Pages

Thursday, 27 February 2014

MENUNGGU PERUBAHAN DARI PEMILIH MUDA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu 2014 akan segera dilaksanakan. Namun, masih banyak problem yang melanda, mulai dari penetapan DPT, dana saksi parpol, kertas suara dan lain sebagainya. Itu baru masalah tehnis, belum lagi masalah partisipasi masyarakat dalam memilih. Secara statistik, partisipasi warga dalam memilih turun jika dilihat dari Pemilu 1999 (golput 10,21 persen), 2004 (golput 23,34 persen) dan 2009 (golput 39,10 persen)[1]. Atinya Pemilu 2014 tingkat partisipasi masyarakat akan lebih turun drastastis apabila penyelenggara pemilu dan partai politik tidak membuat startegi dalam menarik pemilih untuk datang mencoblos.
Melihat Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dirilis oleh KPU, maka angka pemilih pemula sangat tinggi. Ini artinya akan bisa memberikan suatu paradigma baru dalam memilih, sehingga bisa meningkatkan partisipasi pemilih dan menghasilkan hasil yang memang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengungkapkan bahwa jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 nanti yang berusia 17-20 tahun mencapai 14 juta jiwa. Sedangkan yang berusia 20-30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa[2].  Jadi, jumlah pemilih pemula atau yang selanjutnya saya sebut sebagai pemilih muda mencapai sekitar 60 juta pemilih.
Pemilih muda inilah harapan baru dalam Pemilu 2014 untuk bisa membawa perubahan. Ini sudah terbukti di Amerika Serikat bahwa pemilih muda bisa menentukan arah perubahan dan itu dilakukan oleh Barack Obama ketika memenangi pemilu. Waktu itu, sosok Obama dan revolusi dunia media sosial telah menggerakkan partispasi pemilih muda pada rentang 18-24 tahun[3]. Menurut Direktur Riset Charta Politica, Yunarto Wijaya, menyatakan itu sangat efektif dilakukan dan bisa dilakukan di Indonesia.
Caranya adalah dengan melakukan pendekatan komunikasi dua arah, sesuai dengan gaya bahasa yang dipakai anak muda (anak gaul). Dan yang paling ampuh adalah masuk dalam media sosial, karena anak muda dewasa ini tidak bisa lepas dari jejaring sosial. Direktur Public Virtue Institute, Usman Hamid, meyakini bahwa media sosial adalah kekuatan baru untuk gerakan perubahan sosial. Media baru ini sudah menggantikan ruang publik yang selama ini dikungkung kekuasaan. Anak-anak muda yang menjadi netizen potensial bisa mengubah keadaan lebih baik[4].
Harapan besar terhadap kaum muda memang wajar dan tidak berlebih-lebihan, karena sejarah bangsa Indonesia telah membuktikannya bahwa anak muda memiliki andil besar dalam setiap perubahan. Mulai dari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai jatuhnya orde baru 21 Mei 19998 itu semua berwawal dari kekeritisan pemikiran dari anak muda. Mengapa tidak untuk 2014, anak muda yang memiliki hak pilih sekitar 60 juta jiwa melakukan hal yang sama, yaitu perubahan. Perubahan dalam artian bisa menggunakan hak pilihnya untuk memilih para caleg, partai dan capres/cawapres yang benar-benar memiliki integritas demi meraih cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam alenia keempat pembukaan UUD 1945.
Sang founding father, Soekarno, pernah menyatakan bahwa berilah aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia. Pemuda yang dimaksud adalah pemuda yang memiliki karakter, intergritas, profesionalisme, visioner dan optimisme yang tinggi. Bukan pemuda yang hanya bisa mencibir dari kekurangan pemerintah dan apatis terhadap program pemerintah. Memang saat ini kebanyakan pemuda di negeri ini adalah pemuda yang memiliki umur yang muda, tetapi pemikirannya tua.
Dilihat dari segi pendidikan, maka anak muda sekarang ini tingkat pendidikannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak muda zaman dulu. Namun masih saja sikap apatis tertanam pada diri anak muda, khususnya tingkat partisipasi pada pemilu. Menurut saya, itu semua disebabkan oleh adanya sikap frustasi anak muda melihat banyaknya pemimpin (baca: kaum tua) di negeri ini yang tidak bisa amanah. Jadi, selain metode pendekatkan yang disebutkan di atas, perlu adanya pendidikan politik terhadap anak muda dengan memperlihatkan sikap yang amanah dan benar-benar mendidik, sehingga bisa ditiru. Apabila itu bisa dilakukan, maka saya yakin pemilih muda tidak akan menyia-nyiakan suara yang telah diberikan pada mereka.
Pemilu 2014 akan menjadi ajang yang dinanti-nantikan untuk membuktikan apakah pemuda generasi sekarang lebih baik dari yang sebelumnya. Tentunya itu tergantung dari bagaimana sikap pemilih muda ini. Kalau hasil dari Pemilu 2014 adalah baik, maka bisa dikatakan pemuda berhasil melakukan perubahan dan memiliki karakter pemuda. Saya yakin dan percaya, generasi pemilih muda (sekita 60 juta) tahu siapa yang pantas dan tidak pantas dipilih. Pemilih muda tidak memandang kuatnya ekonomi calon (uang), namun lebih memandang integritas yang dimiliki oleh calon.
“Salam perubahan untuk anak muda, menuju Indonesia lebih baik”



[1] Tinjauan Kompas, ”Menatap Indonesia 2014”, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013), 139
[2] “Pemilih Pemula Capai 14 Juta Jiwa (25/07/2013)”, nasional.kompas.com., diakses tanggal 27 Februari 2013.  
[3] Ibid, 140
[4] Ibid, 140

Wednesday, 26 February 2014

FILTERISASI INFORMASI MEDIA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Menjelang pemilu 2014, media menjadi pilihan utama partai politik dalam bersosialisasi dan berkampanye ke publik. Media lebih menjanjikan, karena rata-rata masyarakat sekarang ini menjadikan media sebagai sumber utama untuk meraih informasi, baik di media cetak, elektronik dan online. Namun dalam memberitakan media pun sering tidak independen, valid dan akurat, dengan kata lain sesuka hati, “like or dislike”. Bayak informasi yang disajikan hanya bersifat pencitraan dan malah ada yang mengadu domba.
Menurut peraturan perundang-undangan, media dituntut sebagai lembaga yang independen. Namun hal itu sepertinya akan sulit, karena media saat ini berperan ganda. Maksudnya adalah media sebagai lembaga penyedia informasi untuk publik (service), tetapi dilain sisi bergerak seperti perusahaan yang mencari laba yang sebesar-besarnya (profit). Ahli Media, Burrel Headley, mengatakan bahwa berita adalah komoditas yang dijual dan media massa merupakan usaha untuk menjual informasi. Ini berarti, media akan menyajikan informasi sesuai siapa yang membayar kepadanya.
Pemberitaan media menjelang pemilu memang rentan terjadi kebiasan. Publik dituntut untuk bisa memfilter segala informasi yang didapatkan dari media. Perlu dibandingkan antara media yang satu dengan lainnya. Publik tidak bisa berpatokan dengan satu media saja. Apalagi para elite politik saat ini rata-rata adalah pemilik atau pemegang saham di media besar negeri ini. Akan gampang mereka menyetir media untuk kepentingan politiknya. Prinsip Machiavelli tentang menghalalkan segala cara demi bisa meraih kekuasaan akan dilakukannya. Aturan media pun akan dilanggar demi kekuasaan.
Di era demokrasi, media sangat memiliki peran yang kuat. Gagasan the fourth estate yang dikemukakan oleh Endmund Burke bisa dikatakan benar. Endmund Burke menempatkan media atau pers sebagai kekuatan disamping tiga pilar kehidupan berdemokrasi, yaitu ekskutif, legislatif dan yudikatif. Sebagai kekuatan keempat, media memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan opini publik, khususnya mempengaruhi pemilih dalam pemilu. Publik akan dengan mudah percaya dan beralih pilihan dari satu calon ke calon yang lain.
Media bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab semakin tingginya golput pada pemilu, karena informasi yang disajikan oleh media lebih banyak hal-hal yang negatif. Itulah yang menyebabkan publik alergi untuk memilih. Terbangunlah ketidakpercayaan publik kepada calon-calon yang diusung partai politik. Semua dianggap sama, padahal itu hanya seper sekian dari jumlah keseluruhannya. Orang yang memiliki integritas, kapabilitas dan profesinal dipandang sama-sama hitam.
Seharusnya media sebagai penyedia informasi utama harus bisa menjadi pioner dalam memperbaiki bangsa dan negara tercinta ini. Dengan melakukan peran dan fungsi sesuai dengan peraturan yang ada. Jangan sampai membuat bangsa ini menjadi lebih terpuruk dengan semakin dikuasai oleh orang-orang yang berduit, tanpa adanya integritas dan keinginan sebagai penyambung lidah para konstituennya. Mereka yang berduit hanya maumenyuarakan kepentingan perusahaan dan kelompoknya saja, tanpa mau melihat keadaan masyarakat bawah.
Dalam menghadapi informasi media yang bersifat sama seperti sinetron, yang dibuat-buat, publik harus lebih berhati-hati dan tidak mudah terpengaruh. Para jurnalis dan sejenisnya juga adalah manusia yang membutuhkan makan. Jadi informasi yang didapatkan dan ditulisnya bisa saja salah dan dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan. Publik harus bisa memfilter yang selanjutnya diolah, supaya tidak terprovokasi. Menjelang pemilu 2014, banyak berita yang tidak valid dan ngawur, sehingga penulis berita sering dikomplain sama pihak yang memberikan pernyataan.

Wednesday, 19 February 2014

PERAN GANDA KEPEMIMPINAN PRESIDEN ANTARA PARPOL DAN NEGARA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Arus globalisasi dewasa ini sepertinya tidak bisa dibendung. Globalisasi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan suatu negara. Tantangan, peluang dan ketergantungan antar negara semakin meningkat. Era globalisasi ini semakin terasa dengan didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi informasi yang berkembang pesat, yang membuat dunia ini seolah-olah tanpa batas (borderless world). Dalam sekejap setiap peristiwa penting yang terjadi pada satu belahan dunia dapat diketahui oleh warga masyarakat di belahan dunia lainnya. Dalam situasi seperti ini, dituntut kemampuan presiden sebagai pimpinan suatu negara untuk bisa melihat dan menghadapi perubahan, dengan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam mengantisipasi situasi dinamika yang terjadi, baik dalam konteks negara maupun dalam pola hubungan dengan bangsa lain. Namun, dalam mengakomodir pola hubungan luar negeri, juga dibutuhkan   kemampuan filterisasi dalam menjaga karakter bangsa dan negaranya.
Presiden adalah nahkoda utama dari suatu negara. Dengan peran sebagai nakhoda tersebut, maka negara akan sangat bergantung pada bagaimana kemampuan presiden dalam mengelola dan menata pemerintahan. Kemampuan presiden yang dimaksud, dapat berupa  kapabilitas, integritas dan akuntabilitas, sehingga bisa menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya secara efektif dan efesien.
Jika mengacu pada teori kepemimpinan, ciri pemimpin yang efektif dan efesien adalah mereka yang mampu mengejewantahkan apa yang disebut akuntabilitas politik, bukan tribalisme politik. Menurut Fukuyama (2011), pemimpin atau pejabat publik yang mampu menjalankan kepemimpinan secara akuntabel ialah mereka yang dapat mempertanggungjawabkan kepada rakyat setiap kebijakan yang telah ditelurkannya. Mereka juga mampu mengutamakan kepentingan rakyat (publik) di atas kepentingan pribadi kelompoknya. Sedangkan pemimpin yang tribalistik, yaitu seorang pemimpin yang lebih mementingkan citra dan lebih mengutamakan diri pribadi dan kelompoknya dari pada rakyatnya[1].    
Sepertinya tipe tribalistik menjadi lebih dominan dilakukan oleh para pemimpin negeri ini, termasuk presiden. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang diamanahkan rakyat kepadanya. Namun presiden sering dan malah selalu mempoligami amanah tersebut. Pasca terpilih menjadi presiden mereka lupa untuk melepas baju partainya, dalam artian melaksanakan peran ganda, yaitu menjadi kepala negara dan ketua partai.
Budaya seperti itu sudah dilakukan sejak orde baru sampai reformasi. Meskipun di era orde baru, Golkar tidak diidentikkan sebagai partai, tetapi bisa dikatakan memiliki fungsi yang melebihi partai yang dijadikan Soeharto dan koleganya untuk mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun. Sedangkan di era reformasi, Gusdur (PKB), Megawati (PDIP) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat) pada saat menjabat presiden, mereka masih berstatus sebagai ketua umum partai. Tentunya ini akan rentan terjadi “conflict of interest” dan “abuse of power” yang digunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan / atau partainya.
Dilihat dari aspek yuridis, maka peran ganda yang dilakukan ini bisa dikatakan legal, tidak melanggar konstitusi. Dalam UUD 1945 dan UU Nomar 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak ada pasal satu pun yang melarang dan menyinggung masalah peran ganda ini. Namun dari segi etik, maka masalah ini perlu dikaji ulang. Dimana presiden yang juga bisa dikatakan sebagai manusia biasa memiliki sisi kerakusan. Dalam istilah Plautus (195 SM) yang dipopulerkan Hobbes, manusia yang satu sebagai serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus), adalah sebagai penegasan bahwa manusia itu menganggap penaklukan terhadap manusia lainnya adalah kodrat.
Menurut Direktur Ekskutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda AR, menyatakan bahwa adanya peran ganda yang dimiliki akan menyebabkan fokus akan terpecah atau disebutnya dengan istilah sebagai dualisme loyalitas, yakni di satu sisi pada tugas pemerintahan dan disisi lain pada tugas partai politik. Terdapat pandangan yang memandang miris dualisme peran tersebut, dengan memandang aspek manfaatnya dalam melaksanakan tugas pemerintahan akan tergerogoti dengan fungsi lainnya yakni selaku penyelenggara partai politik. Namun, di sisi lain dapat diinterpretasikan bahwa dualisme ini tidak menjadi sesuatu yang saling mengorbankan, bilamana tugas utama selaku penyelenggara pemerintahan tetap menjadi prioritas dalam melaksanakan fungsinya sebagai presiden.
Situasi dualisme ini semakin menarik untuk dikaji bila mengamati proses pemilihan presiden yang dipilih secara langsung dengan peran partai politik itu sendiri. Pemilu langsung memang semakin membuat presiden dan wakil presiden tidak bisa dipisahkan dari namanya partai politik. Karena partai politik menjadi kendaraan untuk merebut kursi kekuasaan. Mustahil bagi seorang tokoh bisa maju sebagai capres dan cawapres tanpa dukungan dari partai politik, karena dalam pemilihan capres dan cawapres tidak ada istilah jalur independent, tidak seperti pemilihan kepala daerah. Salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah harus didukung minimal 20% suara di parlemen atau 25% suara sah nasional. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, presiden harus melalui partai politik.
Dalam tataran etika pemerintahan, terdapat konsepsi yang mengarahkan untuk melakukan fokus terhadap satu kegiatan pemerintahan, dengan mengarahkan bentuk ketegasan dan komitmen dari partai politik untuk mau legowo melepas kader terbaiknya. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk fokus terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sehingga bisa mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Adagium yang perlu selalu dipegang, “loyalitasku pada partai berhenti pada saat pelayananku pada negara dimulai”. Inilah yang harus menjadi slogan bagi partai dan kader yang terpilih. Jangan sampai partai politik memberikan peran ganda dan kader yang terpilih tidak mau melepas tahta di partainya. 
 Apabila mengacu pada rumusan Lemhanas tentang Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia (IKNI), maka kriteria pemimpin adalah pertama, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Individual, kedua, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Sosial, ketiga, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Institusional, dan keempat, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Global[2]. Kriteria moralitas dan akuntabilitas menjadi pokok penting yang perlu diperhatikan dan dimiliki oleh pemimpin masa sekarang dan masa depan. Moralitas merupakan zat pikir yang ada dalam setiap diri manusia untuk mematuhi aturan yang diciptakan oleh Tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing yang ada dalam setiap orang[3]. Ini berarti moralitas dan akuntabilitas harus berjalan bersinergi supaya bisa mewujudkan kepemimpinan yang  benar-benar amanah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Presiden dalam menjalankan tugas dan fungsi hendaknya harus tetap berkonsentrasi pada penyelenggaraan pemerintahan dan negara saja demi mempercepat tercapainya tujuan negara yang ada dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.  Founding father menghendaki konsep negara Indonesia ialah negara keadilan dan negara kekeluargaan yang bisa dilihat dari basic law, Pancasila. Tentunya ini harus tetap diwujudkan oleh the next generation, supaya eksistensi Negara Indonesia untuk bisa mengatasi paham perseorangan dan golongan yang sangat bhinneka tetap bisa terwujud tanpa saling meniadakan. Disinilah dibutuhkan peran presiden yang benar-benar fokus untuk merangkul pluralisme di Indonesia, tanpa mementingkan individu, kelompok dan / atau partainya.




                         



[1] Ali Rif’an, “Menyoal Caleg Menteri Parpol” dimuat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=337573
[2] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 87.
[3] Ermaya Sradinata, “Analisis Kepemimpinan, Strategi Pengambilan Keputusan”, (Bandung: ALQAPRINT: Oktober 2013),  14.

Saturday, 15 February 2014

KEPEMIMPINAN DI ERA GLOBALISASI

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless world). Informasi antar negara dengan cepat bisa diakses dan diketahui oleh negara lainnya. Kecepatan penyebaran informasi bisa dikatakan melebihi kecepatan cahaya. Internet dan media televisi menjadi pemain utama, karena kecepatannya melebihi media cetak. Mbah “Google” sebagai gudang informasi yang hampir bisa menyediakan semua kebutuhan pencari informasi dari seluruh penjuru dunia menjadi pemain inti. Luar biasa memang kemajuan informasi melalui tehnologi terkini.
Di era saat ini atau yang lebih kita kenal dengan era globalisasi banyak hal yang perlu diperhatikan., khususnya bagi negara berkembang. Langkah yang diambil harus tepat dan tidak gegabah demi menjaga stabilitas negara. Disinilah peran pemimpin dibutuhkan. Pemimpin harus bisa memfilter dengan cepat perubahan yang terjadi. Perubahan akan membawa dua hal, yaitu kebaikan dan keburukan. Tergantung dari mana pemimpin melihat perubahan itu sendiri. Kemampuan memenej perubahan sangat dibutuhkan.
Era globalisasi ini akan terasa sangat berat ketika Indonesia belum siap, terlebih saat ini sedang dilanda berbagai krisis multidemensi. Menurut Azizy (2007: 4) krisis multidemensi itu tampak menyerupai lingkaran setan (vicious crises). Jika diuraikan lingkaran setan ini mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan bangsa dan bahkan mencapai tingkat paling mengerikan, yakni terjadinya krisis kemanusiaan yang meliputi: 1) krisis moral dan etika, 2) krisis hukum, 3) krisis moneter, 4) krisis ekonomi, 5) krisis kepercayaan antar elite, 6) krisis politk, 7) krisis kepercayaan dikalangan masyarakat, dan 8) krisis kemanusian atau krisis moral bangsa[1].
Peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk bisa menghadapi dan memenangkan perubahan. Pemimpin disini harus bisa menghadapi tetapi harus tetap bisa mempertahankan nilai-nilai dasar yang ada di Indonesia. Ciri khas dari negara kita harus tetap dijaga, supaya menjadi sumber kekayaan. Pancasila dan UUD 1945 menjadi pedoman pemimpin dalam menjalankan dan menghadapi perubahan.
Berat memang tugas pemimpin di era globalisasi ini. Kualitas dari kepemimpinan nasional masih jauh dari harapan. Banyak kritik dari berbagai pihak, baik dari kalangan elite maupun awam. Sistem produksi pemimpin nasional juga masih banyak terdapat pokok-pokok persoalan yang ditemukan. Pokok persoalan itu berupa, pertama, rendahnya integritas moral dan etika kepemimpinan pada pemimpin nasional, dua, rendahnya komitmen pemimpin nasional untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, tiga, kurangnya legitimasi pemimpin nasional, dan empat, lemahnya manajemen penyelengaraan pemilu[2].
Persoalan tersebutlah menjadikan masyarakat pesimistis dalam menghadapi pemilu 2014. KPU sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu dinilai masih belum mampu memperlihatkan hasil yang memuaskan. Masih banyak kelemahan, mulai dari DPT sampai sistem yang akan dilakukan. Itulah yang menyebabkan pemimpin yang dihasilkan dari kualitas masih sangat “less”, sehingga pemimpin belum bisa menghadapi era globalisasi dengan baik.
Seharusnya pemimpin yang akan dihasilkan dari pemilu adalah pemimpin yang berkualitas. Berkualitas dalam artian bisa menghadapi perubahan dan bisa mempertahankan ciri khas dari negara Indonesia, khususnya adat istiadat dan budaya yang sudah terbentuk dari zaman dulu.
Pemimpin global yang dibutuhkan memiliki pemikiran yang visioner tanpa meninggalkan karakter bangsa Indonesia yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pancasila paling tidak ada lima hal yang perlu diperhatikan, mulai dari ketuhan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial. Lima hal mendasar tersebut tidak boleh hilang dan ditinggalkan dalam melakukan perubahan. Perubahan yang dilakukan harus tetap berpijak pada lima hal tersebut, sehingga perubahan ini bisa mengarah kepada perubahan yang dibutuhkan. Bukan perubahan yang tidak memiliki arah dan malah memperlemah karakter bangsa ini. Globalisasi akan bisa kita lalui dengan sukses dan berhasil dengan cara tersebut.
   



[1] Dr. Asmawi Rewansyah, MSc, “Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance”,  (Jakarta: CV. Yusaintanas Prima, Februari 2010), 5-7
[2] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 57-60.

Wednesday, 12 February 2014

PEMIMPIN PRODUK KEPENTINGAN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemimpin[1] merupakan sosok sentral dalam suatu komunitas. Pemimpin memiliki kelebihan daripada yang dipimpinnya, baik itu dari aspek knowledge, skill dan attitude. Mampu melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat memimpin orang lain dan dapat dipimpin oleh orang lain, dalam kehidupan bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan[2]. Prof. Ermaya Suradinata mengatakan bahwa kepemimpinan membutuhkan budaya dalam rangka menciptakan daya rasa, daya karsa, daya cipta dan daya inovasi yang unggul.
Dalam ajaran islam dikatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ini berarti pada hakekatnya setiap manusia itu adalah pemimpin. Paling tidak pemimpin bagi dirinya sendiri. Itulah mengapa Aristoteles melihat bahwa negara didirikan dari rumah tangga, sebelum berbicara tentang negara kita musti berbicara tentang manajemen keluarga[3]. Jadi bisa dikatakan bahwa baik buruknya kehidupan bernegara sangat bergantung bagaimana hubungan yang dibangun dalam sebuah keluarga. Di keluargalah ada hubungan yang erat antar individu. Individu dalam kelurga itulah yang menjadi pemimpin bagi sekumpulan keluarga yang kita sebut sebagai warga negara.
Di era demokrasi langsung saat ini, yang berasaskan one man, one vote, one value memberikan peluang yang sama kepada warga negara untuk menjadi pemimpin. Pemimpin itu tidak memandang status. Petani, nelayan, pedagang, pengusaha asongan dan lainnya bisa bersaing dengan para akademisi, konglomerat dan lainnya. Secara kasat mata memang kelihatan sangat fair, namun pada prakteknya ternyata tidak. Ada hal yang sangat penting dibalik demokrasi langsung ini, yaitu money.  David Samuel mempertanyakan “how important is money to the electoral process?”.
Uang berperan sangat urgen dan menentukan dalam pemilihan langsung. Konstituen akan terhipnotis dengan kampanye (iklan, baliho dan stiker) para calon. Calon pun akan kesana kemari untuk menampakkan mukanya kepada rakyat. Tim sukses pun membutuhkan namanya uang, sehingga bisa dipastikan uang menjadi kunci kemenangan dari pada calon. Uang sangat dibutuhkan oleh para calon. Itulah mengapa saya mengatakan demokrasi langsung itu tidak fair, karena hanya akan bisa menghasilkan pemimpin yang ber-uang.
Kekuatan finansial akan dibutuhkan oleh calon dan partai dalam mempertahankan dan mencari kekuasaan. Sumber keuangan pun akan selalu dicari, dimana pun keberadaannya. Partai pengusung para calon tidak akan mampu membiayai sendiri segala kebutuhan selama masa pemilihan yang bisa mencapai miliaran atau triliunan rupiah. Berdasarkan kajian Pramono Anung Wibowo, menyebutkan rata-rata anggota DPR mengeluarkan dana Rp 1,5-2 miliar selama kampanye sampai dengan terpilih.
Berdasarkan data dari KPU, dana kampanye yang terkumpul pada periode pertama (27 – 30 Desember 2013) sebesar Rp 974,53 miliar[4]. Jumlah dana kampanye ini akan bisa bertambah, karena akan ada periode kedua pelaporan dana kampanye (2 Maret 2014). Sesuai dengan aturan, partai politik hanya boleh menerima dana kampanye dari partai, caleg, perorangan, kelompok dan badan usaha.
Jadi pertanyaan selanjutnya adalah darimana partai atau calon mendapatkan uang? Pastinya akan mencari para pemilik uang (modal). Pemilik modal itu adalah mereka yang menguasai korporasi di negeri ini, seperti Newmont, Freepot, Sampoerna dan sejenisnya. Pemilik modal tersebut tidak akan memberikan dengan cuma-cuma. Akan ada deal yang harus terpenuhi jika partai atau calon tersebut menang dalam pemilu. Bukankah kalau seperti itu pemimpin di negeri ini adalah perpanjangan tangan dari para pemilik modal dengan kata lain pemimpin produk kepentingan.
Muchtar Lubis menyatakan bahwa Demokrat atau Republik sama saja, mereka sama-sama maling. Itulah gambaran bagaimana dua partai di Amerika Serikat ditunggangi oleh kelompok kepentingan seperti yang disebutkan di atas. Konglomerat dan kaum kapital yang memegang kendali di negeri Paman Sam tersebut sangat berperan penting dalam mempengaruhi kebijakan. Presiden seperti hanya mendapatkan kedudukan saja, tanpa ada kebebasan dalam membuat kebijakan. Semua terperangkap dengan kelompok kepentingan.
Dengan high cost politic akan membuat para pemimpin yang terpilih tidak mampu berbuat banyak. Semuanya akan disetir oleh pemberi modal. Sepertinya sistem pemilihan langsung ini akan hanya sebagai suatu ajang kaum capital, yang menang akan menguasai dan yang kalah akan stagnan.
Dengan adanya pengaruh besar dari para pemilik modal itu membuat pemimpin yang dihasilkan tidak akan bisa menghasilkan pemimpin berjiwa Ksatria Piningit dan berjiwa ASTA BRATA.  Apalagi akan memenuhi kriteria kepemimpinan yang telah ditetapkan oleh Lamhanas RI atau yang disebut Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia (IKNI) yang mengandung empat katagori Cita Susila dan Akuntabilitas, yaitu 1) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Individual, 2)  Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Sosial, 3) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Institusional, dan 4) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Global[5].
Pemilihan langsung saat ini akan menjadi acara seremonial belaka, ketika masalah money terus menerus mewabah. Cost politic  harus bisa ditekan seminimal mungkin supaya parpol dan calon tidak terlalu bergantung dan berorintasi mencari pihak penyumbang. Menurut Colleto, Jansen and Young (2011), model pendanaan kampanye yang cenderung ideal mestinya mengikuti peraturan yang ada dan juga norma-norma demokrasi yang umum. Untuk itu, aliran dana kampanye mestinya merupakan aliran dan kontribusi dari para anggota dan masyarakat umum yang diberikan sebagai kontribusi untuk partai di tingkat pusat/DPP, kontribusi untuk EDE (pengurus daerah/DPD) maupun kontribusi untuk para kandidat. Mereka menawarkan empat model, yaitu 1) basic model, 2) branch model, 3) stratarchical, 4) centralized funding.  
Peran uang memang sangat sulit dipisahkan dengan pemilihan langsung ini. Kita mengakui uang adalah sumber awal dari masalah yang ada. Kepala daerah yang sudah tersandung korupsi sudah sekitar 311 kepala daerah. Theodore White menyatakan the flood of money that gushes into politics today is a pollution of democracy. Banjir uang yang menyebur ke dalam politik hari ini adalah polusi demokrasi. Itulah gambaran bagaimana uang adalah masalah, tetapi disamping itu uang sangat dibutuhkan.
  



[1] Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu.
[2] Ermaya Sradinata, “Analisis Kepemimpinan, Strategi Pengambilan Keputusan”, (Bandung: ALQAPRINT: Oktober 2013),  1.
[3] Henry J. Schmandt, “Filsafat Politik”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Cetakan III 2009), 96.
[4] Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/470078-jumlah-dana-kampanye-12-parpol-hampir-rp1-triliun--siapa-sumbernya-
[5] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 87.

Sunday, 9 February 2014

TANTANGAN PERS DI TAHUN POLITIK

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca reformasi tahun 1998, pers menjadi suatu kekuatan baru. Pers seperti harimau yang baru terbangun dari tidurnya. Dianalogikan demikian karena pada era Soeharto, pers tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bebas melaksanakan tugas dan fungsinya. Tidak akan ada keberanian untuk menyuarakan realita. Hanya bisa memberikan informasi yang diinginkan oleh tuannya. Ketika tuannya tidak suka, maka hati-hati akibatnya akan bisa fatal. Pers akan menjadi sasaran para petrus yang bisa bergerak dengan cepat tanpa meninggalkan jejak.
Soeharto memang memberikan ruang yang sangat kecil bagi pers. Itu tidak lain supaya bisa mengamankan kursi empuknya sebagai RI-1. Pers akan menjadi sangat menakutkan bagi para penguasa. Pers akan menjadi liar dan sulit dikendalikan ketika diberikan kebebasan. Inilah yang kita rasakan sekarang ini. Pers menjadi suatu kekuatan yang sangat kuat. Endmund Burke meletakkan pers sebagai kekuatan keempat setelah ekskutif, legislatif dan yudikatif. Ini tidak lain dan tidak bukan karena pers memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan pemerintahan.
Pers dalam menjalankan tugas dan fungsi memiliki prinsip. Prinsip utama yang harus dipegang menurut Komisi Kebebasan Pers atau dikenal sebagai Komisi Hutchins di era demokrasi modern di Amerika Serikat adalah pertama, pers harus menyajikan berita yang benar, komprehensif dan cerdas, serta akurat dan tidak berbohong, kedua, pers harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik, ketiga, pers harus menyajikan gambaran yang khas dari setiap kelompok masyarakat dan memahami kondisi semua kelompok masyarakat tanpa terjebak dalam stereotype, keempat, pers harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai kemasyarakatan, dan kelima, pers harus membuka akses keberbagai sumber informasi.
Di Indonesia, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.  Pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta fungsi ekonomi[1]. Namun dalam prakteknya pers sepertinya lebih banyak menjalankan fungsi ekonomi. Pers dijadikan alat penekan. Pers itu seperti perusahaan yang melakukan prinsip ekonomi dalam prakteknya. Selalu mencari profit, tanpa memperhatikan benefit.
Di tahun 2014 atau yang sering disebut sebagai tahun politik, pers memiliki peran yang sangat sentral. Pers memiliki pengaruh yang sangat besar terutama dalam mengarahkan dan mempengaruhi konstituen. Pers atau media akan dijadikan sebagai alat dalam mencari kepopuleran. Media menjadi saluran kampanye yang paling efektif. Orang yang dulunya tidak dikenal akan menjadi terkenal, yang biasa menjadi luar biasa, yang jelek akan menjadi baik. Begitulah kehebatan dari pers.
Permasalahan terberat pers di tahun politik adalah dalam menjalankan prinsip keadilan. Dimana kita ketahui bersama bahwa para elite partai kebanyakan merupakan pemilik media. Akan menjadi sulit bagi media memberikan informasi yang akurat, valid dan terpercaya. Tekanan dari pemilik akan semakin kuat dan akan mempengaruhi informasi yang akan disampaikan.
Penyimpangan pers memang kerap terjadi menjelang pemilu. Media akan dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Rata-rata publik di Indonesia mencari informasi melalui media, baik itu elektronik maupun cetak. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya ketika apa yang disampaikan oleh media itu merupakan kebohongan, maka otomatis hasil dari pemilu tidak akan menghasilkan hasil yang sesuai dengan keinginan untuk mencapai kesejahteraan.
Politik pencitraan oleh para tokoh melalui media selalu dilakukan. Iklan, program  berhadiah dan sejenisnya menjadi strateginya. Pemilik media akan lebih mudah melakukan hal seperti itu dibandingkan dengan yang tidak. Sebagai contoh dalam berbagai stasiun tv dan media cetak, para pemilik media yang notabenenya elite politik selalu muncul dan diberitakan positif selalu. Sedangkan sisi yang negatif hampir tidak pernah tersentuh.
Tantangan seperti itulah yang harus bisa ditaklukkan oleh pers. Khususnya untuk para wartawan yang tugasnya mencari dan menemukan berita harus tetap menjunjung tinggi kode etik. Jangan sampai uang membuatnya semua menjadi putih. Dewan Pers bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia juga harus melakukan tugas dan fungsi dengan baik. Melakukan teguran dan pemberian sangsi bagi media yang melanggar tata tertib.  
Pers harus dan wajib untuk bisa menghadapi pressure. Pemilu akan menjadi tidak ada gunanya ketika tekanan seperti yang disebutkan di atas tidak bisa ditaklukkan. Anggaran negara yang mencapai triliunan rupiah akan menjadi sia-sia, karena pemilu tidak bisa menghasilan hasil yang sesuai dengan fakta dan realita.
Media memiliki andil besar dalam menyukseskan pemilu 2014. Jiwa besar dari para pemilik media sangat diperlukan. Ambeg para marta, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dengan kata lain, memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Masa depan bangsa dan negara Indonesia untuk lima tahun ke depan akan bergantung dari bagaimana media memberikan pemberitaan. Baca artikel http://dedetzelth.blogspot.com/2013/10/relasi-antara-media-pemimpin-dengan.html



[1] UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 1 dan 2.

Thursday, 6 February 2014

PARTAI POLITIK MELAHIRKAN PEMIMPIN NEGARAWAN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Di era demokrasi langsung saat ini, partai politik menjadi salah satu pilar penting dalam mencetak kader pemimpin. Partai politik memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengkaderisasi kader-kader anak bangsa untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum. Pastinya pemimpin yang diharapakan lahir dari partai politik adalah anak bangsa yang memiliki jiwa kenegarawan, sehingga mampu menjadi pioner dalam menghadapi problem nasional maupun global.
Pemimpin negarawan yang dimaksud adalah pemimpin yang memiliki karakter yang digambarkan dalam basic law, Pancasila. Pancasila yang lahirdari ide Soekarno memberikan gambaran bahwa pemimpin Indonesia harus berazaskan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial. Lima azas itulah harus menjadi karakter dasar seorang pemimpin di bangsa dan negara yang bhinneka ini.
Menurut Adi Sujatno dan Asep Suhendar dalam buku Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara Menjawab Tantangan Global disebutkan bahwa generalisasi beberapa karakter yang “extraordinary” dari seorang negarawan adalah 1) berbudi luhur, 2) memiliki visi yang jelas, 3) bijaksana, 4) teguh hati, 5) rasa keadilan yang tinggi, 6) memiliki prediksi jauh ke depan, tidak sekedar reaktif, tetapi juga proaktif dan antisifatif, 7) memiliki “extraordinary capabality”, 8) memiliki karya yang monumental yang relatif langgeng dam bersifat universal, 9) cinta damai, anti kekerasan, toleran dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, 10) memiliki keuletan, 11) bermartabat, 12) berjiwa besar/legowo, 13) diakui dan dihormati oleh masyarakat, nasional dan internasional, 14) demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, 15) memiliki keberanian, 16) non partisipan dalam memperjuangkan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum atau kesejahteraan umum, 17) menunjukkan kebijksanaan, kearifan, skill dan visi yang luas, 18) selalu berfikir strategis dan tidak ragu-ragu, 19) selalu energetic dan tak kenal menyerah, 20) selalu mendemonstrasikan “intellectual honesty” dan tidak pernah bertolak ukur ganda, 21) selalu berfikir sistemik, 22) tidak pernah bertolak ukur ganda, 23) setia pada nilai absolute yang universal, 24) selalu konsisten antara idialisme dan perbuatan, 25) selalu menjaga integritas atas dasar moralitas yang tinggi, 26) keterikatan akan dianggap sebagai hal yang mempersulit untuk setia kepada standar moral yang tinggi, 27) selalu terbuka dalam pengambilan keputusan dan meminimalkan kerahasiaan, dan 28) sederhana, rendah hati.
Karakter yang dimiliki oleh pemimpin yang berjiwa negarawan sepertinya masih sangat langka di Indonesia. Partai politik sulit untuk mencari, menemukan dan mendapatkan pemimpin seperti itu. Itulah mengapa banyak pemimpin atau yang disebut politisi sering melakukan hal-hal yang bukan menjadi kewenangannya. Menjalankan tugas melebihi apa yang sudah diamanahkan oleh undang-undang. Tugas dan fungsi tidak dijalanan sesuai dengan prosedur. Itulah yang menyebabkan penegak hukum sangat sibuk.
 Berdasarkan data dari Kemendagri per Januari 2014, sudah ada 311 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi atau dengan kata lain sekitar 65% dari jumlah kepala daerah. Belum lagi melihat jumlah anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang tersangkut masalah ini jumlahnya jauh lebih besar. Kasus seperti ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh gagalnya partai politik menjalankan kaderisasi.
Kaderisasi partai politik dewasa ini sepertinya lebih mengarah ke arah kaum kapitalis. Dimana kaum kapital-lah yang mampu menyediakan modal lebih untuk memperpanjang nafas dan melembarkan sayap partai politik dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan. Modal memang menjadi suatu amunisi utama partai politik dalam menghadap demokrasi langsung. Namun, kebutuhan partai politik pada modal ini memberikan dampak yang negatif pada keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Hal seperti inilah yang ditakutkan oleh Plato[1].
Partai politik perlu mengubah paradigma dalam melakukan kaderisasi. Kaderisasi yang saat ini dan yang sudah dilakukan oleh partai politik secara general bisa dikatakan gagal. Partai politik harus mulai berbenah dan menentukan indikator yan pasti dalam menjaring kader. Hal yang paling perlu diperhatikan dalam kaderisasi partai politik adalah pendidikan, pengalaman organisasi, kapabalitas dan prestasi kerja yang sudah diraih olehnya. Dan yang terpenting adalah melihat  skill dan attitude. Sikap sangat penting, karena ini berhubungan dengan etika dan moral dari seorang kader. Pengetahuan yang luas akan menjadi binasa ketika pemimpin itu tidak memiliki etika.
Partai politik harus bisa menyiapakan kader yang memang memiliki kapabilitas dan integritas sehingga bisa mendapatkan trust dari rakyat. Rakyat akan memberikan penghargaan yang luar biasa tingginya apabila hal itu bisa dilakukan oleh partai politik. Tingkat golput akan secara otomatis turun. Sosialisasi pemilu tidak akan memakan anggaran yang besar. Cukup dengan partai politik mampu memberikan bukti kepada konstituen, maka mereka akan senang hati mengamanahkan masa depannya kepada para wakilnya.
Sosok pemimpin negarawan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan tokoh perjuangan lainnya akan bisa lahir kembali ketika partai politik menjalankan tugas dan fungsi kaderisasi dengan baik dan benar. Tentunya ini akan bisa dilaksanakan ketika elite partai tidak berpikir konservatif dalam mempertahankan status quo. Elit partai tidak boleh takut dengan sistem kaderisasi seperti ini.
Pada pemilu 2014 ini sepertinya akan masih sulit menemukan pemimpin yang negarawan. Ini tidak lain disebabkan oleh masih dominannya para incumbent yang maju dalam pertarungan. Di tingkat DPR RI, ada sekitar 90% calon yang berasal dari muka lama. Pastinya muka lama ini diberikan nomor urut teratas dibandingkan muka baru. Tentunya itu menjadi salah keuntungan dari  para incumbent.
Jadi pada pemilu 2014 ini masyarakat harus lebih selektif dalam melihat para calon dari partai politik. Jangan sampai memberikan peluang kepada para kader partai yang tidak memiliki kompetensi dan tidak amanah. Pilihan ada ditangan rakyat, mau pemimpin yang negarawan atau mau pemimpin yang ber-kepeng.


[1] Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang sangat menentang kekuatan ekonomi dilibatkan dalam urusan politik, karena akan sarat dengan kepentingan para pemilik modal, sehingga walfare state tidak akan bisa dicapai. 

Wednesday, 5 February 2014

SOEKARNO: PERJUANGAN TANPA UJUNG

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Soekarno (6 Juni1901-21 Juni 1970) adalah sang founding father negara Indonesia dan menjadi presiden pertama di republik ini. Soekarno yang lebih akrab dipanggil Bung Karno sangat populer dan dikagumi oleh banyak orang, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sosoknya selalu memancarkan kharisma yang membuat orang lain terhipnotis. Dan yang terpenting, Soekarno sangat dihormati, dihargai dan disegani oleh para tokoh dunia pada zamannya.
Bung Karno lahir di Blitar, Jawa Timur dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai. Nama asli Bung Karno adalah Koesno Sosrodihardjo. Namun nama itu diganti menjadi Soekarno, ini disebabkan pada masa kecilnya Beliau sering sakit-sakitan. Sesuai dengan kepercayaan Jawa, maka anak yang sakit-sakitan namanya harus diganti, karena tidak cocok.
Soekarno bersekolah pertama kali di Tulang Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orang tuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, Soekarno masuk di sekolah tempat bapaknya bekerja, Eerste Inlandse School. Kemudian pada Juni 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1951, Soekarno telah menyelesaikan pendidikan di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya berkat bantuan dari kawan bapaknya, H.O.S. Tjokroaminoto. Soekarno pun tinggal di pondokan milik Tjokroaminoto[1].
Di Surabaya, Bung Karno bertemu dengan tokoh-tokoh pemimpin Sereket Islam. Dimana Tjokroaminoto menjadi ketua dari organisasi ini. Tokoh seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim dan Abdul Muis juga ikut dalam organisasi ini. Darisinilah jiwa nasionalisme Bung Karno tumbuh dan berkembang, sehingga menjadi key maker bagi kemerdekaan Indonesia.
Pada saat di Surabaya, Bungkarno sudah mulai aktif berorganisasi dan menulis di media cetak. Itulah yang menyebabkan Bung Karno saat melanjutkan pendidikan di ITB, Bandung menjadi lebih aktif dan semangat patriotisme semakin tumbuh berkembang. Di Bandung juga, beliau tinggal bersama anggota SI, Haji Sanusi. Disinilah pertemuannya dengan tokoh besar, seperti Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwis Dekker yang merupakan pimpinan National Indische Partij.
Soekarno mulai dikenal sebagai seorang tokoh yang reformis dan berani ketika beliau menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya tahun 1915. Bung Karno secara terang-terangan menentang surat kabar Jong Java berbahasa Belanda, namun beliau menyarankan untuk memakai bahasa Melayu. Dan kiprah organisasi Soekarno berlanjut di Bandung. Pada tahun 1926, Bung Karno mendirikan Algemene Studie Club. Dimana pada tahun 1927 berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Berdiirinya PNI yang dipelopori oleh Soekarno menjadi awal untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hasilnya pun bisa dirasakan saat ini oleh kita semua. Tetapi sebelum mendapatkan kemerdekaan, Soekarno sebagai pionernya mendapatkan hambatan dan tantangan yang luar biasa. Keluar masuk penjara pun menjadi suatu hal yang biasa baginya. Lebih dari itu, Bung Karno juga harus dibuang ke Ende dan kemudian ke Bengkulu. Meskipun mendapatkan perlakuan seperti itu, semangat Bung Karno tidak pernah padam, malah semakin membara.
Bisa dilihat, bagaimana Soekarno setelah pulang dari pengasingan. Bung Karno lebih prontal lagi melawan penjajah. Ikut bergabung dalam Pertindo yang merupakan pecahan dari PNI. Beliau menjadi pembakar semangat para pejuang lainnya melalui kemampuan retorikanya yang luar biasa.
Kedatangan Jepang yang menggantikan Belanda sangat dimanfaatkan oleh Soekarno dan tokoh lainnya untuk bisa mendapatkan kemerdekaan. Hasilnya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Muhammad Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dimana sebelumnya, sudah lahir Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Pancasila lahir dari ide briliannya Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Soekarno dan Hata terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia.
Pasca kemerdekaan, perjuangan Soekarno pun tidak habisnya. Banyak gejolak di dalam dan luar negeri yang dihadapkan oleh Indonesia yang baru merdeka. Dari dalam negeri misalnya, ada beberapa daerah ingin melepaskan diri dari NKRI. Itulah yang menyebabkan instabilitas politik dalam negeri memanas. Perdebatan mengenai sistem negera pun tak kunjung habis-habisnya. Sistem terus berganti, mulai dari demokrasi terpimpin sampai dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). UUD 1945 juga sempat berganti menjadi UUDS.
 Dari luar negeri, Belanda ingin merebut kembali kemerdekaan yang sudah didapatkan Indonesia. Dan saat itu, perang antar blok timur (Uni Soviet) dan blok barat (Amerika)  sedang memanas. Indonesia pun bingung harus berpihak kemana. Berkat kehebatan Soekarno, maka dibentuklah Konfrensi Asia Afrika (KAA) yang bertujuan untuk mengumpulkan dan memperjuangkan kemerdekaan bagi negara-negara di Asia dan Afrika.
Dan pada akhir perjuangannya, Soekarno mendapat berbagai tantangan yang lebih berat lagi. Melalui ide NASAKOM-nya, Bung Karno mencoba untuk bisa mempersatukan pluralisme yang ada di Indonesia, karena beliau sangat sadar bahwa perbedaan yang ada bisa menimbulkan gejolak. Negara yang terbaik menurut Aristoteles adalah negara yang mengetahui karakter masyarakatnya. Maka , Soekarno mencoba untuk menyatukannya dalam NASAKOM-nya. Namun ide besarnya ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak. Dan klimaksnya adalah ketika terbunuhnya 6 jenderal AD yang dikenal dengan G30S. PKI dituduh sebagai dalang gerakan tersebut, sehingga Soekarno pun menerima getahnya.
Dalam keadaan krisis tersebut, Bung Karno memerintahkan Soeharto untuk menjaga keamanan negara dan keselamatan presiden. Perintah tersebut lebih kita kenal sebagai SUPERSEMAR. Dan kemudian diselewengkan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Bung Karno. Akhirnya pada tahun 1966, MPRS menolak pertanggung jawaban yang disampaikan oleh Soekarno dan menyuruhnya untuk melengkapinya. Hasilnya pun sama, pada tanggal 10 Januari 1967, Soekarno menyampaikan pidato pelengkap Nawaskara[2] yang ditolak lagi oleh MPRS. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1967, Soekarno menyerahkan kekuasaan di Istana Merdeka. Soeharto ditunjuk sebagai penggantinya.
Soekarno menjalankan akhir hidupnya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Dimana negara yang dulunya diperjuangkannya, malah memberikan perlakuan yang tidak pantas padanya. Soekarno ditahan sebagai tahanan rumah oleh rezim Soeharto. Dan sampai hembusan nafas terakhir pada tanggal 21 Juni 1970 statusnya masih sebagai tahanan rumah. Itulah Soekarno, bapak bangsa Indonesia yang memberikan seluruh masa hidupnya dalam meraih dan memperjuangkan kemerdekaan serta membangun bangsa Indonesia. 




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno
[2] “Nawaskara” adalah nama pidato presiden Soekarno saat menyampaikan pertanggung jawaban di sidang MPRS tahun 1966.