Oleh: Dedet Zelthauzallam
Menjelang
pemilu 2014, media menjadi pilihan utama partai politik dalam bersosialisasi dan
berkampanye ke publik. Media lebih menjanjikan, karena rata-rata masyarakat sekarang
ini menjadikan media sebagai sumber utama untuk meraih informasi, baik di media
cetak, elektronik dan online. Namun dalam
memberitakan media pun sering tidak independen, valid dan akurat, dengan kata
lain sesuka hati, “like or dislike”.
Bayak informasi yang disajikan hanya bersifat pencitraan dan malah ada yang
mengadu domba.
Menurut
peraturan perundang-undangan, media dituntut sebagai lembaga yang independen. Namun
hal itu sepertinya akan sulit, karena media saat ini berperan ganda. Maksudnya adalah
media sebagai lembaga penyedia informasi untuk publik (service), tetapi dilain sisi bergerak seperti perusahaan yang mencari
laba yang sebesar-besarnya (profit). Ahli
Media, Burrel Headley, mengatakan bahwa berita adalah komoditas yang dijual dan
media massa merupakan usaha untuk menjual informasi. Ini berarti, media akan menyajikan
informasi sesuai siapa yang membayar kepadanya.
Pemberitaan
media menjelang pemilu memang rentan terjadi kebiasan. Publik dituntut untuk bisa
memfilter segala informasi yang didapatkan dari media. Perlu dibandingkan antara
media yang satu dengan lainnya. Publik tidak bisa berpatokan dengan satu media
saja. Apalagi para elite politik saat ini rata-rata adalah pemilik atau pemegang
saham di media besar negeri ini. Akan gampang mereka menyetir media untuk kepentingan
politiknya. Prinsip Machiavelli tentang menghalalkan segala cara demi bisa meraih
kekuasaan akan dilakukannya. Aturan media pun akan dilanggar demi kekuasaan.
Di
era demokrasi, media sangat memiliki peran yang kuat. Gagasan the fourth estate yang dikemukakan oleh Endmund
Burke bisa dikatakan benar. Endmund Burke menempatkan media atau pers sebagai kekuatan
disamping tiga pilar kehidupan berdemokrasi, yaitu ekskutif, legislatif dan yudikatif.
Sebagai kekuatan keempat, media memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan
opini publik, khususnya mempengaruhi pemilih dalam pemilu. Publik akan dengan mudah
percaya dan beralih pilihan dari satu calon ke calon yang lain.
Media
bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab semakin tingginya golput pada pemilu,
karena informasi yang disajikan oleh media lebih banyak hal-hal yang negatif. Itulah
yang menyebabkan publik alergi untuk memilih. Terbangunlah ketidakpercayaan publik
kepada calon-calon yang diusung partai politik. Semua dianggap sama, padahal itu
hanya seper sekian dari jumlah keseluruhannya. Orang yang memiliki integritas,
kapabilitas dan profesinal dipandang sama-sama hitam.
Seharusnya
media sebagai penyedia informasi utama harus bisa menjadi pioner dalam memperbaiki
bangsa dan negara tercinta ini. Dengan melakukan peran dan fungsi sesuai dengan
peraturan yang ada. Jangan sampai membuat bangsa ini menjadi lebih terpuruk dengan
semakin dikuasai oleh orang-orang yang berduit, tanpa adanya integritas dan keinginan
sebagai penyambung lidah para konstituennya. Mereka yang berduit hanya maumenyuarakan
kepentingan perusahaan dan kelompoknya saja, tanpa mau melihat keadaan masyarakat
bawah.
Dalam
menghadapi informasi media yang bersifat sama seperti sinetron, yang
dibuat-buat, publik harus lebih berhati-hati dan tidak mudah terpengaruh. Para
jurnalis dan sejenisnya juga adalah manusia yang membutuhkan makan. Jadi informasi
yang didapatkan dan ditulisnya bisa saja salah dan dipengaruhi oleh pihak yang
berkepentingan. Publik harus bisa memfilter yang selanjutnya diolah, supaya tidak
terprovokasi. Menjelang pemilu 2014, banyak berita yang tidak valid dan ngawur, sehingga penulis berita sering dikomplain
sama pihak yang memberikan pernyataan.
No comments:
Post a Comment