Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa
ini bisa kita lihat bagaimana perkembangan pembangunan di Indonesia. Sebenarnya
pembangunan di Indonesia berkembang pesat ketika era arde baru, di bawah
pimpinan Soeharto. Sejak Soeharto memimpin orientasi mengarah ke pembangunan.
Pembangunan sangat diutamakan oleh Soeharto. Soeharto membuka lebar peluang
pemodal untuk berinvestasi di Indonesia, baik itu dari dalam negeri maupun luar
negeri. Ini sangatlah berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Soekarno yang anti
dengan dana asing.
Apa
yang telah dilakukan oleh Soeharto memang membuat Indonesia berubah dengan
cepat. Infrastruktur, mulai dari jalan, sekolah dan fasilitas umum lainnya
sepertinya disulap. Itulah yang menyebabkan beliau dijuluki sebagai Bapak Pembangunan.
Lalu
bagaimana dampaknya bagi Indonesia di masa sekarang ini dan untuk masa depan? Mari
kita jawab, sepertinya apa yang dilakukan oleh Soeharto hanya memiliki manfaat
untuk jangka pendek, tetapi menjadi bumerang di masa yang akan datang. Dengan
dibukanya peluang asing untuk berinvestasi di Indonesia akan menyebabkan sumber
daya yang kita miliki, khususnya sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui,
maka akan habis.
Soeharto
sepertinya terlalu mengadopsi pemikiran dari Harorrod-Domar yang mengutamakan
investasi dan tabungan sebagai jalan untuk membangun. Tetapi salahnya Soeharto
terlalu fokus terhadap bagaimana mendapatkan investasi dari asing. Ini berarti
Soeharto tidak terlalu memikirkan dampak yang akan ditimbulkan setelah
perusahaan asing mengeruk kekayaan alam di Indonesia. Sepertinya analisa
mengenai dampak lingkungan (amdal) sangat tidak diperhatikan.
Contoh
kasus yang saya angkat adalah salah satu perusahaan tambang yang ada di daerah
saya NTB, PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). PTNNT merupakan perusahaan patungan
Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh Nusa Tenggara Partnership (Newmont &
Sumitomo), PT Pukuafu Indah (Indonesia) dan PT Multi Daerah Bersaing. Newmont
dan Sumitomo bertindak sebagai operator.
PTNNT
resmi menandatangani kontrak karya pada tahun 1986 dengan pemerintah Indonesia
untuk melakukan eksplorasi dan eksplotasi di dalam wilayah kontrak karya di
Provinsi NTB, tepanya di Kabupaten Sumbawa Barat, Pulau Sumbawa. PTNNT
menemukan cebakan tembaga porfiri pada tahun 1990, yang kemudian diberi nama
Batu Hijau. Setelah itu, dilakukanlah pengkajian teknis dan pemerintah
Indonesia menyetujui untuk melakukan eksploitasi dengan nilai investasi US$ 1,8
Miliar. Proyek pembangunan tambang, pabrik dan prasarananya selesai pada 1999
dan mulai beroperasi tahun 2000.
Sepertinya
dengan adanya PTNNT di Sumbawa Barat akan memberikan dampak positif dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Harapan itu memang masuk akal, karena perputaran uang dan
pendapatan daerah akan meningkat. Namun, ternyata seiring dengan berjalannya
waktu, keberadaan PTNNT tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kemajuan
daerah. Hanya sekelompok orang tertentulah yang menikmati hasil dari tambang
yang dikelola oleh PTNNT ini. Itulah yang menyebabkan masyarakat sekitar marah
dan memprotes keberadaan dari PTNNT ini.
Memang
kalau dilihat dari segi fisik, Sumbawa Barat maju, tetapi kalau dilihat lebih
dalam lagi, maka ada permasalahan mendasar yang masih terjadi. Kemiskinan dan
pengangguran di seputaran PTNNT masih membeludak. Inilah yang saya katakan
sebagai bentuk pembangunan yang tidak berkeadilan. Bisa dibayangkan, bagaimana
orang asli tidak bisa menikmati hasil kekayaan alam daerahnya. Padahal uang
yang dihasilkan dari tempat itu mencapai miliaran rupiah per hari. Dan yang
paling sedih lagi adalah lingkungan pertambangan itu akan rusak dan menjadi alamnya
menjadi kropos, sehingga akan rawan terjadinya bencana alam.
Apakah
akan ada tanggung jawab dari PTNNT? Pastinya akan dilakukan, tetapi bentuknya
hanya sebatas formalitas saja. Eksplotasi memang dilakaukan tetapi eksplorasi
masih dipertanyakan. Miris memang kalau kita pikirkan, lingkungan rusak tanpa
dinikmati oleh penduduk asli. Hanya dampak negatifnyalah yang akan dinimati
oleh penduduk asli dan anak cucunya akan sengsara diakibatkan oleh keserakahan
para konglomerat.
Hasil
PTNNT di Sumbawa Barat hanya dinikmati oleh oknum-oknum tertentu. Dan
sepertinya ada korporasi antara pemegang saham dengan pejabat pemerintah.
Korupsi yang dilakukan oleh oknum menjadikan masyarakat bawah tidak bisa
menikmati hasil dari tambang tersebut secara maksimal. Kalau hal ini dibiarkan
terus menerus akan menyebabkan disparitas akan semakin kelihatan.
Memang
PTNTT menyediakan banyak kegiatan dibidang social, seperti kesehatan maupun beasiswa
untuk anak-anak Sumbawa Barat khususnya dan NTB pada umumnya. Tetapi apa yang
diberikan oleh PTNNT sangat tidak sebanding dengan profit yang didapatkannya
dan dampak negatif yang akan ditanggung masyarakat sekitar. Jadi perlu
pengkajian yang lebih detail lagi menganai keberadaan PTNTT.
Pemerintah
harus segera mengambil kebijakan sebelum alam yang ada disana menjadi rusak
parah. Pemerintah harus memikirkan nasib masa depan wilayah tersebut.
Masyarakat disana akan menjadi korban kalau pemerintah tidak mengambil langkah
yang strategis.
Saat
ini, pemerintah sudah memiliki 44% saham PTNNT, ini sesuai dengan amanat
Kontrak Karya dan bagian dari divestasi saham. Namun, pemerintah masih berusaha
untuk mendapatkan 7% saham lagi dari PTNNT. Tetapi proses divestasi masih
terkendala proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral. Berarti
kalau divestasi ini berhasil, maka pemerintah akan memiliki saham 51% di PTNNT.
Ini akan menyebabkan pengelolaan pertambangan di Sumbawa Barat ini menjadi
lebih memikirkan dampak untuk masyarakat dan lingkungannya.
Penguasaan
saham 51% oleh pemerintah itu bisa-bisa akan menjadi lahan basah bagi para
pejabat. Itulah yang kita takutkan terkait kepentingan-kepentingan para
penguasa. Pengelolaan akan semakin hancur apabila praktek korupsi dilakukan
oleh interen pemerintah. Kembali masyarakat akan menanggung beban.
Memang
proyek pertambangan seperti ini sering disalahgunakan oleh mereka yang memiliki
power dalam menentukan kebijakan,
khususnya perijinan. Ini sepertinya sudah terjadi di Kabupaten Sumbawa Besar,
NTB. Itulah yang menyebabkan kesejahteraan masyarakat dari adanya proyek
pertambangan ini tidak tersentuh dengan maksimal.
Memang
praktek KKN, khususnya korupsi, akan menjadi sangat berbahaya, apalagi
dilakukan dalam proyek pertambangan. Banyak dampak yang akan ditimbulkan, mulai
dari kerusakan lingkungan, masyarakat akan terlunta-lunta dan sejenisnya.
Jadi,
kesimpulannya adalah keberadaan PTNNT di Sumbawa Besar, NTB perlu dievaluasi.
Ini dimaksud untuk mengetahui berapa besar pengaruh dan dampak bagi masyarakat
sekitar. Jangan sampai kekayaan alam yang ada di dalam perut bumi Sumbawa habis
untuk para pengusaha dan oknum pemerintahan, apalagi asing (konglomerat luar
negeri). Dan yang paling penting pembangunan, baik fisik dan manusia (SDM)
lebih ditingkatkan lagi, apalagi setelah pemerintah bisa menguasai 51% saham
PTNNT.
No comments:
Post a Comment