Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa
ini, kita berada di era globalisasi. Dimana antara satu negara dengan negara
lainnya sepertinya tidak ada batasnya. Peristiwa di suatu negara dengan cepat tersebar keseluruh penjuru dunia.
Ini disebabkan oleh teknologi yang semakin canggih. Media pun sudah mulai
bertebaran dimana-mana. Inilah salah satu menjadi kemajuan yang bisa berdampak
baik maupun buruk terhadap keberlangsungan suatu bangsa.
Era
globalisasi ini perlu untuk diwaspadai oleh negara-negara berkembang, khususnya
Indonesia. Ini akan menjadi bumerang bagi Indonesia ketika tidak bisa untuk
memfilter informasi, baik itu berupa budaya, bahasa, sistem politik dan
sebagainya. Sebenarnya Indonesia termasuk bangsa yang beruntung, karena para
pendiri bangsa sudah menyiapakan senjata untuk menghadapi ini, yaitu Pancasila.
Pancasila
merupakan dasar dari negara Indonesia. Ini berarti apa yang ada dalam Pancasila
menjadi pedoman dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Apa
yang akan dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah tidak boleh bertolak
belakang atau berlawanan dengan Pancasila. Pancasila dengan kata lain sebagai
kitab dari bangsa Indonesia.
Namun,
kita bisa katakan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila sepertinya semakin hari
semakin memudar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Ini dibuktikan
dari bagaimana tingkah laku masyarakat yang semakin lama semakin meninggalkan
amanah dalam Pancasila. Banyak hal sebagai bukti. Gaya hidup masyarakat
Indonesia sudah mulai kebarat-baratan. Kehidupan sosial masyarakat yang dulunya
dilakukan dengan gotong royong sudah berubah ke arah yang materialistik.
Dari ke lima sila yang ada dalam Pancasila,
hal yang paling kelihatan semakin pudar adalah sila ke empat. Ini disebabkan
oleh sistem di Indonesia sudah sangat jarang atau dengan kata lain hampir punah
yang namanya musyawarah mufakat. Padahal sila ke empat sangat jelas menyatakan
bahwa: “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Perintahnya sangat jelas musyawarah mufakat. Namun
itu jarang atau bisa dikatakan tidak pernah dilakukan di Indonesia saat ini. Malah
pemerintah Indonesia lebih senang menentukan seorang pimpinan dengan cara
voting. Voting ini merupakan suatu budaya dari barat, yang notabenenya kalau
dilihat itu merupakan cara baru yang memiliki efek yang tidak baik.
Bisa
dibayangkan,bagaimana voting yang dilakukan di Indonesia, misalnya dalam
merumuskan perundang-undangan, sering sekali diakhiri dengan namanya voting. Mengapa
tidak melewati musyawarah mufakat? Ini sebagai pertanyaan besar kita semua. Seharusnya
para pejabat di negeri mulai sadar akan pentingnya arti dari musyawarah
mufakat. Bisa kita lihat bersama, bagaimana hasil dari sebuah proses voting. Sering
kali malah membuat kebijakan atau pemenang dari voting itu terkena masalah.
Amanah
sila ke empat Pancasila untuk melaksanakan musyawarah mufakat adalah suatu
keharusan untuk dilaksanakan, karena cara ini merupakan cara yang sudah teruji.
Musyawarah mufakat ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Nabi Muhammad sudah
jauh-jauh hari mengajarkan ini. Ini dibuktikan dari bagaimana Nabi Muhammad
sebelum berperang selalu bermusyawarah dengan para sahabat. Dan setelah Nabi
Muhammad meninggal, para khulafaur rasyidin, mulai dari Abu Bakar sampai Ali
Bin Abu Tholib dipilih melalui musyawarah para sahabat. Hasilnya mereka
tercatat sebagai para pemimpin yang berhasil dan menjadi tauladan. Lalu mengapa
sekarang ini melalui mekanisme voting malah menghasilkan pemimpin yang malah
tidak sesuai harapan.
Itulah
hal yang perlu diperhatikan supaya kita sadar akan lebih bagusnya mekanisme
musyawarah mufakat. Bisa kita lihat sekarang ini, para pejabat yang dipilih
melalui pemilu banyak tersandung kasus korupsi. Data dari Kemendagri, jumlah
kepala daerah yang terkena korupsi sebanyak 309. Ini berarti sudah melebihi
50%. Hal ini harus segera dievaluasi, supaya mekanisme bisa segera diubah demi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara yang paling mudah adalah kita harus
kembali menegakkan sila ke empat, yaitu melakukan musyawarah mufakat.
No comments:
Post a Comment