Oleh: Dedet Zelthauzallam
Di
era demokrasi langsung saat ini, partai politik menjadi salah satu pilar
penting dalam mencetak kader pemimpin. Partai politik memiliki kewenangan yang sangat
besar dalam mengkaderisasi kader-kader anak bangsa untuk ikut bertarung dalam
pemilihan umum. Pastinya pemimpin yang diharapakan lahir dari partai politik
adalah anak bangsa yang memiliki jiwa kenegarawan, sehingga mampu menjadi pioner
dalam menghadapi problem nasional maupun global.
Pemimpin
negarawan yang dimaksud adalah pemimpin yang memiliki karakter yang digambarkan
dalam basic law, Pancasila. Pancasila
yang lahirdari ide Soekarno memberikan gambaran bahwa pemimpin Indonesia harus
berazaskan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan
sosial. Lima azas itulah harus menjadi karakter dasar seorang pemimpin di
bangsa dan negara yang bhinneka ini.
Menurut
Adi Sujatno dan Asep Suhendar dalam buku Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional
Nusantara Menjawab Tantangan Global disebutkan bahwa generalisasi beberapa
karakter yang “extraordinary” dari seorang
negarawan adalah 1) berbudi luhur, 2) memiliki visi yang jelas, 3) bijaksana, 4)
teguh hati, 5) rasa keadilan yang tinggi, 6) memiliki prediksi jauh ke depan,
tidak sekedar reaktif, tetapi juga proaktif dan antisifatif, 7) memiliki “extraordinary capabality”, 8) memiliki
karya yang monumental yang relatif langgeng dam bersifat universal, 9) cinta
damai, anti kekerasan, toleran dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, 10) memiliki
keuletan, 11) bermartabat, 12) berjiwa besar/legowo, 13) diakui dan dihormati oleh
masyarakat, nasional dan internasional, 14) demokratis dan menjunjung tinggi
nilai-nilai HAM, 15) memiliki keberanian, 16) non partisipan dalam
memperjuangkan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum atau
kesejahteraan umum, 17) menunjukkan kebijksanaan, kearifan, skill dan visi yang luas, 18) selalu berfikir strategis dan tidak
ragu-ragu, 19) selalu energetic dan
tak kenal menyerah, 20) selalu mendemonstrasikan “intellectual honesty” dan tidak pernah bertolak ukur ganda, 21)
selalu berfikir sistemik, 22) tidak pernah bertolak ukur ganda, 23) setia pada
nilai absolute yang universal, 24) selalu konsisten antara idialisme dan
perbuatan, 25) selalu menjaga integritas atas dasar moralitas yang tinggi, 26)
keterikatan akan dianggap sebagai hal yang mempersulit untuk setia kepada
standar moral yang tinggi, 27) selalu terbuka dalam pengambilan keputusan dan
meminimalkan kerahasiaan, dan 28) sederhana, rendah hati.
Karakter
yang dimiliki oleh pemimpin yang berjiwa negarawan sepertinya masih sangat
langka di Indonesia. Partai politik sulit untuk mencari, menemukan dan
mendapatkan pemimpin seperti itu. Itulah mengapa banyak pemimpin atau yang
disebut politisi sering melakukan hal-hal yang bukan menjadi kewenangannya. Menjalankan
tugas melebihi apa yang sudah diamanahkan oleh undang-undang. Tugas dan fungsi
tidak dijalanan sesuai dengan prosedur. Itulah yang menyebabkan penegak hukum sangat
sibuk.
Berdasarkan data dari Kemendagri per Januari
2014, sudah ada 311 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi atau dengan
kata lain sekitar 65% dari jumlah kepala daerah. Belum lagi melihat jumlah
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang tersangkut masalah ini jumlahnya
jauh lebih besar. Kasus seperti ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh
gagalnya partai politik menjalankan kaderisasi.
Kaderisasi
partai politik dewasa ini sepertinya lebih mengarah ke arah kaum kapitalis. Dimana
kaum kapital-lah yang mampu menyediakan modal lebih untuk memperpanjang nafas
dan melembarkan sayap partai politik dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Modal memang menjadi suatu amunisi utama partai politik dalam menghadap
demokrasi langsung. Namun, kebutuhan partai politik pada modal ini memberikan
dampak yang negatif pada keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Hal seperti
inilah yang ditakutkan oleh Plato[1].
Partai
politik perlu mengubah paradigma dalam melakukan kaderisasi. Kaderisasi yang
saat ini dan yang sudah dilakukan oleh partai politik secara general bisa dikatakan gagal. Partai politik
harus mulai berbenah dan menentukan indikator yan pasti dalam menjaring kader. Hal
yang paling perlu diperhatikan dalam kaderisasi partai politik adalah pendidikan,
pengalaman organisasi, kapabalitas dan prestasi kerja yang sudah diraih
olehnya. Dan yang terpenting adalah melihat skill
dan attitude. Sikap sangat penting,
karena ini berhubungan dengan etika dan moral dari seorang kader. Pengetahuan yang
luas akan menjadi binasa ketika pemimpin itu tidak memiliki etika.
Partai
politik harus bisa menyiapakan kader yang memang memiliki kapabilitas dan
integritas sehingga bisa mendapatkan trust
dari rakyat. Rakyat akan memberikan penghargaan yang luar biasa tingginya
apabila hal itu bisa dilakukan oleh partai politik. Tingkat golput akan secara
otomatis turun. Sosialisasi pemilu tidak akan memakan anggaran yang besar. Cukup
dengan partai politik mampu memberikan bukti kepada konstituen, maka mereka
akan senang hati mengamanahkan masa depannya kepada para wakilnya.
Sosok
pemimpin negarawan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan tokoh perjuangan
lainnya akan bisa lahir kembali ketika partai politik menjalankan tugas dan
fungsi kaderisasi dengan baik dan benar. Tentunya ini akan bisa dilaksanakan
ketika elite partai tidak berpikir konservatif dalam mempertahankan status quo. Elit partai tidak boleh
takut dengan sistem kaderisasi seperti ini.
Pada
pemilu 2014 ini sepertinya akan masih sulit menemukan pemimpin yang negarawan. Ini
tidak lain disebabkan oleh masih dominannya para incumbent yang maju dalam pertarungan. Di tingkat DPR RI, ada
sekitar 90% calon yang berasal dari muka lama. Pastinya muka lama ini diberikan
nomor urut teratas dibandingkan muka baru. Tentunya itu menjadi salah keuntungan
dari para incumbent.
Jadi
pada pemilu 2014 ini masyarakat harus lebih selektif dalam melihat para calon
dari partai politik. Jangan sampai memberikan peluang kepada para kader partai
yang tidak memiliki kompetensi dan tidak amanah. Pilihan ada ditangan rakyat,
mau pemimpin yang negarawan atau mau pemimpin yang ber-kepeng.
[1]
Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang sangat menentang kekuatan ekonomi
dilibatkan dalam urusan politik, karena akan sarat dengan kepentingan para
pemilik modal, sehingga walfare state
tidak akan bisa dicapai.
No comments:
Post a Comment