untuk menghapus namanya money politic dalam pemilukada. Peran masyarakat sangat penting demi terselenggaranya pemilukada yang mampu menghasilkan pemimpin daerah yang memiliki kapabalitas dan integritas.

Tuesday, 12 March 2013

SIFAT DAN TEHNIK PENGAWASAN

1.    Sifat-Sifat Pengawasan
Pengawasan merupakan salah satu fungsi organik administrasi dan manajemen, karena apabila fungsi ini tidak dilaksanakan, cepat atau lambat akan menyebabkan matinya/hancurnya suatu organisasi. Karena itu agar pengawasan mendapatkan hasil yang diharapkan, pimpinan suatu organisasi harus mengetahui ciri-ciri suatu proses pengawasan. Ciri-ciri itu ialah:
1)    Pengawasan harus bersifat “fact finding” arti bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan dalam organisasi.
2)    Pengawasan harus bersifat preventif yang berarti bahwa proses pengawasan itu dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-pemyimpangan dan penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang telah ditentukan.
3)    Pengawasan diarahkan pada masa sekarang yang berarti bahwa pengawasan hanya dapat ditujukan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan.
4)    Pengawasan hanyalah sekedar alat untuk meningkatkan efisiensi. Pengawasan tidak boleh dipandang sebagai tujuan.
5)    Karena pengawasan hanya sekedar alat administrasi dan manajemen, maka pelaksanaan pengawasan itu harus mempermudah tercapainya tujuan.
6)    Pelaksanaan harus efisien. Jangan sampai terjadi pengawasan malahan menghambat usaha peningkatan efisiensi.
7)    Pengawasan tidak dimaksudkan untuk terutama menentukan siapa yang salah jika tidak ada ketidakberesan, akan tetapi untuk menemukan apa yang tidak betul.
8)    Pengawasan harus bersifat membimbing agar supaya para pelaksana meningkatkan kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.
2.    Tekhnik-Tekhnik Pengawasan
Pada dasarnya di dalam manajemen pengawasan dengan mempergunakan dua macam tekhnik yaitu:
1.    Pengawasan langsung (direct control)
2.    Pengawasan tidak langsung (indirect control)
-        Pengawasan langsung adalah apabila pimpinan organisasi mengadakan sendiri pengawasan terhadap kegiatan yang sedang dijalankan.
Pengawasan langsung dapat berbentuk:
a.    Inspeksi langsung
b.    On the spot observation
c.    On the spot report
Disini sekaligus berarti pengambilan keputusan on the spot pula jika diperlukan.
-        Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan dari jarak jauh.
Pengawasan ini dilakukan melalui laporan yang disampaikan oleh para bawahan. Laporan ini dapat berbentuk:
a.    Tertulis
b.    Lisan