Oleh : Dedet Zelthauzallam
Dinasti
merupakan kata yang sering digunakan untuk menggambarkan bagaimana kekuatan
para penguasa/raja di zaman kerajaan. Penguasa terdahulu menyebut masa
kekuasaan sebagai dinasti, misalnya dinasti ayyubiyah, dinasti ming, dinasti
han dan masih banyak lagi dinasti lainnya lagi. Dinasti ini merupakan kekuasaan
politik yang mengutamakan kekeluargaan, kekerabatan dan golongannya. Rakyat hanya
sebagai penonton kekusaan. Pemimpin memiliki otoritas yang sangat besar, powerfull dalam memimpin.
Di
zaman modern ini, dinasti itu sudah dikatakan basi. Apalagi di Indonesia yang
menganut sistem demokrasi seharusnya sudah jauh-jauh ditinggalkan, karena
prinsip demokrasi adalah dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat
memegang kendali melalui hak pilih yang dimilikinya. UUD 1945 telah menegaskan
bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Jadi dinasti itu lawannya dari
demokrasi.
Namun di era demokrasi sekarang ini, dinasti
juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun pemilihan
langsung. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut sebagai
politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme. Para
pejabat politik di negeri ini sedang memperaktekkan kebiasaan para raja
terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah
berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan
orang-orang dekat mereka untuk mengisi
jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya. Kalau seperti ini apa bedanya
demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang oleh elite tertentu.
Politik
dinasti di internal partai politik sangat terlihat menonjol. Para penguasa,
pendiri dan elite partai berlomba-lomba mengkaderkan anak, kerabat dan
sahabatnya sebagai penerusnya. PDIP merupakan partai yang bisa dikatakan
sebagai salah satu yang mengadopsi dinasti politik. Megawati sebagai ketua umum
partai mengkaderkan anaknya sebagai penerusnya, Puhan Maharani. Di kubu Partai
Demokrat juga tidak lepas dari dinasti ini. SBY sebagai pioner PD dan memiliki
otoritas yag sangat urgen mengkaderkan anaknya, Ibas sebagai penerusnya. Saat
ini, Ibas sebagai Sekjen DPP Demokrat.
Dinasti Politik di Era Otda
Dengan dikeluarkannya UU 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang sangat
luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota. Apalagi di tahun 2005
dilaksanakan pemilihan kepala daerah langsung, yang pertama kali dilaksanakan
di Sulawesi Utara, pemilihan Gubernur Sulut 2005.
Dengan
adanya otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra daerah
untuk membangun daerahnya. Otda, partisipasi masyarakat diharapkan lebih banyak
dalam membantu pembangunan. Namun dalam prakteknya ternyata otonomi daerah ini
bukan seperti itu. Malah otda ini memberikan keluasan kepada elite untuk
menguasai daerah.
Provinsi
Banten merupakan salah satu dinasti politik yang sangat menonjol. Dimana di
Banten dikuasai oleh kelurganya Ratu Atut/Gubernur Banten. Bayangkan saja,
setengah dari jumlah kabupaten/kota di Banten dikuasai oleh kelurga Ratu Atut.
Dari 8 kabupaten/kota, ada 4 daerah yang dikuasai oleh keluarga gubernur. Selain
di Banten, Sulawesi Utara sebagai provinsi pertama menyelenggarakan pemilukada
langsung tidak terlepas dari namanya dinasti politik ini. Anaknya
Surandajang/Gubernur Sulut terpilih menjadi wakil bupati Minahasa. Banten dan
Sulut merupakan sampel dari dinasti politik di zaman otonomi daerah tingkat
provinsi.
Di
tingkat Kabupaten/Kota juga sudah terkontaminasi dengan politik dinasti.
Misalnya, di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang dikuasai oleh keluarganya
Yance (Cagub Jabar 2013). Yance merupakan Bupati Indramayu selama 2 periode. Setelah
itu istrinya menjadi Bupati Indramayu setelahnya. Di Kota Mataram, NTB juga
bisa dilihat politik dinasti. Dimana anaknya Ruslan (Wali Kota 2 periode)
menjadi wakil walikota setelahnya.
Masih
banyak lagi politik dinasti yang dipraktekkan di daerah-daerah. Baik itu
sebagai pimpinan tertinggi (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wali Kota/Wawali)
ataupun hanya ditempatkan sebagai pimpinan SKPD. Bisa dikatakan politik dinasti
sudah menjamur di daerah-daerah otonom.
Politik dinasti ini sebagai cambuk bagi
berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan pusat bukannya
untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite masyarakat.
Banyak kalangan yang menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang tersandera
oleh demokrasi modern, yang disebut politik dinasti.
Politik
dinasti ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau
politik dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di
zaman dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari
kelangan, keturunan dan keluarganya saja.
Saat
ini, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri sedang merancang UU untuk
meminimalkan politik dinasti ini. Di
dalam RUU tersebut menyebutkan bahwa kepala daerah yang menjabat saat ini (2 x periode
jabatan) tidak boleh mencalonkan istri, anak dan keluarganya untuk satu kali
pemilihan. Ini dimaksud untuk membatasi adanya kerajaan-kerajaan kecil di
Indonesia.
Politik
dinasti harus dilawan oleh semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang
sangat penting dan strategis untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat tidak
boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang ada di daerah itu. Seorang kepala
daerah ataupun jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang
memiliki akuntaabilitas, kapabalitas dan integritas. Bukan oleh mereka yang
memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap ditegakkan.
No comments:
Post a Comment