Oleh: Dedet Zelthauzallam
Di
Indonesia, pemilihan kepala daerah secara langsung sudah berlangsung selama
sekitar 8 tahun. Pilkada langsung
khususnya pilgub langsung di Indonesia pertama kali dilakukan di Pilgub
Sulawesi Utara pada Juni 2005. Pilgub langsung ini sebagai langkah awal untuk bisa
menghasilkan pemimpin atau gubernur yang memiliki kapabalitas dan integritas yang
tinggi, sehingga diharapkan bisa mempercepat laju pertumbuhan dan pembangunan
di daerah.
Akhir-akhir
ini, banyak kalangan yang mempertanyakan hasil dari pilgub langsung ini. Ini
disebabkan oleh banyaknya gubernur yang melakukan korupsi, ditambah kinerja dan
hasil kerja dari gubernur jauh dari harapan. Banyak yang menilai bahwa hasil
pilgub langsung tidak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan. Dari
masalah itulah banyak kalangan mempertanyakan masih perlukah pilgub langsung
ini untuk diselenggarakan. Toh hasilnya selai
lime likur (baca;sama) dengan waktu dipilih oleh DPRD.
Perlu
diketahui bahwa saat ini Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri bersama
Komisi II DPR sedang melakukan revisi UU Pilkada. Dimana Kemendagri mengusulkan
pilgub gubernur itu dikembalikan ke sistem yang lama, yaitu DPRD yang memilih,
tidak akan dilakukan pemilihan langsung lagi. Tetapi untuk pemilihan bupati dan
walikota tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Mana yang Lebih Baik Pilgub Langsung atau
DPRD?
Dari
penyelenggaraan pilgub langsung ini memang memiliki dampak positif dan negatif,
begitupun pilgub yang dipilih oleh DPRD juga memiliki sisi positif dan negatif.
Kedua sistem ini memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Jadi, kita tidak
bisa mengatakan pilgub yang dipilih oleh DPRD lebih baik dari pilgub langsung.
Tergantung dari aspek apa kita menilai dan memandangnya.
Saya
akan mencoba membandingkan pilgub langsung dengan pilgub yang dipilih oleh DPRD
dari aspek-aspek berikut ini, diantaranya:
1. Dari
Aspek Biaya
Bisa
dikatakan biaya yang diperlukan di pilgub langsung lebih tinggi dibandingkan
dengan pilgub oleh DPRD. Untuk menyelenggarakan pilgub langsung Pemerintah
harus mengeluarkan dana bermiliaran sampai triliunan rupiah. Ini disebabkan
karena pilgub langsung itu membutukan banyak materil maupun nonmaterial, baik
itu tenaga manusia, kotak suara, surat suara dan lain sebagainya. Itu baru dari
segi penyelenggaranya, dalam hal ini KPU.
Berbeda
lagi dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh calon gubernur/calon wakil
gubernur. Bayangkan saja satu pasangan cagub/cawagub bisa mengeluarkan puluhan
miliar. Dana itu dipakai untuk biaya selama menjadi calon, baik untuk kampanye,
cetak spanduk, stiker dan lainnya. Apalagi jika calon melakukan praktek money politic melalui serangan fajar.
Ini akan jauh lebih besar biaya yang dibutuhkan. Sebagai contoh di Pilgub Jabar
2013, Pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar mengaku menghabiskan dana sekitar 30
miliar dalam dua minggu kampanye.
Sedangkan
untuk pilgub oleh DPRD, pemerintah akan mengeluarkan dana yang jauh lebih
sedikit, karena hanya melibatkan ratusan orang. Tetapi untuk dana yang
dibutuhkan oleh cagub/cawagub tidak berani saya katakana lebih sedikit.
Meskipun jumlah pemilih sedikit, tetapi dana yang diminta oleh perorang akan
berbeda jumlahnya. Permainan money politic di perlemen/DPRD tidak akan
tanggung-tanggung. Misalnya, dalam pilgub langsung bisa membeli satu suara hanya
Rp 100.000,- atau bisa juga Rp 50.000,-. Tetapi kalau pilgub oleh DPRD akan
jauh lebih mahal, bisa-bisa satu suara sampai puluhan juta.
2. Dari
Aspek Hasil Pemilihan atau Kerja Gubernur
Bisa
saya katakan bahwa setelah 8 tahun pemilihan langsung, antara gubernur/wagub
yang dipilih oleh DPRD dan oleh rakyat tidak jauh berbeda dalam hal hasil
kerja. Ini bisa dilihat dari bagaimana tingkat kemajuan, baik dari segi
ekonomi, pendidikan dan kesehatan di 33 provinsi masih berjalan biasa-biasa
saja.
Tetapi
kalau dilihat dari segi power atau legitimasi, maka gubernur yang dipilih oleh
rakyat akan lebih kuat kedudukannya. Ini disebabkan karena gubernur mendapat
mandat langsung dari rakyat untuk menjalankan tugasnya. Jadi, DPRD akan sulit
untuk menurunkan gubernur. Check and
balances antara legislatif dan ekskutif di tingkat provinsi akan bisa
dilaksanakan dengan baik.
Produk
kebijakan yang dihasilkan juga bisa dikatakan sama saja. Gubernur yang menjabat
akan selalu membuat kebijakan yang akan lebih menguntungkan pribadi, kelompok
dan partainnya. Hal ini wajar karena ongkos untuk menjadi gubernur mahal.
Tetapi untuk pilgub langsung mungkin kebijakan yang akan diambil lebih sedikit
merakyat, apalagi gubernur yang mau maju untuk periode selanjutnya (periode
ke-2). Pasti gubernur tersebut akan membuat kebijakan supaya masyarakat
memilihnya lagi, dengan berbagai modus pencitraan yang fana.
3. Dari
Aspek Dampak ke Lingkungan Sosial
Dari
aspek ini, bisa dikatakan dampak ke lingkungan sosial dalam pemilihan langsung
jauh lebih besar dari pada oleh DPRD. Ini disebabkan karena masyarakat secara
langsung ikut berpartisipasi dalam memilih. Tetapi dampak ke masyarakat ini
bisa ke arah yang positif dan negatif.
Positifnya
adalah masyarakat makin dewasa dalam berdemokrasi. Sedangkan negatifnya adalah
banyak konflik yang terjadi akibat dari pilgub, baik itu konflik horizontal
maupun vertikal.
Dari
ketiga aspek diatas, bisa saya simpulkan bahwa pilgub langsung dan oleh DPRD
memiliki kelebihan dan kekurangan. Tetapi saya lebih memilih pilgub langsung,
karena saya melihat kekurangan atau dampak negatif yang diakibatkan oleh pilgub
langsung itu bisa diperbaiki dengan cara memperbaiki sistem pemilihan langsung,
khususnya pilgub. Misalnya: masalah biaya mahal, maka pilgub bisa dilakukan
serentak di semua provinsi, maka biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah akan
lebih sedikit.
Menurut pendangan saya, apabila pilgub
dilakukan oleh DPRD, sedangkan Pemilihan Bupati/Walikota tetap secara langsung,
maka akan bisa menimbulkan perlawanan atau ketidakloyalan bupati/walikota
terhadap gubernur. Keegoan dari bupati/walikota akan muncul, karena merasa
dirinya lebih memiliki kuasa/legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat.
Saya
juga melihat, apabila pilgub dilakukan oleh DPRD, maka cheks and blance tidak akan bisa dilakukan. Karena DPRD akan
menjadi penguasa di tingkat provinsi. Seolah-olah DPRD sebagai pemegang kendali
dari gubernur/ekskutif. Jadi kekuatan/power DPRD sangat kuat di daerah provinsi,
gubernur akan mudah untuk digoyang. Hal inilah yang menyebabkan saya lebih
memilih untuk pilgub tetap dilakukan secara langsung.
menarik.. terutama bila adek dapat melengkapi analisanya dari Aspek Biaya.. lengkapi pula dengan link source luar bilamana ada... sukses buat anda
ReplyDeleteok termaksh mas..
Delete