Pages

Wednesday, 26 February 2014

FILTERISASI INFORMASI MEDIA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Menjelang pemilu 2014, media menjadi pilihan utama partai politik dalam bersosialisasi dan berkampanye ke publik. Media lebih menjanjikan, karena rata-rata masyarakat sekarang ini menjadikan media sebagai sumber utama untuk meraih informasi, baik di media cetak, elektronik dan online. Namun dalam memberitakan media pun sering tidak independen, valid dan akurat, dengan kata lain sesuka hati, “like or dislike”. Bayak informasi yang disajikan hanya bersifat pencitraan dan malah ada yang mengadu domba.
Menurut peraturan perundang-undangan, media dituntut sebagai lembaga yang independen. Namun hal itu sepertinya akan sulit, karena media saat ini berperan ganda. Maksudnya adalah media sebagai lembaga penyedia informasi untuk publik (service), tetapi dilain sisi bergerak seperti perusahaan yang mencari laba yang sebesar-besarnya (profit). Ahli Media, Burrel Headley, mengatakan bahwa berita adalah komoditas yang dijual dan media massa merupakan usaha untuk menjual informasi. Ini berarti, media akan menyajikan informasi sesuai siapa yang membayar kepadanya.
Pemberitaan media menjelang pemilu memang rentan terjadi kebiasan. Publik dituntut untuk bisa memfilter segala informasi yang didapatkan dari media. Perlu dibandingkan antara media yang satu dengan lainnya. Publik tidak bisa berpatokan dengan satu media saja. Apalagi para elite politik saat ini rata-rata adalah pemilik atau pemegang saham di media besar negeri ini. Akan gampang mereka menyetir media untuk kepentingan politiknya. Prinsip Machiavelli tentang menghalalkan segala cara demi bisa meraih kekuasaan akan dilakukannya. Aturan media pun akan dilanggar demi kekuasaan.
Di era demokrasi, media sangat memiliki peran yang kuat. Gagasan the fourth estate yang dikemukakan oleh Endmund Burke bisa dikatakan benar. Endmund Burke menempatkan media atau pers sebagai kekuatan disamping tiga pilar kehidupan berdemokrasi, yaitu ekskutif, legislatif dan yudikatif. Sebagai kekuatan keempat, media memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan opini publik, khususnya mempengaruhi pemilih dalam pemilu. Publik akan dengan mudah percaya dan beralih pilihan dari satu calon ke calon yang lain.
Media bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab semakin tingginya golput pada pemilu, karena informasi yang disajikan oleh media lebih banyak hal-hal yang negatif. Itulah yang menyebabkan publik alergi untuk memilih. Terbangunlah ketidakpercayaan publik kepada calon-calon yang diusung partai politik. Semua dianggap sama, padahal itu hanya seper sekian dari jumlah keseluruhannya. Orang yang memiliki integritas, kapabilitas dan profesinal dipandang sama-sama hitam.
Seharusnya media sebagai penyedia informasi utama harus bisa menjadi pioner dalam memperbaiki bangsa dan negara tercinta ini. Dengan melakukan peran dan fungsi sesuai dengan peraturan yang ada. Jangan sampai membuat bangsa ini menjadi lebih terpuruk dengan semakin dikuasai oleh orang-orang yang berduit, tanpa adanya integritas dan keinginan sebagai penyambung lidah para konstituennya. Mereka yang berduit hanya maumenyuarakan kepentingan perusahaan dan kelompoknya saja, tanpa mau melihat keadaan masyarakat bawah.
Dalam menghadapi informasi media yang bersifat sama seperti sinetron, yang dibuat-buat, publik harus lebih berhati-hati dan tidak mudah terpengaruh. Para jurnalis dan sejenisnya juga adalah manusia yang membutuhkan makan. Jadi informasi yang didapatkan dan ditulisnya bisa saja salah dan dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan. Publik harus bisa memfilter yang selanjutnya diolah, supaya tidak terprovokasi. Menjelang pemilu 2014, banyak berita yang tidak valid dan ngawur, sehingga penulis berita sering dikomplain sama pihak yang memberikan pernyataan.

No comments:

Post a Comment